Saling Pukul dan Lempar Bersenjatakan Alas Bekas Pembuatan Jaja Uli
Keunikan Tradisi Ritual Siat Sarang di Desa Adat Selat, Kecamatan Selat, Karangasem
Selain untuk menyomiakan bhuta kala, tradisi ritual siat sarang yang digelar setahun sekali pada Tilem Kaulu ini juga bermakna memerangi segala jenis musuh dari dalam diri sendiri
AMLAPURA, NusaBali
Krama Desa Adat Selat, Desa/Kecamatan Selat, Karangasem kembali menggelar tradisi ritual siat sarang saat Tilem Kaulu pada Radite Wage Kuningan, Minggu (23/2) sore. Ritual berperang berupa saling pukul dan lempar bersenjatakan alas bekas pembuatan jaja uli (sarang) ini bermakna untuk menyomiakan kekuatan bhuta kala dan sekaligus meme-rangi musuh dalam diri sendiri.
Ritual siat sarang, Minggu kemarin, dilaksanakan di depan Pasar Desa Selat, persis perbatasan Banjar Selat Kelod dan Banjar Selat Kaja, Desa Selat. Ritual siat sarang ini digelar setahun sekali setiap Tilem Kaulu (bulan mati kedelapan sistem penanggalan Bali), sebagai rangkaian upacara Usaba Dimel (Usaba Dodol) di Pura Dalem, Desa Adat Selat.
Seperti biasa, ritual siat sarang dilaksanakan sehari setelah krama setempat membuat jaja uli untuk keperluan upacara Usaba Dimel atau tiga hari jelang puncak karya Usaba Dimel, yang jatuh pada Buda Paing Kuningan, Rabu (26/2) depan. Nah, alas bekas pembuatan jaja uli berupa rajutan ron (daun enau) itulah yang digunakan sebagai senjata dalam siat sarang.
Perang menggunakan senjata sarang berlangsung setelah tuntasnya prosesi menyomiakan bhuta kala di sajebag Desa Adat Selat, Minggu sore. Secara fisik, siat sarang ditandai saling pukul dan saling lempar menggunakan sarang yang melibatkan kalangan teruna (pemuda). Peserta dibagi dalam dua kelompok besar, yakni Kelompok Kaja (utara) vs Kelompok Kelod (selatan).
Kelompok Kaja melibatkan kalangan teruna dari tiga banjar di Desa Adat Selat, yakni Banjar Paruman Sila Darsana, Banjar Dharma Saba, dan Banjar Eka Dharma. Sedangkan Kelompok Kelod melibatkan kalangan teruna dari empat banjar, masing-masing Banjar Bunteh, Banjar Telengis, Banjar Parigraha, dan Banjar Sukawana. Mereka semua mengenakan kain (kamben), tanpa busana atasan. Kedua pihak saling pukul, saling lempar, hingga sarang benar-benar hancur. Perang berakhir setelah keduabelah pihak kelelahan.
Sebelum puncak ritual siat sarang, prosesi diawali dari rumah masing-masing, di mana seluruh krama Desa Adat Selat sejak pagi ngunggahang (mempersembahkan) satu kemasan tenge (berisikan kemasan daun gegirang, bambu, gunggung, dan aba) yang dihias bergambar bhuta kala (makhluk hakus) di pekarangan rumah. Setelah sore, tenge yang terpasang dikumpulkan, lalu dimasukkan ke dalam sarang.
Selanjutnya, sarang tersebut ditempatkan di lebuh (dekat pintu halaman rumah), yang bermakna untuk memikat kekuatan bhuta kala masuk ke dalam sarang. Kemudian, sarang yang diyakini telah memiliki kekuatan bhuta kala itu dibawa krama ke Pura Bale Agung, Desa Adat Selat untuk mendapatkan labaan (pemberian kurban kepada makhluk yang lebih rendah tingkatannya), berupa banten pacaruan dan sekaligus menyomiakan sifat-sifat bhuta kala.
Selanjutnya, prajuru desa adat menggelar upacara pecaruan di depan Palinggih Sila Majemuh di Pura Bale Agung, dengan dikoordinasikan Bendesa Adat Selat, Jro Mangku Gede Mustika. Upacara pecaruan dengan kurban godel (anak sapi) dan anjing bangbungkem (anjing bermulut hitam, berbulu merah) ini diantarkan Jro Mangku Gede Pasek Linggih.
