Keberadaan Pasraman di Bukit Tamblingan Juga Bikin Resah
Pasca Resah Pembangunan Pura di Puncak Bukit Sengayang, Desa Gesing
Pasraman di bukit kawasan Banjar Tamblingan, Desa Munduk (Kecamatan Banjar, Buleleng) dan pura di puncak Bukit Sengayang kawasan Desa Gesing (Kecamatan Banjar, Buleleng) kabarnya dibangun orang yang sama: Ida Sri Begawan
SINGARAJA, NusaBali
Bukan hanya pembangunan pura di kawasan hutan lindung puncak Bukit Sengayang, Desa Gesing, Kecamatan Banjar, Buleleng yang bikin resah karena dikhawatirkan potensial memicu bencana longsor. Pembangunan sebuah pasraman di perbukitan wilayah Banjar Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar---yang lokasinya tidak jauh dari Bukit Sengayang---juga memicu kekhawatiran serupa.
Baik pasraman di Bukit Tamblingan maupun pura di puncak Bukit Sengayang kabarnya diinisiasi oleh orang yang sama, yakni seorang Sri Begawan. Informasi yang dihimpun NusaBali, Minggu (26/1), pasraman yang dikhawatirkan bisa memicu terjadinya bencana longsor ini dibangun di atas lahan seluas 7 hektare di Bukit Tamblingan. Warga sekitar tidak mengetahui persis siapa pemilik bangunan, termasuk pemanfaatannya.
Ada dua versi berkembang. Versi pertama, bangunan di Bukit Tamblingan itu untuk pasraman. Versi kedua, bangunan itu untuk persinggahan sebelum menunju pura yang sedang dibangun di puncak Bukit Sengayang, Desa Gesing. Konon, bangunan pasraman ini dibangun oleh Sri Begawan yang juga menginisiasi pembangunan pura di puncak Bukit Sengayang.
Seperti halnya pembangunan pura di puncak Bukit Sengayang, pembangunan pasraman di Bukit Tamblingan ini juga tidak ada pemberitahuan ke aparat Desa Munduk. Warga setempat khawatir pembangunan pasraman ini mengundang bencana longsor. Pasalnya, pembangunan dilakukan dengan mengggali bukit, sementara material hasil galian banyak yang berupa batu kali berukuran besar.
Perbekel Munduk, I Nyoman Niryasa, mengaku sudah sempat turun ke lokasi pem-bangunan pasraman. Menurut Nyoman Niryasa, pihaknya terjun bersama jajaran Ke-camatan Banjar dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Buleleng. Namun, sejauh ini mereka belum sempat bertemu dengan pemilik bangunan di Bukit Tamblingan.
“Kami juga tidak tahu persis pemanfaatan bangunan itu, karena tidak ada pemberitahuan. Tetapi, kami sudah mengecek ke lokasi. Dari pekerjanya, dikatakan bangunan ini sebagai pesinggahan Ida Sri Begawan,” ungkap Nyoman Niryasa kepada NusaBali, Minggu kemarin.
Niryasa menyebutkan, pihaknya terjun bersama jajaran Kecamatan Banjar dan Dinas Lingkungan Hidup Buleleng, karena sempat muncul di media sosial soal adanya pembaban hutan di Bukit Tamblingan. Namun, setelah dicek, lokasi yang disampaikan berbeda, bukan di Banjar Tamblingan melainkan di Bukit Sengayang kawasan Desa Gesing.
“Kalau di sini (di Bukit Tamblingan, Red) lahannya milik pribadi. Tidak ada hutan yang ditebang, tetapi memang ada galian di sana,” papar Niryasa. Menurut Niryasa, pihaknya bersama Dnas Lingkungan Hidup sudah mengingatkan agar pemilik bangunan di Bukit Tamblingan tetap berpedoman pada ketentuan. Sesuai ketentuan, pembangunan di Bukit Tamblingan diizinkan maksimal 20 persen dari seluruh luas lahan yang dimiliki. “Sisanya, 80 persen lagi biar dihijauhkan, agar lokasi di atas tetap menjadi wilayah konservasi,” tegas Niryasa.
