Rp 1,6 Triliun Melayang, Badung Surati Kemenkeu
Tabanan Kehilangan Rp 38 M, Jembrana Cemas Tak Dapat Jatah PHR dari Badung
MANGUPURA, NusaBali
DPRD Badung layangkan surat kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di Jakarta, terkait kebijakan pusat stop selama 6 bulan pungutan pajak hotel dan restoran (PHR) sebagai upaya pemulihan pariwisata akibat wabah virus Corona.
Intinya, Pemkab Badung minta diberi ruang oleh Kemenkeu untuk konsultasi terkait kebijakan stop pungut PHR, yang menyebabkan daerah terkaya di Bali ini kehilangan pendapatan Rp 1,6 triliun. Surat DPRD Badung bernomor 170/848/DPRD yang diutujukan ke Kemenkeu tersebut sudah dilayangkan ke Jakarta, Senin (2/3). Surat tersebut ditandatangani Ketua DPRD Badung, I Putu Parwata. “Surat ke Kemenkeu itu sudah kami layangkan ke Jakarta hari ini (kemarin). Kami ingin konsultasi terkait masalag penghentian sementara pungut PHR itu,” ujar Putu Parwata saat dikonfirmasi NusaBali, Senin kemarin.
Menurut Parwata, dalam surat yang dilayangkan tersebut, rencananya Pimpinan DPRD Badung akan berangkat konsultasi ke Kemenkeu bersama jajaran eksekutif, dalam hal ini Bupati Badung Nyoman Giri Prasta. Konsultasi ini penting, karena pemberhentian sementara pungutan PHR akan sangat berdampak terharap program pembangunan di Badung.
“Pendapatan dari PHR kan digunakan untuk pembangunan dan belanja pegawai. Jadi, perlu dipertimbangkan penghentian pungutan PHR di Badung. Bila pendapatan turun, tentu seluruh pembangunan tidak akan jalan, pegawai bisa tak digaji,” papar politisi asal Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara yang juga menjabat Sekretaris DPC PDIP Badung ini.
Paparan senada juga disampaikan Wakil Ketua DPRD Badung dari Demokrat, I Made Sunarta. “Kita mohon waktu kepada Ibu Menteri Keuangan (Sri Mulyani) untuk berkoordinasi dan konsultasi mengenai rencana pemberhentian pemungutan PHR, serta insentif bagi Bali,” kata Sunarta.
Jika pemerintah pusat tetap menghentikan pungutan PHR selama 6 bulan dan memberikan insentif sebesar Rp 3,3 triliun untuk 10 destinasi di Indonesia termasuk Bali, tentu akan sangat merugikan Badung. Pasalnya, target pungutan PHR selama 6 bulan di Badung minimal Rp 1,6 triliun. Imbal balik yang akan diperoleh Badung atas kebijakan stop pungut PHR pastinya jauh lebih kecil dari Rp 1,6 triliun.
“Sekarang kalau dilarang pungut PHR, harus ada imbal balik yang seimbang,” tegas Sunarta. Imbal balik dimaksud adalah besaran subsidi sesuai dengan target pendapatan PHR selama 6 bulan, yakni Rp 1,6 triliun. “Kalau subsidi yang diberikan pusat lebih kecil, ini akan sangat merugikan kita,” tandas Ketua DPC Demokrat Badung ini.
Sementara itu, Pemkab Tabanan juga kelabakan dengan kebijakan pemerintah pusat stop pungut PHR selama 6 bulan. Pasalnya, dengan kebijakan tersebut, Tabanan akan kehilangan pendapatan dari PHR sekitar Rp 38 miliar. Akibatnya lebih jauh, beberapa kegiatan pembangunan akan tertunda.
“Ya, berdasarkan hitung-hitungan, Tabanan akan kehilangan Rp 38 miliar dari PHR,” ujar Kepala Badan Penelitian dan Pembangunan (Bapelitbang) Kabupaten Tabanan, Ida Bagus Wiratmaja, secara terpisah di Tabanan, Senin kemarin.
Wiratmaja menyebutkan, pemerintah pusat memang berencana memberikan kompensasi berupa hibah sebesar Rp 3,3 triliun untuk 10 daerah destinasi pariwisata di seluruh Indonesia, termasuk Bali. Jika dihitung prosentasi, kata Wiratmaja, Badung dipastikan akan kebagian hibah paling banyak, disusul Gianyar dan Denpasar.
“Sedangkan Tabanan dan 5 kabupaten lainnya di Bali diperkirakan hanya mendapatkan hibah masing-maisng Rp 5 miliar. Kalau hanya diberikan Rp 5 miliar, padahal kita kehilangan Rp 38 miliar, ini sangat berdampak dan menjadi beban bagi Tabanan,” terang Wiratmaja.
Terkait persoalan tersebut, Pemkab Tabanan berencana menggelar rapat dengan Tim Optimalisasi PAD (Pendapatan Asli Daerah), Selasa (3/3) ini. Menurut Wiratmaja, rapat ini untuk menentukan langkah-langkah mendapatkan peluang pengganti pendapatan PHR yang hilang. “Ini harus kita lakukan. Kalau kita menunggu pusat, iya kalau keluarnya hibah setara. Jika kurang banyak, bagaimana?” tandas Wiratmaja
Wiratmaja menegaskan, jika Rp 38 miliar dari PHR tak ada penggantinya, maka nantinya akan ada sejumlah kegiatan yang ditunda. “Yang ditunda adalah kegiatan internal yang tidak berpengaruh terhadap masyarakat, seperti perbaikan kantor. Bahkan, kemungkinan juga ada opsi tunda pembayaran proyek, di mana proyek tahun 2020 dibayar pada 2021,” jelas Wiratmaja.
Kekhawatiran yang sama juga dirasakan Pemkab Jembrana terkait kebijakan pusat stop pungut PHR selama 6 bulan. Pemkab Jermbrana khawatir kucuran penyisihan PHR rutin dari Kabupaten Badung akan dibatalkan.
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabutanen Jembrana, I Dewa Gde Kusuma Antara, mengatakan sesuai MoU, untuk tahun 2020 ini Jembrana dialokasikan menerima dana PHR dari Badung sebesar Rp 50 miliar. “Sampai saat ini, PHR Badung memang belum turun. Jika kebijakan pusat stop pungutan PHR selama 6 bulan diberlakukan, kami khawatir bantuan PHR Badung itu dibatalkan,” keluh Kusuma Antara kepada NusaBali di Negara, Minggu (1/3) lalu.
Menurut Kusuma Antara, alokasi bantuan PHR Badung sebesar Rp 50 miliar itu tergolong cukup besar. Nilainya 10 kali lipat dibanding pendapatan PHR Jembrana yang hanya Rp 5 miliar setahun. “Total PAD Jembrana adalah Rp 141 miliar, sebanyak Rp 5 niliar di antaranya dari PHR,” katanya.
Kusuma Antara menyebutkan, alokasi dana PHR dari Badung sebesar Rp 50 miliar itu, rencana pemanfaatannya sudah masuk dalam APBD Jembrana 2020. Pemanfaatannya lebih banyak untuk pembangunan menyangkut pariwisata, serta pembangunan fisik seperti jalan, jembatan, dan berbagai fasilitas pendukungan pariwisata lainnya. “Kami berharap Badung tetap memberikan PHR sesuai MoU yang telah disepakati,” harap Kusuma Antara. *asa,des,ode
Komentar