Prosesi berlanjut dengan ritual siat sarang, di mana kedua kelompok teruna masing-masing membawa senjata sarang. Sebelum perang dimulai, Bendesa Adat Selat, Jro Mangku Gede Mustika, lebih dulu menemui kedua kelompok teruna yang telah siap melakukan siat sarang. Jro Mangku Mustika kemudian memberikan arahan agar mereka berperang secara tertib, dengan sasaran bagian punggung, hindari menyerang bagian kepala, yang tujuannya untuk menyomiakan bhuta kala.
Habis memberikan arahan, Jro Mangku Mustika kemudian mengambil dua unit sarang, lalu menyerahkannya secara simbolis sarang ke masing-masing kelompok teruna untuk digunakan sebagai senjata, pertanda perang telah dibuka. Maka, dimulailah perang antara teruna Kelompok Kaja vs Kelompok Kelod, dalam jarak sekitar 3 meter.
Pantauan NusaBali, keduabelah pihak tampak saling pukul bagian punggung dan saling lempar, hingga senjata sarangnya benar-benar hancur. Siat sarang ini diawasi langsung para pecalang. Perang berakhir setelah kedua pihak kelelahan dan sarang telah ringsek tidak bisa dipakai lagi. Namun, tidak ada peserta siat sarang yang terluka usai berperang.
Bendesa Adat Selat, Jro Mangku Mustika, mengatakan ritual siat sarang ini merupakan tradisi warisan turun temurun, yang sudah digelar sejak berdirinya Desa Adat Selat, sekitar 2 abad silam. Siat sarang itu sebagai rangkaian Usaba Dimel, bertujuan untuk memerangi musuh-musuh dalam diri, termasuk Sad Ripu: kama, lobha, krodha, moha, mada, dan matsarya.
"Sebenarnya, musuh dalam diri yang mesti diperangi itu banyak macamnya, bukan hanya Sad Ripu,” jelas yang mesti diperangi bersama," jelas Jro Mangku Mustika kepada NusaBali dis ela ritual siat sarang, Minggu kemarin.
Selain Sad Ripu, musuh-musuh dalam diri itu adalah Tri Mala (tiga kotoran jiwa), Catur Mada (empat kemabukan), Panca Wisaya (lima jenis racun), Panca Ma, Sad Atatayi (enam pembunuh kejam), Sapat Timira (tujuh macam kegelapan), Asta Dusta (delapan pembunuh), Dasa Mala (10 kotoran bathin), dan Asuri Sampat (sifat keraksasaan). *k16
Ritual siat sarang, Minggu kemarin, dilaksanakan di depan Pasar Desa Selat, persis perbatasan Banjar Selat Kelod dan Banjar Selat Kaja, Desa Selat. Ritual siat sarang ini digelar setahun sekali setiap Tilem Kaulu (bulan mati kedelapan sistem penanggalan Bali), sebagai rangkaian upacara Usaba Dimel (Usaba Dodol) di Pura Dalem, Desa Adat Selat.
Seperti biasa, ritual siat sarang dilaksanakan sehari setelah krama setempat membuat jaja uli untuk keperluan upacara Usaba Dimel atau tiga hari jelang puncak karya Usaba Dimel, yang jatuh pada Buda Paing Kuningan, Rabu (26/2) depan. Nah, alas bekas pembuatan jaja uli berupa rajutan ron (daun enau) itulah yang digunakan sebagai senjata dalam siat sarang.
Perang menggunakan senjata sarang berlangsung setelah tuntasnya prosesi menyomiakan bhuta kala di sajebag Desa Adat Selat, Minggu sore. Secara fisik, siat sarang ditandai saling pukul dan saling lempar menggunakan sarang yang melibatkan kalangan teruna (pemuda). Peserta dibagi dalam dua kelompok besar, yakni Kelompok Kaja (utara) vs Kelompok Kelod (selatan).
Kelompok Kaja melibatkan kalangan teruna dari tiga banjar di Desa Adat Selat, yakni Banjar Paruman Sila Darsana, Banjar Dharma Saba, dan Banjar Eka Dharma. Sedangkan Kelompok Kelod melibatkan kalangan teruna dari empat banjar, masing-masing Banjar Bunteh, Banjar Telengis, Banjar Parigraha, dan Banjar Sukawana. Mereka semua mengenakan kain (kamben), tanpa busana atasan. Kedua pihak saling pukul, saling lempar, hingga sarang benar-benar hancur. Perang berakhir setelah keduabelah pihak kelelahan.
