Masihkah Berguna Menjadi Wartawan?
Di megapolis New York pernah hidup seorang wartawati Indonesia, Threes Nio namanya.
Ia bekerja untuk harian Kompas, ditempatkan di kota itu sejak 1982. Threes dikenal sebagai wartawati ulet dan hidup mandiri. Sepulang meliput konferensi GATT di Brussel, ia mendapat serangan jantung, meninggal di apartemennya di New York, November 1990, dalam usia 51 tahun, tanpa sempat menyelesaikan laporan jurnalistik yang tengah ia garap. Ia tetap sendiri sampai akhir hayatnya.
Mengenang Threes, rekan-rekannya menulis buku kenangan. Sabam Siagian, mantan Pemred Jakarta Post, mengungkapkan kesan pertemuan terakhir dengan Threes, September 1990, yang menyodok Sabam dengan pertanyaan, “Apa masih ada gunanya kita ini bekerja sebagai pers?” Sabam mengaku berpura-pura sibuk menikmati hidangan, mengelakkan diri menjawab pertanyaan. Alasan Sabam, “Karena pertanyaan itu mulai mengganggu diri saya juga.”
Ini sebuah pertanyaan yang muncul tatkala pers nasional mulai memproklamirkan diri sebagai sebuah industri. Pertanyaan semacam ini tak pernah muncul ketika orang mendengungkan pers Indonesia sebagai pers perjuangan. Setiap wartawan pemula selalu diingatkan, bekerja di pers adalah sebuah tanggung jawab keberpihakan pada masyarakat kecil, pada keadilan, dan kejujuran. Karena itu setiap wartawan diminta untuk terus menerus memperdalam dan mengasah wawasan mereka tentang seluk beluk persoalan-persoalan kemasyarakatan dan kemanusiaan.
Tapi zaman berkembang sangat jauh. Threes Nio, dan juga ribuan wartawan lain, mulai bertanya-tanya, benarkah para pekerja pers sekarang masih berpihak pada masyarakat kecil? Apakah jadinya jika sebuah industri pers ngotot berpihak pada masyarakat bawah? Tidakkah hal itu akan mempersulit diri mereka sendiri? Bukankah sering muncul komentar, pers telah tumbuh menjadi humas bagi birokrasi?
Sebagai sebuah industri, pers jelas mengejar untung, sehingga bisa memperlebar usaha dan menjamin kesejahteraan karyawannya. Jurus siasat harus dikeluarkan, hubungan bisnis meluas, tawar menawar digelar, dan partner usaha harus digalang. Manajemen tak lagi menjadi urusan redaksional semata, tapi juga bagian perusahaan. Pers industri menjadi semakin kompleks, tidak lagi monopoli wartawan atau redaktur. Di zaman pers perjuangan, koran identik dengan nama besar wartawannya, sekarang tak lagi cukup seperti itu.
Maka konsep keberpihakan kepada rakyat kecil semata tak lagi dianggap memenuhi syarat semua bagian dalam industri pers. Ibaratnya, kritik terhadap lembaga tertentu silakan jalan, tapi tanpa mengganggu mekanisme hubungan bisnis dengan lembaga tersebut.
Lembaga tersebut bisa berarti pemerintah dan swasta. Dalam hubungannya dengan lembaga pemerintah, sebagai sebuah industri, pers justru semakin tak leluasa bergerak menghadapi kekuasaan. Seorang rekan wartawan mengaku, jika ia menulis berita peka yang berhubungan dengan kekuasaan, di belakang tengkuknya seperti berdiri sosok tinggi dan kukuh mengawasi. Ia mengaku, alangkah kecut perasaan menulis perihal keberpihakan pada rakyat kecil, kejujuran, keadilan, ketika ‘diawasi’ oleh kekuasaan. Kesalahan kecil bisa membuat seluruh karyawan kehilangan pekerjaan karena penerbitan dibredel.
Maka wajar pertanyaan apakah masih ada gunanya bekerja di pers semakin mengusik perhatian banyak orang. Anak-anak muda yang pintar-pintar kelak tak begitu tertarik pada dunia pers, karena bidang ini membawa resiko sangat besar.
