Prosesi Ngaben di Laut, Tiap Pasametonan Dapat Giliran 5 Tahun Sekali
Ngaben massal pada Jumat (12/8), digelar oleh Pasametonan Ida Dukuh Segening, mengupacarai 69 sawa. Tahun lalu giliran krama Pasametonan Tutuan Banjar Majuh Kauh di Banjar Kangin, Desa Pakraman Batumulapan.
Ngaben di Desa Pakraman Batumulapan, Nusa Penida, Kabupaten Klungkung
SEMARAPURA, NusaBali
Pasametonan Ida Dukuh Segening, Banjar Batumulapan Kauh, Desa Pakraman Batumulapan, Desa Batununggul, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, tahun ini mendapat giliran menggelar ritual upacara ngaben. Sebagaimana adat istiadat setempat, prosesi ngaben yang digelar pada Sukra Wage Wariga, Jumat (12/8) sore, ngarak bade dan sarana berupa Singa putih dilakukan di laut.
Ngaben dari Pasametonan Ida Dukuh Segening diikuti 69 sawa (mayat). Sarana ritual yang digunakan di antaranya sebuah bade dan dua sarana Singa putih. Inilah yang diarak di tepian perairan selama sekitar 1 jam, sekitar pukul 15.30–16.30 Wita. Kemudian prosesi selanjutnya pembakaran sawa di Setra Desa Pakraman Batumulapan.
Ketua Panitia I Ketut Manta menyatakan, ngaben kali ini diikuti sebanyak 69 sawa. Sebanyak 300 kepala keluarga Pasametonan Ida Dukuh Segening, Banjar Batumulapan Kauh dikenakan urunan Rp 2 juta. Baik yang berada perantauan Denpasar, Sumatera, Sumbawa (NTB), dan lainnya.
“Hasil paruman sebelum ngaben, disepakati dilakukan urusan guna menekan biaya yang dikeluarkan,” kata Manta, Sabtu (13/8). Bendesa Pakraman Batumulapan I Gede Agus Wahyudi menjelaskan, tradisi menggarak bade atau wadah ke tengah laut, karena faktor letak setra yang berdekatan dengan pantai. “Tidak ada sumber sastranya,” kata Agus Wahyudi.
Mengapa diarak ke tengah laut, karena warga lebih leluasa dan lebih aman, ketimbang di daratan, yakni jalanan sempit dan ada halangan lain seperti perumahan atau pepohonan dan penghalang lainnya. “Istilah lebih leluasa newakang bade,” jelas Agus Wahyudi.
Tradisi itu, kata Agus Wahyudi, sudah berlangsung turun–temurun. Meski bade diarak ke tengah laut, namun ritual pengabenan tetap dilaksanakan di pamuun (lokasi pembakaran) setra/kuburan setempat.
Untuk di Desa Pakraman Batumulapan, ada dua banjar yakni Banjar Kauh dan Banjar Kangin. Di dua banjar tersebut ada beberapa kelompok pamerajan (klan). Jadwal pengabenan diatur, sehingga kelompok atau beberapa kelompok gabungan warga, dapat giliran ngaben setiap lima tahun sekali, yakni pada sasih ngaben (musim ngaben). “Tahun depan jadwal dari warga banjar yang lain,” ucap Agus Wahyudi, beberapa waktu lalu.
Nah, pada Jumat (12/8), giliran Pasametonan Ida Dukuh Segening yang menyelenggarakan upacara ngaben.
Pada tahun 2015 lalu, prosesi ngaben berlangsung pada Sanicara Paing Merakih, Sabtu (5 September 2015). Saat itu yang mendapat giliran menyelenggarakan upacara ngaben adalah krama Pasametonan Tutuan Banjar Majuh Kauh di Banjar Kangin, Desa Pakraman Batumulapan. Sebanyak 4 sawa (jasad orang meninggal) yang diaben, berikut Upacara Ngelangkir dan Ngelungah Warak Krurunan (bayi yang meninggal saat lahir) sebanyak delapan.
