Pembahasan RUU Kamnas Tak Prosedural
Rancangan UU Keamanan Nasional (RUU Kamnas) kembali diajukan Pemerintah untuk dibahas dengan DPR.
JAKARTA, NusaBali
Namun pengajuan RUU Kamnas dipertanyakan oleh anggota Komisi III DPR RI yang menangani masalah hukum Arsul Sani. Karena, menurutnya, seharusnya yang menjadi inisiator RUU Kamnas adalah Kemenhan, bukan DPR RI.
“Seharusnya Kemenhan RI datang ke Kemenkum dan HAM, bukannya mendatangi DPR RI. Juga tidak tepat kalau DPR langsung merespon RUU Kamnas ini dan akan langsung memasukkan ke Prolegnas 2016. Sebab, 40 RUU yang menjadi tugas DPR RI saja baru sekitar 10 RUU yang dibahas. Belum lagi KUHP yang rumit, mau ditambah RUU Kamnas,” ujar Asrul di Kompleks Parlemen, Selasa (9/8).
Dari sisi penjadwalan, kata Arsul, memang tidak memungkinkan. Kalau dipaksakan akan membuat DPR RI dipersepsikan tidak produktif. “Jadi, RUU Kamnas ini ada persoalan prosedural dan subtstansial. Saya juga khawatir munculnya RUU Kamnas karena Polri saat ini dipersepsi sangat berkuasa yang melebihi di era Orde Baru,” ucapnya.
Tapi, kalau TNI masuk wilayah keamanan, maka harus amandemen UUD 1945 Pasal 30 terkait polisi untuk keamanan dan TNI untuk pertahanan negara. Menurut Arsul, sejauh ini RUU Kamnas seperti gadis cantik dan seksi. Dimana banyak yang mencintai dan juga ada juga yang membenci.
Asrul menerangkan, RUU ini pernah ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga kalau dilanjutkan pembahasannya, maka harus sosialisasi dan konsultasi dengan masyarakat luas. Apalagi RUU Kamnas muncul tiba-tiba di tengah pembahasan RUU Terorisme.
“RUU ini diharapkan menjadi payung hukum pertahanan dan keamanan, melainkan juga perbantuan TNI dalam tindak pidana terorisme. Tapi, TNI meminta tindak pidana-nya dihilangkan, itu artinya keterlibatan TNI akan lebih luas ke dalam keamanan nasional yang selama ini menjadi kewenangan Polri,” paparnya.
Dirjen Peraturan Perundangan Kemenkum dan HAM RI Widodo Ekatjahjana menyatakan, secara substansi RUU Kamnas ini sempat mengundang isu-isu negatif, sehingga harus disikapi secara sungguh-sungguh agar pemerintah responsive terhadap tuntutan masyarakat. Menurut Widodo, RUU Kamnas ini harus dibentuk, namun harus dilakukan sinkronisasi terlebih dahulu dan jangan sampai ada perampasan-perampasan hak-hak rakyat dan tidak kembali ke era represif. “Saya yakin pemerintah komitmen untuk tidak kembali ke era represif,” imbuhnya.
SementaraDirektur Imparsial Al A’raf mengatakan, pemerintah dan DPR RI harus melihat RUU Kamnas ini dari sisi urgensinya untuk apa dan kepentingannya apa. “Kalau mengatur relasi antara TNI dan Polri terkait ancaman terorisme, maka TNI bisa dilibatkan melalui UU TNI No.23/1959 Pasal 7 (3), sudah mengatur keterlibatan TNI. Kalau tak cukup, maka dengan UU Kedaruratan. Itu yang harus direvisi. Jadi, tata atur keamanan negara sudah selesai,” katanya. K22
Namun pengajuan RUU Kamnas dipertanyakan oleh anggota Komisi III DPR RI yang menangani masalah hukum Arsul Sani. Karena, menurutnya, seharusnya yang menjadi inisiator RUU Kamnas adalah Kemenhan, bukan DPR RI.
“Seharusnya Kemenhan RI datang ke Kemenkum dan HAM, bukannya mendatangi DPR RI. Juga tidak tepat kalau DPR langsung merespon RUU Kamnas ini dan akan langsung memasukkan ke Prolegnas 2016. Sebab, 40 RUU yang menjadi tugas DPR RI saja baru sekitar 10 RUU yang dibahas. Belum lagi KUHP yang rumit, mau ditambah RUU Kamnas,” ujar Asrul di Kompleks Parlemen, Selasa (9/8).
Dari sisi penjadwalan, kata Arsul, memang tidak memungkinkan. Kalau dipaksakan akan membuat DPR RI dipersepsikan tidak produktif. “Jadi, RUU Kamnas ini ada persoalan prosedural dan subtstansial. Saya juga khawatir munculnya RUU Kamnas karena Polri saat ini dipersepsi sangat berkuasa yang melebihi di era Orde Baru,” ucapnya.
Tapi, kalau TNI masuk wilayah keamanan, maka harus amandemen UUD 1945 Pasal 30 terkait polisi untuk keamanan dan TNI untuk pertahanan negara. Menurut Arsul, sejauh ini RUU Kamnas seperti gadis cantik dan seksi. Dimana banyak yang mencintai dan juga ada juga yang membenci.
Asrul menerangkan, RUU ini pernah ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga kalau dilanjutkan pembahasannya, maka harus sosialisasi dan konsultasi dengan masyarakat luas. Apalagi RUU Kamnas muncul tiba-tiba di tengah pembahasan RUU Terorisme.
“RUU ini diharapkan menjadi payung hukum pertahanan dan keamanan, melainkan juga perbantuan TNI dalam tindak pidana terorisme. Tapi, TNI meminta tindak pidana-nya dihilangkan, itu artinya keterlibatan TNI akan lebih luas ke dalam keamanan nasional yang selama ini menjadi kewenangan Polri,” paparnya.
Dirjen Peraturan Perundangan Kemenkum dan HAM RI Widodo Ekatjahjana menyatakan, secara substansi RUU Kamnas ini sempat mengundang isu-isu negatif, sehingga harus disikapi secara sungguh-sungguh agar pemerintah responsive terhadap tuntutan masyarakat. Menurut Widodo, RUU Kamnas ini harus dibentuk, namun harus dilakukan sinkronisasi terlebih dahulu dan jangan sampai ada perampasan-perampasan hak-hak rakyat dan tidak kembali ke era represif. “Saya yakin pemerintah komitmen untuk tidak kembali ke era represif,” imbuhnya.
SementaraDirektur Imparsial Al A’raf mengatakan, pemerintah dan DPR RI harus melihat RUU Kamnas ini dari sisi urgensinya untuk apa dan kepentingannya apa. “Kalau mengatur relasi antara TNI dan Polri terkait ancaman terorisme, maka TNI bisa dilibatkan melalui UU TNI No.23/1959 Pasal 7 (3), sudah mengatur keterlibatan TNI. Kalau tak cukup, maka dengan UU Kedaruratan. Itu yang harus direvisi. Jadi, tata atur keamanan negara sudah selesai,” katanya. K22
Komentar