Sebelum terungkapnya bagunan pasraman di Bukit Tamblingan, sempat muncul heboh pembangunan pura di kawasan hutan lindung Bukit Sengayang, Desa Gesing, Kecamatan Banjar hingga membuat resah warga sekitar. Warga yang bermukim di bawah perbukitan khawatir nanti diamuk bencana banjir dan longsor, karena pohon-pohon di hutan lindung dibabat untuk areal pembangunan pura.
Informasi yang berkembang, pembangunan di hutan lindung puncak Bukit Sengayang itu adalah pembangunan pura dengan skala besar. Namun, hingga kini belum diketahui siapa yang membangun pura dan siapa pula yang akan mengelola tempat itu. Konon, pembangunan pura di puncak Bukit Sengayang itu diinisiasi oleh seorang Sri Bagawan. Nama puranya pun sudah ditentukan, yakni Pura Gunung Sanghyang.
Krama Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, yakn Desa Gobleg (Kecamatan Banjar, Bu-leleng), Desa Munduk (Kecamatan Banjar, Buleleng), Desa Gesing (Kecamatan Banjar, Buleleng), dan Desa Umejero (Kecamatan Busungbiu, Buleleng) pun resah atas aktivitas pembangunan pura di puncak Bukit Sengayang ini.
Pengrajeg Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, I Gusti Ngurah Agung Pradnyan, meng-aku baru mengetahui adanya aktivitas pembangunan di puncak Bukit Sengayang ini setelah ada laporan dari krama di Desa Gesing. Krama Desa Gesing curiga dengan adanya sejumlah orang yang memikul bahan-bahan bangunan dan masuk ke hutan lindung yang selama ini disucikan oleh Catur Desa Adat Dalem Tamblingan.
Setelah pecalang Catur Desa Adat Dalem Tamblingan dikerahkan melakukan pengecekan ke tengah hutan di puncak Bukit Sengayang, terungkaplah di sana sedang berlangsung proses pembangunan. “Bahkan, beberapa bangunan seperti Sakapat (bertiang empat) sudah selesai dibangun,” ungkap Agung Pradnyan saat ditemui NusaBali di kediamannya di Puri Gobleg, Desa Gobleg, Selasa (21/1) lalu.
Menurut Agung Pradnyan, selain beberapa bangunan Sakapat, juga tampak ada lubang-lubang cakar ayam dan sejumlah tenda terpal nampak di tengah hutan yang pohonnya telah dibabat hingga menyerupai lapangan tersebut. “Lokasi pembangunan pura berada di puncak Bukit Sengayang, yang ditempuh 6 jam dengan jalan kaki. Tidak ada akses kendaraan ke sana,” katanya. *k19
Baik pasraman di Bukit Tamblingan maupun pura di puncak Bukit Sengayang kabarnya diinisiasi oleh orang yang sama, yakni seorang Sri Begawan. Informasi yang dihimpun NusaBali, Minggu (26/1), pasraman yang dikhawatirkan bisa memicu terjadinya bencana longsor ini dibangun di atas lahan seluas 7 hektare di Bukit Tamblingan. Warga sekitar tidak mengetahui persis siapa pemilik bangunan, termasuk pemanfaatannya.
Ada dua versi berkembang. Versi pertama, bangunan di Bukit Tamblingan itu untuk pasraman. Versi kedua, bangunan itu untuk persinggahan sebelum menunju pura yang sedang dibangun di puncak Bukit Sengayang, Desa Gesing. Konon, bangunan pasraman ini dibangun oleh Sri Begawan yang juga menginisiasi pembangunan pura di puncak Bukit Sengayang.
Seperti halnya pembangunan pura di puncak Bukit Sengayang, pembangunan pasraman di Bukit Tamblingan ini juga tidak ada pemberitahuan ke aparat Desa Munduk. Warga setempat khawatir pembangunan pasraman ini mengundang bencana longsor. Pasalnya, pembangunan dilakukan dengan mengggali bukit, sementara material hasil galian banyak yang berupa batu kali berukuran besar.
Perbekel Munduk, I Nyoman Niryasa, mengaku sudah sempat turun ke lokasi pem-bangunan pasraman. Menurut Nyoman Niryasa, pihaknya terjun bersama jajaran Ke-camatan Banjar dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Buleleng. Namun, sejauh ini mereka belum sempat bertemu dengan pemilik bangunan di Bukit Tamblingan.
