Full Day School Tidak Cocok di Buleleng
Pola pendidikan full day school (FDS) atau sekolah sehari penuh yang diwacanakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Muhadjir Effendy, terus menuai kritik.
SINGARAJA, NusaBali
Beberapa kalangan di Buleleng menilai FDS untuk siswa SD dan SMP, tidak cocok diterapkan di Buleleng. Hal tersebut disampaikan pemerhati anak sekaligus Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) Buleleng Ricko Wibawa, Kamis (11/8) siang. Ia mengatakan penerapan FDS harus ada ketentuan jelas, terkait alasan, batasan anak yang dikenakan dan kelengkapan fasilitas pembelajaran untuk mendukung hal tersebut. “Tetapi tetap saja tidak dapat diterapkan di seluruh wilayah Indonesia. Apalagi Buleleng memiliki topografi wilayah yang tidak jarang siswanya mengalami hambatan jarak tempuh sekolah yang jauh. Kenapa tidak fasilitas dan kelengkapan belajar yang ditingkatkan,” ujar Ricko.
Terlebih, kata dia, saat ini pihak Dinas Pendidikan (Disdik) Buleleng menemukan ratusan anak kurang mampu yang terkendala ekonomi dan jarak tempuh sekolah sehingga terancam putus sekolah. Sistem pembelajaran FDS, menurut Ricko, tidak akan efektif diterapkan apabila fasilitas pembelajaran di sekolah belum memadai. Antara lain, akses internet, gedung sekolah dan fasilitas pendukung lainnya.
Ia menambahkan, pemberlakukan FDS rentan mengganggu tumbuh kembang anak. Kondisi tersebut akan memengaruhi psikologis anak-anak yang memiliki masa kebebasan untuk bermain dan bergaul dengan teman di lingkungannya. Waktu belajar yang sangat tinggi akan menimbulkan efek kejenuhan pada otak anak yang bersangkutan. Apalagi mereka ada di sekolah seharian penuh. Anak-anak seumuran SD dan SMP berpotensi mengalami kejenuhan dan mempengaruhi tingkah lakunya di luar sekolah.
Kata Ricko, jika FDS benar-benar diterapkan, pihaknya meminta kepada yang berwenang agar mempertimbangkan konversi anak akan kewajibannya dan kebebasan mereka untuk bermain. Sebab untuk dapat mengubah kebiasaan anak-anak cenderung memerlukan waktu yang lama untuk penyesuaian.
Sementara itu, Kepala Disdik Buleleng Gede Suyasa yang ditemui terpisah, tidak mau berkomentar banyak terkait wacana tersebut. Ia hanya mengaku saat ini tengah fokus mengurusi anak-anak yang terancam putus sekolah di Buleleng melalui posko drop out di masing-masing kecamatan. Timnya pun saat ini sedang bekerja untuk memperjuangkan anak-anak tersebut untuk dapat mengenyam pendidikan wajib belajar sembilan tahun. *k23
Beberapa kalangan di Buleleng menilai FDS untuk siswa SD dan SMP, tidak cocok diterapkan di Buleleng. Hal tersebut disampaikan pemerhati anak sekaligus Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) Buleleng Ricko Wibawa, Kamis (11/8) siang. Ia mengatakan penerapan FDS harus ada ketentuan jelas, terkait alasan, batasan anak yang dikenakan dan kelengkapan fasilitas pembelajaran untuk mendukung hal tersebut. “Tetapi tetap saja tidak dapat diterapkan di seluruh wilayah Indonesia. Apalagi Buleleng memiliki topografi wilayah yang tidak jarang siswanya mengalami hambatan jarak tempuh sekolah yang jauh. Kenapa tidak fasilitas dan kelengkapan belajar yang ditingkatkan,” ujar Ricko.
Terlebih, kata dia, saat ini pihak Dinas Pendidikan (Disdik) Buleleng menemukan ratusan anak kurang mampu yang terkendala ekonomi dan jarak tempuh sekolah sehingga terancam putus sekolah. Sistem pembelajaran FDS, menurut Ricko, tidak akan efektif diterapkan apabila fasilitas pembelajaran di sekolah belum memadai. Antara lain, akses internet, gedung sekolah dan fasilitas pendukung lainnya.
Ia menambahkan, pemberlakukan FDS rentan mengganggu tumbuh kembang anak. Kondisi tersebut akan memengaruhi psikologis anak-anak yang memiliki masa kebebasan untuk bermain dan bergaul dengan teman di lingkungannya. Waktu belajar yang sangat tinggi akan menimbulkan efek kejenuhan pada otak anak yang bersangkutan. Apalagi mereka ada di sekolah seharian penuh. Anak-anak seumuran SD dan SMP berpotensi mengalami kejenuhan dan mempengaruhi tingkah lakunya di luar sekolah.
Kata Ricko, jika FDS benar-benar diterapkan, pihaknya meminta kepada yang berwenang agar mempertimbangkan konversi anak akan kewajibannya dan kebebasan mereka untuk bermain. Sebab untuk dapat mengubah kebiasaan anak-anak cenderung memerlukan waktu yang lama untuk penyesuaian.
Sementara itu, Kepala Disdik Buleleng Gede Suyasa yang ditemui terpisah, tidak mau berkomentar banyak terkait wacana tersebut. Ia hanya mengaku saat ini tengah fokus mengurusi anak-anak yang terancam putus sekolah di Buleleng melalui posko drop out di masing-masing kecamatan. Timnya pun saat ini sedang bekerja untuk memperjuangkan anak-anak tersebut untuk dapat mengenyam pendidikan wajib belajar sembilan tahun. *k23
Komentar