Tak hanya penjara yang menunggu dan resiko kematian karena membela tulisan, tapi juga tiba-tiba menjadi penganggur. Orang tua tak akan ‘merestui’ anak-anaknya memilih pekerjaan di pers yang penuh resiko. Jika si anak ngotot memberi alasan, bahwa dengan mengabdi di pers bisa membela rakyat kecil, si orang tua mungkin membantah dengan mengatakan, “Kamu bisa saja jadi pengacara, tak usah jadi wartawan.”
Itu kisah dinamika pers ketika rezim Orde Baru berkuasa, tatkala di tahun 1980-1990an tiras sebuah harian yang terbit di Jakarta sampai setengah juta eksemplar, sehingga menjadi media sangat bergengsi, yang tentu selalu dilirik oleh pengusaha buat mengiklankan produk mereka. Dan media berpihak pada industri karena menjadi lebih aman dan nyaman. Beberapa wartawan mengeluh, pemasang iklan lebih berkuasa dibanding redaktur. Kadang berita harus mengalah, karena kolom lebih penting buat iklan yang memberi pemasukan besar.
Sekarang, di zaman digital, wartawan toh tetap hadir. Koran dan majalah tetap terbit, masih dicetak, kendati dengan tiras rendah, dan pemasukan iklan amat sulit. Beberapa wartawan mengeluh dan bertanya-tanya sesama rekan, masihkah ada gunanya menjadi wartawan? Bukankah sekarang semua orang yang memegang telepon genggam merasa sudah jadi wartawan? Mereka mengabarkan apa saja yang mereka lihat kepada dunia. Mereka menjadi pewarta yang merasa sangat penting dan piawai, tanpa harus sekolah atau kursus jurnalistik.
Ilmu kewartawanan tidak mereka miliki, namun mereka merasa sudah menjadi juru warta hebat, mengaku status yang mereka tulis dan foto yang diunggah selalu ditunggu-tunggu di media sosial.
Kalau begitu alangkah malang dunia pers. Ini akan membangkitkan kenangan pada Adhy Ryadi, wartawan yang mati muda. Tahun 1981 dari kampung halamannya di Singaraja, Adhy sangat rajin mengirim tulisan untuk koran yang terbit di Denpasar. Ia memandang jagat wartawan adalah dunia yang penuh kejujuran dan kaya dengan keberpihakan pada rakyat kecil.
Ia pun pindah dari kampung halamannya ke Denpasar, mencoba hidup jadi wartawan betulan, bergabung dengan harian Karya Bhakti. Ia jadi reporter, bertemu dengan banyak sumber. Menulis berita menjadi sebuah pekerjaan yang tak lagi perlu melulu dicermati dengan akal, tapi juga dengan naluri. Ia bekerja siang malam, tekun, dan memburu liputan ke banyak tempat. Tapi suatu ketika ia mengungkapkan kekecewaannya tentang dunia pers. Antara lain ia berkata, “Wartawan ternyata tidak sehebat yang saya duga, dan sumber-sumber berita pun banyak yang biasa-biasa saja.” Ia mengaku, sedikit sekali bertemu sumber yang memberi keterangan memuaskan. Sesuatu yang sangat jauh beda dengan yang ia perkirakan semasih di Singaraja.
Adhy adalah wartawan yang gelisah, yang selalu menilai ambang batas visi seorang wartawan harus selalu diperluas dan dipertajam, agar selalu bisa menjaga empati dengan manusia dan persoalan-persoalannya.
Adhy kemudian pindah kerja ke banyak media, jadi koresponden beberapa penerbitan Jakarta, sebelum akhirnya menghabiskan hidupnya di Bali Post. Ia kemudian melihat kewartawanan hanya sebatas sebuah profesi, tak beda dengan guru, karyawan pemda, atau pekerja di hotel. Wartawan kemudian hanya menjadi sebuah merek. Itu sebabnya Adhy tak begitu mempersoalkan ketika ia diserahi mengurus desk olahraga, padahal ia sangat menyukai bidang seni dan budaya. Ia sempat meliput Asian Games di Hiroshima, Jepang, tahun 1994.
