Sekdut Angkat Sifat Hewani dan Kemanusiaan
Bondres inovatif ini mengacu pada pola pertunjukan bondres tradisional. Tetapi ada beberapa unsur yang dikembangkan, seperti tambahan electric guitar.
DENPASAR, NusaBali
Kolaborasi Sekdut Bali Senior dan Sekdut Bali Junior besutan I Wayan Sugita beserta ananda I Gede Tilem Pastika membuat heboh panggung Bali Mandara Mahalango III di Kalangan Ayodya Taman Budaya Bali di Denpasar, Senin (8/8) malam. Sajian bondres inovatif dengan mengangkat judul ‘Penyu Super Hero’ ini tidak saja mengocok perut. Lebih dari itu, banyak pesan moral yang diangkat.
Sutradara pementasan, I Gede Tilem Pastika, menjelaskan, sesungguhnya bondres yang diberinya judul ‘Penyu Super Hiro’ ini terinspirasi dari cerita Tantri (fabel Bali). Cerita yang digunakan merupakan cerita fiktif yang dikarang sekaligus oleh sang sutradara. Kisahnya tentang bagaimana manusia yang memiliki sisi hewani dan hewan yang memiliki sisi kemunisiaan.
Namun sebenarnya, cerita ini bukan untuk membuat perbedaan menjadi didebatkan, tidak pula mencoba untuk menyamakan, namun keharmonisan adalah tujuan yang utama dengan didasari oleh rasa empati pada sesama ciptaan Tuhan. “Bondres inovatif ini menampilkan sajian bondres yang mencoba membawa dua perspektif berbeda, yakni perspektif manusia yang kehewanan dan perspektif hewan yang kemanusiaan,” ujarnya.
Alasan penggunaan cerita, menurut Tilem, adalah melihat banyaknya sisi kemanusian yang mulai hilang saat ini. Biasanya pada pergaulan sehari-hari, seseorang yang hilang sisi kemanusiaannya disamakan dengan binatang. Misalnya ketika mengumpat seseorang menggunakan sebutan kasar dengan menyebut nama hewan. Sementara sebaliknya, dari posisi hewan apakah mereka seburuk itu? Sehingga setiap suatu hal yang buruk pada diri manusia selalu diindentikkan dengan hewan.
“Nah, pada kesempatan ini Sekdut Bali ingin berbagi pemahaman dalam menyikapi hal tersebut. Manusia bukanlah hewan meskipun ia dianalogikan sebagai hewan karena sifat kehewanan tersebut. Begitupun hewan tidak ada yang dengan sengaja ingin mencelakakan manusia. Pesannya adalah mari hidup berdampingan tanpa saling menyakiti,” tuturnya.
Untuk menyampaikan pesan yang dimaksud, garapan bondres pun dirancang inovatif. Namun, garapan bondres inovatif ini tidaklah salah arah, tetap mengacu pada pola pertunjukan bondres tradisional. Akan tetapi dalam garapan ini ada beberapa unsur yang dikembangkan. Iringan yang digunakan pada garapan ini adalah beberapa instrumen dari semarpegulingan dan menggunakan electric guitar. “Bondres kali ini lebih banyak sisi lucunya. Kami masukkan pola stand up comedy dan teater parodi. Meski inovatif tapi kami tetap tidak meninggalkan bondres tradisional,” imbuhnya.
Begitu juga komposisi tari lebih banyak menggambarkan berbagai hewan dan suasana hutan. Tari yang dibawakan menggunakan gerak-gerak yang bersifat bebas dengan pendekatan pada contemporary art. Gerak tari yang dibawakan merupakan hasil pengolahan imajiner penari yang mengimitasi secara personal terhadap suasana dan visualisasi terhadap hutan dan hewan yang ada.
“Jadi mereka bebas menari, begitu komedinya semua saya bebaskan. Namun setelah bebas mereka harus ingat untuk kembali ke jalan cerita,” tuturnya. * i
Sutradara pementasan, I Gede Tilem Pastika, menjelaskan, sesungguhnya bondres yang diberinya judul ‘Penyu Super Hiro’ ini terinspirasi dari cerita Tantri (fabel Bali). Cerita yang digunakan merupakan cerita fiktif yang dikarang sekaligus oleh sang sutradara. Kisahnya tentang bagaimana manusia yang memiliki sisi hewani dan hewan yang memiliki sisi kemunisiaan.
Namun sebenarnya, cerita ini bukan untuk membuat perbedaan menjadi didebatkan, tidak pula mencoba untuk menyamakan, namun keharmonisan adalah tujuan yang utama dengan didasari oleh rasa empati pada sesama ciptaan Tuhan. “Bondres inovatif ini menampilkan sajian bondres yang mencoba membawa dua perspektif berbeda, yakni perspektif manusia yang kehewanan dan perspektif hewan yang kemanusiaan,” ujarnya.
Alasan penggunaan cerita, menurut Tilem, adalah melihat banyaknya sisi kemanusian yang mulai hilang saat ini. Biasanya pada pergaulan sehari-hari, seseorang yang hilang sisi kemanusiaannya disamakan dengan binatang. Misalnya ketika mengumpat seseorang menggunakan sebutan kasar dengan menyebut nama hewan. Sementara sebaliknya, dari posisi hewan apakah mereka seburuk itu? Sehingga setiap suatu hal yang buruk pada diri manusia selalu diindentikkan dengan hewan.
“Nah, pada kesempatan ini Sekdut Bali ingin berbagi pemahaman dalam menyikapi hal tersebut. Manusia bukanlah hewan meskipun ia dianalogikan sebagai hewan karena sifat kehewanan tersebut. Begitupun hewan tidak ada yang dengan sengaja ingin mencelakakan manusia. Pesannya adalah mari hidup berdampingan tanpa saling menyakiti,” tuturnya.
Untuk menyampaikan pesan yang dimaksud, garapan bondres pun dirancang inovatif. Namun, garapan bondres inovatif ini tidaklah salah arah, tetap mengacu pada pola pertunjukan bondres tradisional. Akan tetapi dalam garapan ini ada beberapa unsur yang dikembangkan. Iringan yang digunakan pada garapan ini adalah beberapa instrumen dari semarpegulingan dan menggunakan electric guitar. “Bondres kali ini lebih banyak sisi lucunya. Kami masukkan pola stand up comedy dan teater parodi. Meski inovatif tapi kami tetap tidak meninggalkan bondres tradisional,” imbuhnya.
Begitu juga komposisi tari lebih banyak menggambarkan berbagai hewan dan suasana hutan. Tari yang dibawakan menggunakan gerak-gerak yang bersifat bebas dengan pendekatan pada contemporary art. Gerak tari yang dibawakan merupakan hasil pengolahan imajiner penari yang mengimitasi secara personal terhadap suasana dan visualisasi terhadap hutan dan hewan yang ada.
“Jadi mereka bebas menari, begitu komedinya semua saya bebaskan. Namun setelah bebas mereka harus ingat untuk kembali ke jalan cerita,” tuturnya. * i
Komentar