Bali Puisi Musik Sajian Puisi Berbalut Musik
Terbatasnya audiens penikmat puisi diterabas dengan membalutkan music, sehingga menjangkau segmen lebih luas.
DENPASAR, NusaBali
Suasana di pelataran Antida SoundGarden, Denpasar, Jumat (6/3/2020) malam, terasa intim. Pencahayaan putih, biru, dan merah mendominasi panggung. Penonton yang memadati ‘rumah bagi pecinta musik’ di Jalan Wariubang, Kesiman, terlihat khidmat menyaksikan jalannya pertunjukan.
Di atas panggung, seorang laki-laki berambut panjang putih melantunkan syair Rendra: Georgia. Lumpur yang lekat di sepatu. Gubug-gubug yang kurang jendela. Duka dan dunia sama-sama telah tua. Sorga dan neraka. "Blues untuk Bonnie ditulis Rendra sebagai catatan sejarah kelam rasisme masa sebelumnya," ujarnya memberi pengantar. Pria itu adalah Tan Lioe Ie, penyair sekaligus vokalis Bali Puisi Musik. Meski usianya sudah 60-an, laki-laki yang akrab dipanggil Yoki ini masih energik.
Mengenakan kaos putih, celana jeans hitam dan sneakers, Yoki tampil 'garang' dengan aksi panggung selama hampir satu jam. Dengan komandonya sejumlah penonton serempak mengikuti irama musik yang mengalir dari panggung.
Bersama Bali Puisi Musik, penyair kelahiran 1 Juni 1958 ini memang sering melakukan kolaborasi puisi dengan musik. "Puisi audiensnya cukup terbatas karena ia metaforik, kata dalam puisi tidak mengatakan dirinya sendiri, sehingga butuh cara menafsirkan," ujarnya.
Dengan balutan musik ini mereka berharap puisi yang tadinya dinikmati kalangan terbatas dan tertentu dapat menjangkau segmen yang lebih luas. "Menjadi lintas segmen, tidak hanya bisa dinikmati pencinta sastra, kritikus sastra, atau sastrawan saja," sambung Yoki. "Bagi yang tidak bisa 'masuk' ke dalam puisinya minimal bisa menikmati musiknya. Pernah suatu ketika kami tampil ada bule mengatakan, i don't understand but i feel the energy. Nah, kurang lebih seperti itu," imbuhnya.
Puisi-puisi yang dibawakan Bali Puisi Musik cukup beragam. Membentang mulai dari renungan perjalanan hidup manusia, kerinduan pada kekasih, kritik sosial, kepedulian terhadap lingkungan, hingga persaudaraan kemanusiaan dalam perbedaan. Keragaman tersebut bisa dilihat pada puisi yang menjadi setlist penampilan malam itu. Ada puisi Malam di Pantai Candidasa, Siapakah Kau, Exorcism, Malam Cahaya Lampion, Alam Kanak-Kanak, dan Co Kong Tik. Semua puisi tersebut merupakan karya Yoki. Puisi-puisi diaransemen musiknya oleh Yande Subawa (gitaris) dan dibawakan bersama Made ‘Dek Ong’ Swandayana (Keyboardist), Putu Indrawan (Bassist) Nyoman ‘Kabe’ Gariyasa (Drummer).
Sebelumnya Yoki juga membawakan beberapa buah puisi dengan menggunakan teknik akustik. Selain itu Bali Puisi Musik juga menampilkan dua puisi dengan komposisi baru, yakni Blues untuk Bonnie karya Rendra dan Tuhan Butuh Malaikat Baru karya Yoki sendiri. "Puisi ini saya tuliskan mengingat manusia di bumi ini mulai kehilangan baru ruh kebajikannya. Ego berdasarkan premodialisme semakin mencuat, potensi konflik meninggi. Dan itu tidak elok, dibutuhkan lebih banyak lagi manusia yang lebih berhati malaikat," tutur seniman berambut panjang ini.
Selain Yoki dan Bali Puisi Musik, sastrawan lain yang berkesempatan mengisi panggung malam itu adalah Ayu Winastri, seorang penulis cerpen kenamaan Bali dan juga Mira MM Astra, penulis puisi yang juga anak angkat dari sastrawan Umbu Landu Paranggi.*cr75
1
Komentar