Bantu Orang Melahirkan, Dibayar dengan Minyak Goreng
Gara-gara peristiwa menegangkan bayi ari-ari si bayi tak bisa keluar hingga ibunya mengalami pendarahan, bidan Luh Putu Yuniasih sempat trauma berat, lalu istirahat panjang dan selama 6 bulan tak berani tangani persalinan
Luh Putu Yuniasih, Juara I Bidan Praktek Mandiri Pelayanan KB Tingkat Nasional
MANGUPURA, NusaBali
Ni Luh Putu Yuniasih Amd Keb SSt, 48, merupakan salah satu dari enam duta asal Badung yang diundang menghadiri peringatan ‘Detik-detik HUT ke-71 Proklamasi Kemerdekaan RI’ di Istana Merdeka Jakarta, 17 Agustus 2016 lusa. Bidan yang kesehariannya bertugas di Puskesmas Kuta Utara ini diundang dalam kapasitasnya sebagai Juara I ‘Bidan Praktek Mandiri dalam Pelayanan KB Tingkat Nasional Regional Jawa-Bali’. Sebagai bidan, Luh Putu Yuniasih punya pengalaman unik, yakni menolong orang melahirkan dengan dibayar pakai minyak goreng dan ikan.
Selain Luh Putu Yuniasih, lima tokoh berprestasi asal Badung lainnya yang diundang menghadiri upacara kenegaraan di Istana Merdeka Jakarta, Rabu (17/8) nanti, masing-masing I Nyoman Gede Wiana SSos MSi (perwakilan dari Hotel Bali Mandira sebagai juara III Regional Jawa Bali KB Perusahaan), pasangan Drs I Gede Eka Sudarwita SSos dan Ni Wayan Kencanawati Amd Keb (Juara Favorit Nasional KB Lestari katagori 10 Tahun Pasangan), serta pasangan I Wayan Sudika Arsana SPd dan Ni Luh Putu Rusdianingsih Amd Keb (sebagai Juara 1 Keluarga Harmonis Sejahtera Tingkat Provinsi Bali).
Sebelum berangkat ke Jakarta, Luh Putu Yuniasih sempat berbincang dengan NusaBali di kediamannya kawasan Jalan Raya Kesambi, Banjar Kesambi, Kelurahan Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, Minggu (14/8). Bidan kelahiran Karangasem, 25 Juni 1968, ini pun berkenan menceritakan masa kecilnya hingga menjadi seorang petugas medis yang melayani masyarakat.
Putu Yuniasih mengisahkan, dirinya lahir dan dibesarkan di tengah-tengah lingkungan keluarga yang sederhana di Banjar Tengah, Desa Ulakan, Kecamatan Manggis, Karangasem. Dia merupakan anak dari pasutri I Wayan Ramia dan Ni Ketut Merti. Menurut Yuniasih, sang ayah yang andil besar dalam merengkuh keseuksesan, sementara ibundanya adalah pemberi inspirasi kelembutan.
“Kedua orangtua saya itu amat berperan dalam hidup saya. Bapak saya (Wayan Ramia) kebetulan seorang polisi. Dia yang mengajarkan banyak hal kepada saya,” kenang Yuniasih. “Kata Bapak, jadi perawat juga bisa menjadi tukang suntik yang membantu banyak orang. Makanya saya kemudian sekolah di Singaraja (Buleleng) tahun 1984,” lanjut bidan dengan pendidikan terakhir Program D4 Kebidanan Klinik Poltekes Denpasar tahun 2012 ini.
Menurut Yuniasih, awalnya dia sekolah perawat di Singaraja. Kemudian, dia melanjutkan kuliah D1 Kebidanan di Singaraja. Lulus dari D1 Kebidanan tahun 1991, Yuniasih atas bantuan orangtua kemudian membuka praktik kecil-kecilan. Sambutan masyarakat kala itu diakui luar biasa, maklum tempat tinggalnya juga lumayan jauh dari perkota, yakni di Desa Ulakan, Kecamatan Manggis.