Ketua Panitia I Kadek Darmanta mengatakan upacara ngaben yang digelar warga Pasametonan Tutuan, dilaksanakan secara bergotongroyong. “Dengan begitu rasa menyama braya berjalan dengan serasi,” ujar Kadek Darmanta, yang akrab disapa Dek Kadoel.
SELANJUTNYA . . .
SEMARAPURA, NusaBali
Pasametonan Ida Dukuh Segening, Banjar Batumulapan Kauh, Desa Pakraman Batumulapan, Desa Batununggul, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, tahun ini mendapat giliran menggelar ritual upacara ngaben. Sebagaimana adat istiadat setempat, prosesi ngaben yang digelar pada Sukra Wage Wariga, Jumat (12/8) sore, ngarak bade dan sarana berupa Singa putih dilakukan di laut.
Ngaben dari Pasametonan Ida Dukuh Segening diikuti 69 sawa (mayat). Sarana ritual yang digunakan di antaranya sebuah bade dan dua sarana Singa putih. Inilah yang diarak di tepian perairan selama sekitar 1 jam, sekitar pukul 15.30–16.30 Wita. Kemudian prosesi selanjutnya pembakaran sawa di Setra Desa Pakraman Batumulapan.
Ketua Panitia I Ketut Manta menyatakan, ngaben kali ini diikuti sebanyak 69 sawa. Sebanyak 300 kepala keluarga Pasametonan Ida Dukuh Segening, Banjar Batumulapan Kauh dikenakan urunan Rp 2 juta. Baik yang berada perantauan Denpasar, Sumatera, Sumbawa (NTB), dan lainnya.
“Hasil paruman sebelum ngaben, disepakati dilakukan urusan guna menekan biaya yang dikeluarkan,” kata Manta, Sabtu (13/8). Bendesa Pakraman Batumulapan I Gede Agus Wahyudi menjelaskan, tradisi menggarak bade atau wadah ke tengah laut, karena faktor letak setra yang berdekatan dengan pantai. “Tidak ada sumber sastranya,” kata Agus Wahyudi.
Mengapa diarak ke tengah laut, karena warga lebih leluasa dan lebih aman, ketimbang di daratan, yakni jalanan sempit dan ada halangan lain seperti perumahan atau pepohonan dan penghalang lainnya. “Istilah lebih leluasa newakang bade,” jelas Agus Wahyudi.
Tradisi itu, kata Agus Wahyudi, sudah berlangsung turun–temurun. Meski bade diarak ke tengah laut, namun ritual pengabenan tetap dilaksanakan di pamuun (lokasi pembakaran) setra/kuburan setempat.
Untuk di Desa Pakraman Batumulapan, ada dua banjar yakni Banjar Kauh dan Banjar Kangin. Di dua banjar tersebut ada beberapa kelompok pamerajan (klan). Jadwal pengabenan diatur, sehingga kelompok atau beberapa kelompok gabungan warga, dapat giliran ngaben setiap lima tahun sekali, yakni pada sasih ngaben (musim ngaben). “Tahun depan jadwal dari warga banjar yang lain,” ucap Agus Wahyudi, beberapa waktu lalu.
Nah, pada Jumat (12/8), giliran Pasametonan Ida Dukuh Segening yang menyelenggarakan upacara ngaben.
Pada tahun 2015 lalu, prosesi ngaben berlangsung pada Sanicara Paing Merakih, Sabtu (5 September 2015). Saat itu yang mendapat giliran menyelenggarakan upacara ngaben adalah krama Pasametonan Tutuan Banjar Majuh Kauh di Banjar Kangin, Desa Pakraman Batumulapan. Sebanyak 4 sawa (jasad orang meninggal) yang diaben, berikut Upacara Ngelangkir dan Ngelungah Warak Krurunan (bayi yang meninggal saat lahir) sebanyak delapan.
Ketua Panitia I Kadek Darmanta mengatakan upacara ngaben yang digelar warga Pasametonan Tutuan, dilaksanakan secara bergotongroyong. “Dengan begitu rasa menyama braya berjalan dengan serasi,” ujar Kadek Darmanta, yang akrab disapa Dek Kadoel.
SELANJUTNYA . . .
1
2
Komentar