Perang Api Desa Adat Duda, Hanya Boleh Serang Punggung
Krama Desa Adat Duda, Kecamatan Selat, Karangasem untuk yang kelima kalinya menggelar ritual Perang Api di atas jembatan Tukad Sangsang, Redite Wage Kuningan bertepatan Tilem Kawulu, Minggu (23/2).
AMLAPURA, NusaBali
Krama yang terbagi dua kubu masing-masing bersenjatakan prakpak (daun kelapa kering) menyala. Kedua kubu dari dangin (timur) dan dauh (barat) Tukad Sangsang macadeng atau berhadap-hadapan untuk saling serang. Semangat perang makin berkobar-kobar diiringi tabuh baleganjur. Peserta Perang Api hanya boleh menyerang punggung.
Bendesa Adat Duda I Komang Sujana mengatakan, ritual Perang Api digelar setelah warga menggelar upacara ngulah kala atau menghalau bhuta kala di rumah masing-masing. Upacara ngulah kala menggunakan prakpak dan simbuh daun sirih dengan cara mengelilingi rumah. Tradisi ini dikenal pula dengan nama trektek prus. Prakpak yang masih menyala ditempatkan di depan rumah. Setelah diyakini seluruh bhuta kala keluar dari pekarangan rumah, selanjutnya disomia (dinetralisir) di wewidangan Desa Adat Duda melalui ritual Perang Api.
Setelah itu, perwakilan krama dari 27 banjar adat menuju jembatan Tukad Sangsang yang dijadikan medan perang. Perwakilan krama dari 27 banjar adat itu dibagi dua, kauh dan kangin. Setelah kedua pihak siap dengan senjata prakpak menyala dan disemangati tabuh baleganjur, maka langsung berhadapan-hadapan dalam jarak satu meter. Saling pukul menggunakan prakpak menyala dimulai setelah ada aba-aba dari Bendesa Adat Duda. Perang berhenti jika api pada prakpak mati. Ritual Perang Api kemarin dihadiri Perbekel Desa Duda Timur I Gede Pawana dan Perbekel Desa Duda I Gusti Agung Ngurah Putra. Kedua desa itu ada di wewidangan Desa Adat Duda.
Komang Sujana mengungkapkan, Perang Api sempat terhenti sejak Gunung Agung meletus tahun 1963. Mulai dibangkitkan kembali pada tahun 2016. Selanjutnya berturut-turut digelar hingga tahun 2020. Menurut Komang Sujana, Perang Api menjadi tradisi budaya, secara niskala sebagai sarana nyomia bhuta kala. “Tujuannya adalah untuk memerangi beragam musuh dalam diri agar tidak gampang marah, mudah emosi, iri hati. Itu semua karena pengaruh bhuta kala. Setelah bhuta kala disomia, maka di bhuana agung dan bhuana alit jadi damai,” jelas Komang Sujana.
Komang Sujana mengatakan, musuh dalam diri cukup banyak. Ada Tri Mala (tiga kotoran jiwa), Catur Ma (empat kemabukan), Panca Wisaya (lima jenis racun), Panca Ma, Sadripu (enam musuh dalam diri), Sad Atatayi (enam kekejaman), Sapta Timira (tujuh kegelapan), Asta Duta, dan sebagainya. Sebelum Perang Api, Perbekel Desa Duda Timur I Gede Pawana mengingatkan melalui pengeras suara agar seluruh krama yang terlibat perang hanya diperbolehkan menyerang punggung. “Perang Api ini juga bertujuan untuk mengendalikan emosi dalam diri,” ujar Gede Pawana yang juga Ketua Forum Perbekel Provinsi Bali. *k16
Bendesa Adat Duda I Komang Sujana mengatakan, ritual Perang Api digelar setelah warga menggelar upacara ngulah kala atau menghalau bhuta kala di rumah masing-masing. Upacara ngulah kala menggunakan prakpak dan simbuh daun sirih dengan cara mengelilingi rumah. Tradisi ini dikenal pula dengan nama trektek prus. Prakpak yang masih menyala ditempatkan di depan rumah. Setelah diyakini seluruh bhuta kala keluar dari pekarangan rumah, selanjutnya disomia (dinetralisir) di wewidangan Desa Adat Duda melalui ritual Perang Api.
Setelah itu, perwakilan krama dari 27 banjar adat menuju jembatan Tukad Sangsang yang dijadikan medan perang. Perwakilan krama dari 27 banjar adat itu dibagi dua, kauh dan kangin. Setelah kedua pihak siap dengan senjata prakpak menyala dan disemangati tabuh baleganjur, maka langsung berhadapan-hadapan dalam jarak satu meter. Saling pukul menggunakan prakpak menyala dimulai setelah ada aba-aba dari Bendesa Adat Duda. Perang berhenti jika api pada prakpak mati. Ritual Perang Api kemarin dihadiri Perbekel Desa Duda Timur I Gede Pawana dan Perbekel Desa Duda I Gusti Agung Ngurah Putra. Kedua desa itu ada di wewidangan Desa Adat Duda.
Komang Sujana mengungkapkan, Perang Api sempat terhenti sejak Gunung Agung meletus tahun 1963. Mulai dibangkitkan kembali pada tahun 2016. Selanjutnya berturut-turut digelar hingga tahun 2020. Menurut Komang Sujana, Perang Api menjadi tradisi budaya, secara niskala sebagai sarana nyomia bhuta kala. “Tujuannya adalah untuk memerangi beragam musuh dalam diri agar tidak gampang marah, mudah emosi, iri hati. Itu semua karena pengaruh bhuta kala. Setelah bhuta kala disomia, maka di bhuana agung dan bhuana alit jadi damai,” jelas Komang Sujana.
Komang Sujana mengatakan, musuh dalam diri cukup banyak. Ada Tri Mala (tiga kotoran jiwa), Catur Ma (empat kemabukan), Panca Wisaya (lima jenis racun), Panca Ma, Sadripu (enam musuh dalam diri), Sad Atatayi (enam kekejaman), Sapta Timira (tujuh kegelapan), Asta Duta, dan sebagainya. Sebelum Perang Api, Perbekel Desa Duda Timur I Gede Pawana mengingatkan melalui pengeras suara agar seluruh krama yang terlibat perang hanya diperbolehkan menyerang punggung. “Perang Api ini juga bertujuan untuk mengendalikan emosi dalam diri,” ujar Gede Pawana yang juga Ketua Forum Perbekel Provinsi Bali. *k16
1
Komentar