“Kami juga tidak tahu persis pemanfaatan bangunan itu, karena tidak ada pemberitahuan. Tetapi, kami sudah mengecek ke lokasi. Dari pekerjanya, dikatakan bangunan ini sebagai pesinggahan Ida Sri Begawan,” ungkap Nyoman Niryasa kepada NusaBali, Minggu kemarin.
Niryasa menyebutkan, pihaknya terjun bersama jajaran Kecamatan Banjar dan Dinas Lingkungan Hidup Buleleng, karena sempat muncul di media sosial soal adanya pembaban hutan di Bukit Tamblingan. Namun, setelah dicek, lokasi yang disampaikan berbeda, bukan di Banjar Tamblingan melainkan di Bukit Sengayang kawasan Desa Gesing.
“Kalau di sini (di Bukit Tamblingan, Red) lahannya milik pribadi. Tidak ada hutan yang ditebang, tetapi memang ada galian di sana,” papar Niryasa. Menurut Niryasa, pihaknya bersama Dnas Lingkungan Hidup sudah mengingatkan agar pemilik bangunan di Bukit Tamblingan tetap berpedoman pada ketentuan. Sesuai ketentuan, pembangunan di Bukit Tamblingan diizinkan maksimal 20 persen dari seluruh luas lahan yang dimiliki. “Sisanya, 80 persen lagi biar dihijauhkan, agar lokasi di atas tetap menjadi wilayah konservasi,” tegas Niryasa.
Sebelum terungkapnya bagunan pasraman di Bukit Tamblingan, sempat muncul heboh pembangunan pura di kawasan hutan lindung Bukit Sengayang, Desa Gesing, Kecamatan Banjar hingga membuat resah warga sekitar. Warga yang bermukim di bawah perbukitan khawatir nanti diamuk bencana banjir dan longsor, karena pohon-pohon di hutan lindung dibabat untuk areal pembangunan pura.
Informasi yang berkembang, pembangunan di hutan lindung puncak Bukit Sengayang itu adalah pembangunan pura dengan skala besar. Namun, hingga kini belum diketahui siapa yang membangun pura dan siapa pula yang akan mengelola tempat itu. Konon, pembangunan pura di puncak Bukit Sengayang itu diinisiasi oleh seorang Sri Bagawan. Nama puranya pun sudah ditentukan, yakni Pura Gunung Sanghyang.
Krama Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, yakn Desa Gobleg (Kecamatan Banjar, Bu-leleng), Desa Munduk (Kecamatan Banjar, Buleleng), Desa Gesing (Kecamatan Banjar, Buleleng), dan Desa Umejero (Kecamatan Busungbiu, Buleleng) pun resah atas aktivitas pembangunan pura di puncak Bukit Sengayang ini.
Pengrajeg Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, I Gusti Ngurah Agung Pradnyan, meng-aku baru mengetahui adanya aktivitas pembangunan di puncak Bukit Sengayang ini setelah ada laporan dari krama di Desa Gesing. Krama Desa Gesing curiga dengan adanya sejumlah orang yang memikul bahan-bahan bangunan dan masuk ke hutan lindung yang selama ini disucikan oleh Catur Desa Adat Dalem Tamblingan.
Setelah pecalang Catur Desa Adat Dalem Tamblingan dikerahkan melakukan pengecekan ke tengah hutan di puncak Bukit Sengayang, terungkaplah di sana sedang berlangsung proses pembangunan. “Bahkan, beberapa bangunan seperti Sakapat (bertiang empat) sudah selesai dibangun,” ungkap Agung Pradnyan saat ditemui NusaBali di kediamannya di Puri Gobleg, Desa Gobleg, Selasa (21/1) lalu.
Menurut Agung Pradnyan, selain beberapa bangunan Sakapat, juga tampak ada lubang-lubang cakar ayam dan sejumlah tenda terpal nampak di tengah hutan yang pohonnya telah dibabat hingga menyerupai lapangan tersebut. “Lokasi pembangunan pura berada di puncak Bukit Sengayang, yang ditempuh 6 jam dengan jalan kaki. Tidak ada akses kendaraan ke sana,” katanya. *k19
1
Komentar