Sebelum puncak ritual siat sarang, prosesi diawali dari rumah masing-masing, di mana seluruh krama Desa Adat Selat sejak pagi ngunggahang (mempersembahkan) satu kemasan tenge (berisikan kemasan daun gegirang, bambu, gunggung, dan aba) yang dihias bergambar bhuta kala (makhluk hakus) di pekarangan rumah. Setelah sore, tenge yang terpasang dikumpulkan, lalu dimasukkan ke dalam sarang.
Selanjutnya, sarang tersebut ditempatkan di lebuh (dekat pintu halaman rumah), yang bermakna untuk memikat kekuatan bhuta kala masuk ke dalam sarang. Kemudian, sarang yang diyakini telah memiliki kekuatan bhuta kala itu dibawa krama ke Pura Bale Agung, Desa Adat Selat untuk mendapatkan labaan (pemberian kurban kepada makhluk yang lebih rendah tingkatannya), berupa banten pacaruan dan sekaligus menyomiakan sifat-sifat bhuta kala.
Selanjutnya, prajuru desa adat menggelar upacara pecaruan di depan Palinggih Sila Majemuh di Pura Bale Agung, dengan dikoordinasikan Bendesa Adat Selat, Jro Mangku Gede Mustika. Upacara pecaruan dengan kurban godel (anak sapi) dan anjing bangbungkem (anjing bermulut hitam, berbulu merah) ini diantarkan Jro Mangku Gede Pasek Linggih.
Prosesi berlanjut dengan ritual siat sarang, di mana kedua kelompok teruna masing-masing membawa senjata sarang. Sebelum perang dimulai, Bendesa Adat Selat, Jro Mangku Gede Mustika, lebih dulu menemui kedua kelompok teruna yang telah siap melakukan siat sarang. Jro Mangku Mustika kemudian memberikan arahan agar mereka berperang secara tertib, dengan sasaran bagian punggung, hindari menyerang bagian kepala, yang tujuannya untuk menyomiakan bhuta kala.
Habis memberikan arahan, Jro Mangku Mustika kemudian mengambil dua unit sarang, lalu menyerahkannya secara simbolis sarang ke masing-masing kelompok teruna untuk digunakan sebagai senjata, pertanda perang telah dibuka. Maka, dimulailah perang antara teruna Kelompok Kaja vs Kelompok Kelod, dalam jarak sekitar 3 meter.
Pantauan NusaBali, keduabelah pihak tampak saling pukul bagian punggung dan saling lempar, hingga senjata sarangnya benar-benar hancur. Siat sarang ini diawasi langsung para pecalang. Perang berakhir setelah kedua pihak kelelahan dan sarang telah ringsek tidak bisa dipakai lagi. Namun, tidak ada peserta siat sarang yang terluka usai berperang.
Bendesa Adat Selat, Jro Mangku Mustika, mengatakan ritual siat sarang ini merupakan tradisi warisan turun temurun, yang sudah digelar sejak berdirinya Desa Adat Selat, sekitar 2 abad silam. Siat sarang itu sebagai rangkaian Usaba Dimel, bertujuan untuk memerangi musuh-musuh dalam diri, termasuk Sad Ripu: kama, lobha, krodha, moha, mada, dan matsarya.
"Sebenarnya, musuh dalam diri yang mesti diperangi itu banyak macamnya, bukan hanya Sad Ripu,” jelas yang mesti diperangi bersama," jelas Jro Mangku Mustika kepada NusaBali dis ela ritual siat sarang, Minggu kemarin.
Selain Sad Ripu, musuh-musuh dalam diri itu adalah Tri Mala (tiga kotoran jiwa), Catur Mada (empat kemabukan), Panca Wisaya (lima jenis racun), Panca Ma, Sad Atatayi (enam pembunuh kejam), Sapat Timira (tujuh macam kegelapan), Asta Dusta (delapan pembunuh), Dasa Mala (10 kotoran bathin), dan Asuri Sampat (sifat keraksasaan). *k16
1
Komentar