Tapi, ia lebih menikmati hidupnya sebagai penyair dibanding sebagai pekerja pers yang lambat laun semakin direcoki oleh terlampau banyak peraturan, sehingga mengekang kebebasan dan kreativitas. Mungkin ia pernah kecewa dengan pilihannya sebagai wartawan, namun toh ia mengaku, sangat mencintai pekerjaan jurnalistik, “Karena bekerja yang lain untuk hidup saya tak bisa,” akunya.
Aryantha Soethama
Pengarang
Mengenang Threes, rekan-rekannya menulis buku kenangan. Sabam Siagian, mantan Pemred Jakarta Post, mengungkapkan kesan pertemuan terakhir dengan Threes, September 1990, yang menyodok Sabam dengan pertanyaan, “Apa masih ada gunanya kita ini bekerja sebagai pers?” Sabam mengaku berpura-pura sibuk menikmati hidangan, mengelakkan diri menjawab pertanyaan. Alasan Sabam, “Karena pertanyaan itu mulai mengganggu diri saya juga.”
Ini sebuah pertanyaan yang muncul tatkala pers nasional mulai memproklamirkan diri sebagai sebuah industri. Pertanyaan semacam ini tak pernah muncul ketika orang mendengungkan pers Indonesia sebagai pers perjuangan. Setiap wartawan pemula selalu diingatkan, bekerja di pers adalah sebuah tanggung jawab keberpihakan pada masyarakat kecil, pada keadilan, dan kejujuran. Karena itu setiap wartawan diminta untuk terus menerus memperdalam dan mengasah wawasan mereka tentang seluk beluk persoalan-persoalan kemasyarakatan dan kemanusiaan.
Tapi zaman berkembang sangat jauh. Threes Nio, dan juga ribuan wartawan lain, mulai bertanya-tanya, benarkah para pekerja pers sekarang masih berpihak pada masyarakat kecil? Apakah jadinya jika sebuah industri pers ngotot berpihak pada masyarakat bawah? Tidakkah hal itu akan mempersulit diri mereka sendiri? Bukankah sering muncul komentar, pers telah tumbuh menjadi humas bagi birokrasi?
Sebagai sebuah industri, pers jelas mengejar untung, sehingga bisa memperlebar usaha dan menjamin kesejahteraan karyawannya. Jurus siasat harus dikeluarkan, hubungan bisnis meluas, tawar menawar digelar, dan partner usaha harus digalang. Manajemen tak lagi menjadi urusan redaksional semata, tapi juga bagian perusahaan. Pers industri menjadi semakin kompleks, tidak lagi monopoli wartawan atau redaktur. Di zaman pers perjuangan, koran identik dengan nama besar wartawannya, sekarang tak lagi cukup seperti itu.
Maka konsep keberpihakan kepada rakyat kecil semata tak lagi dianggap memenuhi syarat semua bagian dalam industri pers. Ibaratnya, kritik terhadap lembaga tertentu silakan jalan, tapi tanpa mengganggu mekanisme hubungan bisnis dengan lembaga tersebut.
Lembaga tersebut bisa berarti pemerintah dan swasta. Dalam hubungannya dengan lembaga pemerintah, sebagai sebuah industri, pers justru semakin tak leluasa bergerak menghadapi kekuasaan. Seorang rekan wartawan mengaku, jika ia menulis berita peka yang berhubungan dengan kekuasaan, di belakang tengkuknya seperti berdiri sosok tinggi dan kukuh mengawasi. Ia mengaku, alangkah kecut perasaan menulis perihal keberpihakan pada rakyat kecil, kejujuran, keadilan, ketika ‘diawasi’ oleh kekuasaan. Kesalahan kecil bisa membuat seluruh karyawan kehilangan pekerjaan karena penerbitan dibredel.
Maka wajar pertanyaan apakah masih ada gunanya bekerja di pers semakin mengusik perhatian banyak orang. Anak-anak muda yang pintar-pintar kelak tak begitu tertarik pada dunia pers, karena bidang ini membawa resiko sangat besar.
Tak hanya penjara yang menunggu dan resiko kematian karena membela tulisan, tapi juga tiba-tiba menjadi penganggur. Orang tua tak akan ‘merestui’ anak-anaknya memilih pekerjaan di pers yang penuh resiko. Jika si anak ngotot memberi alasan, bahwa dengan mengabdi di pers bisa membela rakyat kecil, si orang tua mungkin membantah dengan mengatakan, “Kamu bisa saja jadi pengacara, tak usah jadi wartawan.”