“Waktu itu saya belum menikah. Untuk membantu ekonomi Bapak waktu itu, saya dibuatkan tempat praktek yang sangat sederhana. Banyak pasien di rumah saya. Kadang-kadang saya yang harus ke rumah orang yang mau melahirkan,” cerita Yuniasih.
Namanya juga di kampung, tentu saja banyak warga yang tidak mampu secara ekonomi. Maka, suaru ketika, Yuniasih pernah menangani persalinan ibu melahirkan, yang bayarannya bukan dalam bentuk uang. “Waktu itu, saya saya dibayar pakai minyak goreng dan ikan. Tapi, saya bahagia sekali,” beber Yuniasih soal pengalaman tak terlupakannya di tahun 1991 itu.
Nah, pengalaman dibayar dengan minyak goreng itulah yang kemudian kian mendorong semangat Yuniasih untuk terus membantu masyarakat. Setelah menikah dengan I Gede Wijaya---birokrat yang kini menjabat Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Badung---tahun 1992, Yuniasih kemudian diboyong ke Banjar Kesambi, Kelurahan Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung.
Yuniasih pun kemudian melanjutkan lagi ke Program D3 Kebidanan Poltekes Denpasar hingga tamat pada 2003. Yuniasih bahkan langsung melanjutkan pendidikan lagi di Program D4 Kebidanan Klinik Poltekes Denpasar, hingga akhirnya tamat tahun 2012.
Sebelum tamat di Poltekes Denpasar, Yuniasih bukan praktek kebidanan di tempat tinggalnya di Kelurahan Kerobokan, Kecamatan kuta Utara sejak 1996. “Saya awalnya buka praktek kecil-kecilan. Saya berusaha mencari masyarakat di sekitar sini (Kerobokan), saya kasitahu mereka bahwa saya melayani persalinan. Door to door istilahnya,” papar Yuniasih.
Pekan Imunisasi Nasional (PIN) biasanya dilaksanakan pagi. Karena warga tak bisa datang, Yuniasih kemudian keliling ke rumah-rumah memberikan pelayanan gratis. Dia sangat bersyukur karena sebagai orang baru, dapat tanggapan bagus dari masyarakat di Kerobokan. Lambat laun, banyak masyarakat yang datang ke tempat prakteknya.
Seperti pengalaman di kampung asalnya di Desa Ulakan, setelah buka praktek di Kerobokan pun Yuniasih banyak menerima pasien yang tidak mampu membayar pengobatan. “Banyak sekali tidak bayar, sampai ada yang mau menaruh KTP segala. Tapi, saya bilang tidak usah, silakan saja berobat. Saya akhirnya bekerjasama dengan program JKBM untuk membantu masyarakat yang tidak mampu. Sekarang, sekarang saya bekerjasama dengan JKN,” lanjut Yuniasih yang kini kelola Klinik Permana, miliknya.
Banyak pengalaman unik sekaligus menegangkan yang dilalui Yuniasih selaku bidan. Paling menegangkan adalah kisah sekitar 6 tahun silam, ketika Yuniasih menolong orang melahirkan, tapi ari-arinya tidak bisa keluar hingga ibu si bayi mengalami pendarahan. Dia pun merujuk pasiennya ke rumah sakit.
“Suami saya sendiri yang kala itu jadi sopir antar pasien ini ke rumah sakit,” tutur Yuniasih. Pasca kejadian menegangkan tersebut, Yuniasih sempat trauma berat hingga tidxak berani menolong orang melahirkan. “Saya bahkan selama 3 bulan istirahat untuk memulihkan psikis. Saya pun sempat melakukan meditasi, mendekatkan diri kepada Tuhan untuk diberikan kekuatan kembali, karena banyak yang ingin melahirkan di klinik saya,” katanya.
“Karena saya ternyata belum kuat, makanya saya cari teman agar mau membantu di klinik. Barulah berselang 6 bulan pasca peristiwa menegangkan itu, saya berani lagi menolong orang melahirkan. Suami saya juga selalu siaga jika ada orang melahirkan,” lanjut bidan berusia 46 tahun ini. * asa
Komentar