Ketika Kerusakan Alam Batur Diungkapkan Lewat Puisi
Puisi berbahasa Bali dibedah oleh Ni Made Ari Dwijayanthi, dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja, dan Gede Ganesha seorang CEO Bank Sampah Galang Panji.
SINGARAJA, NusaBali
Buku kumpulan puisi Bali karya Erkaja Pamungsu, dibedah di Rumah Belajar Mahima, Sabtu (22/2/2020) malam. Ratusan puisi sastrawan muda yang memiliki nama asli IK Eriadi Ariana merupakan catatan perjalanan hidup. Sebagian di antara puisi yang diterbitkan oleh Mahima Institute Indonesia itu juga menyuarakan kegelisahan hati pemuda asal Desa Batur, Kintamani, Bangli, atas kerusakan alam di daerah kelahirannya.
Buku setebal 106 halaman dengan 104 buah puisi berbahasa Bali dibedah oleh Ni Made Ari Dwijayanthi, dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja dan Gede Ganesha seorang CEO Bank Sampah Galang Panji. Erkaja yang kini berstatus Jro Penyarikan Duuran di Desa Adat Batur menceritakan ratusan puisinya itu terkumpul sepanjang 2015-2019.
Erkaja sebenarnya mulai suka menulis puisi sejak duduk di bangku SMA, hanya saja sempat putus asa karena beberapa hasil karya puisinya yang dikirim ke media cetak tak pernah lolos tayang. Begitu juga saat mengikuti lomba menulis puisi tak pernah menang. Namun dia akhirnya mantap membukukan puisi-puisi yang sering kali tercipta sepanjang perjalanannya sebagai dokumentasi pribadi dan menyuarakan isi hatinya terkait kondisi lingkungan daerah asalnya yang saat ini memerlukan penanganan serius. “Puisi-puisi ini mucul dari kegelisahan. Puisi ini juga banyak lahir disetiap perjalanan saya saat mendaki bukit atau sedang dijalan. Bahkan dalam satu perjalanan kadang tercipta satu puisi,” jelas tamatan Universitas Udayana (Unud) jurusan Sastra Jawa Kuno itu.
Yang menjadi fokus kegelisahannya soal kondisi alam Batur lebih khusus soal Danau Batur dan bukit di sekitarnya. Masalah hutan, sampah plastik dan juga pencemaran air danau yang sampai saat ini menurutnya belum ada solusi. Bahkan dalam kegelisahaannya itu Erkaja menulis puisi berjudul ‘Ulun Danu’ sebanyak 7 jilid dan puisi berjudul ‘Batur’ sebanyak 13 buah dengan isi berbeda. Sebagian besar memang menggambarkan keresahan.
Dalam karya sastranya yang berbentuk teks, selain untuk dokumentasi pribadi Erkaja juga berharap dalam menjadi pola sebuah konteks untuk mencari jalan keluar masalah kerusakan alam di lingkungan tempat tinggalnya saat ini. Sementara itu dalam pembedahan buku ketiga kalinya di Singaraja ini menurut Gede Ganesha yang aktif menyuarakan Buleleng bebas sampah plastik melalui bank sampahnya, gambaran kegelisahan Erkaja melalui puisinya memang sangat terasa. Kerusakan alam dan lingkungan di Batur juga sempat didiskusikan bersama oleh Provinsi dan instansi terkait termasuk pegiat lingkungan memang memerlukan proses perbaikan cukup berat
Sedangkan Ni Made Ari Dwijayanthi juga mengatakan bahwa puisi Erkaja yang menyampaikan kegelisahan tentang alam dan lingkungan sama dengan apa yang dilakukan Mpu Dharmaja seorang pengarang kakawin. Keduanya memahat kegelisahan melalui karya sastra dari letupan-letupan emosi terhadap lingkungan sekitarnya. “Setiap puisi yang saya baca di buku ini seperti menemukan diri saya sendiri di dalamnya, menyaksikan langsung kejadian dan situasinya seperti apa,” jelas dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja asal Tabanan ini.*k23
Buku setebal 106 halaman dengan 104 buah puisi berbahasa Bali dibedah oleh Ni Made Ari Dwijayanthi, dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja dan Gede Ganesha seorang CEO Bank Sampah Galang Panji. Erkaja yang kini berstatus Jro Penyarikan Duuran di Desa Adat Batur menceritakan ratusan puisinya itu terkumpul sepanjang 2015-2019.
Erkaja sebenarnya mulai suka menulis puisi sejak duduk di bangku SMA, hanya saja sempat putus asa karena beberapa hasil karya puisinya yang dikirim ke media cetak tak pernah lolos tayang. Begitu juga saat mengikuti lomba menulis puisi tak pernah menang. Namun dia akhirnya mantap membukukan puisi-puisi yang sering kali tercipta sepanjang perjalanannya sebagai dokumentasi pribadi dan menyuarakan isi hatinya terkait kondisi lingkungan daerah asalnya yang saat ini memerlukan penanganan serius. “Puisi-puisi ini mucul dari kegelisahan. Puisi ini juga banyak lahir disetiap perjalanan saya saat mendaki bukit atau sedang dijalan. Bahkan dalam satu perjalanan kadang tercipta satu puisi,” jelas tamatan Universitas Udayana (Unud) jurusan Sastra Jawa Kuno itu.
Yang menjadi fokus kegelisahannya soal kondisi alam Batur lebih khusus soal Danau Batur dan bukit di sekitarnya. Masalah hutan, sampah plastik dan juga pencemaran air danau yang sampai saat ini menurutnya belum ada solusi. Bahkan dalam kegelisahaannya itu Erkaja menulis puisi berjudul ‘Ulun Danu’ sebanyak 7 jilid dan puisi berjudul ‘Batur’ sebanyak 13 buah dengan isi berbeda. Sebagian besar memang menggambarkan keresahan.
Dalam karya sastranya yang berbentuk teks, selain untuk dokumentasi pribadi Erkaja juga berharap dalam menjadi pola sebuah konteks untuk mencari jalan keluar masalah kerusakan alam di lingkungan tempat tinggalnya saat ini. Sementara itu dalam pembedahan buku ketiga kalinya di Singaraja ini menurut Gede Ganesha yang aktif menyuarakan Buleleng bebas sampah plastik melalui bank sampahnya, gambaran kegelisahan Erkaja melalui puisinya memang sangat terasa. Kerusakan alam dan lingkungan di Batur juga sempat didiskusikan bersama oleh Provinsi dan instansi terkait termasuk pegiat lingkungan memang memerlukan proses perbaikan cukup berat
Sedangkan Ni Made Ari Dwijayanthi juga mengatakan bahwa puisi Erkaja yang menyampaikan kegelisahan tentang alam dan lingkungan sama dengan apa yang dilakukan Mpu Dharmaja seorang pengarang kakawin. Keduanya memahat kegelisahan melalui karya sastra dari letupan-letupan emosi terhadap lingkungan sekitarnya. “Setiap puisi yang saya baca di buku ini seperti menemukan diri saya sendiri di dalamnya, menyaksikan langsung kejadian dan situasinya seperti apa,” jelas dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja asal Tabanan ini.*k23
1
Komentar