Itu kisah dinamika pers ketika rezim Orde Baru berkuasa, tatkala di tahun 1980-1990an tiras sebuah harian yang terbit di Jakarta sampai setengah juta eksemplar, sehingga menjadi media sangat bergengsi, yang tentu selalu dilirik oleh pengusaha buat mengiklankan produk mereka. Dan media berpihak pada industri karena menjadi lebih aman dan nyaman. Beberapa wartawan mengeluh, pemasang iklan lebih berkuasa dibanding redaktur. Kadang berita harus mengalah, karena kolom lebih penting buat iklan yang memberi pemasukan besar.
Sekarang, di zaman digital, wartawan toh tetap hadir. Koran dan majalah tetap terbit, masih dicetak, kendati dengan tiras rendah, dan pemasukan iklan amat sulit. Beberapa wartawan mengeluh dan bertanya-tanya sesama rekan, masihkah ada gunanya menjadi wartawan? Bukankah sekarang semua orang yang memegang telepon genggam merasa sudah jadi wartawan? Mereka mengabarkan apa saja yang mereka lihat kepada dunia. Mereka menjadi pewarta yang merasa sangat penting dan piawai, tanpa harus sekolah atau kursus jurnalistik.
Ilmu kewartawanan tidak mereka miliki, namun mereka merasa sudah menjadi juru warta hebat, mengaku status yang mereka tulis dan foto yang diunggah selalu ditunggu-tunggu di media sosial.
Kalau begitu alangkah malang dunia pers. Ini akan membangkitkan kenangan pada Adhy Ryadi, wartawan yang mati muda. Tahun 1981 dari kampung halamannya di Singaraja, Adhy sangat rajin mengirim tulisan untuk koran yang terbit di Denpasar. Ia memandang jagat wartawan adalah dunia yang penuh kejujuran dan kaya dengan keberpihakan pada rakyat kecil.
Ia pun pindah dari kampung halamannya ke Denpasar, mencoba hidup jadi wartawan betulan, bergabung dengan harian Karya Bhakti. Ia jadi reporter, bertemu dengan banyak sumber. Menulis berita menjadi sebuah pekerjaan yang tak lagi perlu melulu dicermati dengan akal, tapi juga dengan naluri. Ia bekerja siang malam, tekun, dan memburu liputan ke banyak tempat. Tapi suatu ketika ia mengungkapkan kekecewaannya tentang dunia pers. Antara lain ia berkata, “Wartawan ternyata tidak sehebat yang saya duga, dan sumber-sumber berita pun banyak yang biasa-biasa saja.” Ia mengaku, sedikit sekali bertemu sumber yang memberi keterangan memuaskan. Sesuatu yang sangat jauh beda dengan yang ia perkirakan semasih di Singaraja.
Adhy adalah wartawan yang gelisah, yang selalu menilai ambang batas visi seorang wartawan harus selalu diperluas dan dipertajam, agar selalu bisa menjaga empati dengan manusia dan persoalan-persoalannya.
Adhy kemudian pindah kerja ke banyak media, jadi koresponden beberapa penerbitan Jakarta, sebelum akhirnya menghabiskan hidupnya di Bali Post. Ia kemudian melihat kewartawanan hanya sebatas sebuah profesi, tak beda dengan guru, karyawan pemda, atau pekerja di hotel. Wartawan kemudian hanya menjadi sebuah merek. Itu sebabnya Adhy tak begitu mempersoalkan ketika ia diserahi mengurus desk olahraga, padahal ia sangat menyukai bidang seni dan budaya. Ia sempat meliput Asian Games di Hiroshima, Jepang, tahun 1994.
Tapi, ia lebih menikmati hidupnya sebagai penyair dibanding sebagai pekerja pers yang lambat laun semakin direcoki oleh terlampau banyak peraturan, sehingga mengekang kebebasan dan kreativitas. Mungkin ia pernah kecewa dengan pilihannya sebagai wartawan, namun toh ia mengaku, sangat mencintai pekerjaan jurnalistik, “Karena bekerja yang lain untuk hidup saya tak bisa,” akunya.
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar