Maestro Joged Bumbung Buleleng Meninggal Akibat Diabetes
Sempat Titip Pesan kepada Anak-Cucu untuk Teruskan Kesenian Joged Bumbung Warisan Keluarga
Sanggar Karya Remaja binaan Ketut Jingga yang dirintis sejak tahun 1971 tak pernah sepi job. Dalam sebulan, mereka bisa 7-8 kali pentas Joged Bumbung. Selama itu pula, sang maestro selalu menolak jika ada order joged p0rno
SINGARAJA, NusaBali
Kabupaten Buleleng kehilangan salah satu seniman berpengaruh, menyuyul meninggalnya Ketut Jingga, 68, Selasa (10/3) petang. Seniman asal Desa Sari Mekar, Kecamatan Buleleng yang dikenal sebagai Maestro Joged Bumbung ini meninggal akibat penyakit diabetes dan TBC. Sebelum meninggal dakam usia 68 tahun, sang maestro sempat berpesan kepada anak-anak dan cucunya untuk meneruskan kesenian joged warisan keluarga.
Ketut Jingga menghembuskan napas terakhir di rumahnya kawasan Banjar Dajan Margi, Desa Sari Mekar, Kecamatan Buleleng, Selasa petang pukul 18.00 Wita. Sang Maestro Joged Bumbung menghembuskan napas terakhir dalam pelukan istri tercintanya, Luh Resmi.
Sebelum meninggal dunia, seniman tari dan tabuh yang dikenal dengan rambut gondrongnya ini selama 2 tahun terakhir kerap keluar masuk rumah sakit, akibat penyakit diabetes dan TBC yang dideritanya. Sejak itu pula, Ketut Jingga jarang muncul dalam pentas seni.
Menurut kesaksikian sang istri, Luh Resmi, almarhum Ketut Jingga ketahuan mulai tidak sehat saat menabrak cucunya hingga langsung pingsan, 2 tahun silam. Keluarga pun langsung melarikan Ketut Jingga ke rumah sakit. “Saat itu, bapak (Ketut Jingga) didiagnose menderita diabetes. Sejak itulah bapak sering keluar masuk rumah sakit,” ungkap Luh Resmi saat ditemui NusaBali di rumah duka kawasan Banjar Dajan Margi, Desa Sari Mekar, Rabu (11/3).
Luh Resmi menyebutkan, selama 2 tahun terakhir sejak pingsan usai menabrak cucunya itu, almarhum Ketut Jingga tercatat sudah 9 kali keluar masuk rumah sakit. Namun, di tengah kondisi fisiknya yang sakit-sakitan, Ketut Jingga tak mau berhenti beraktivitas kesenian, meskipun intensitasnya jauh berkurang.
Kemudian, kondisi kesehatan seniman kelahiran 31 Desember 1952 ini memburuk sejak 6 bulan lalu, setelah terjatuh saat mengambil air minum di dapur. Kala itu, almarhum jatuh sampai mengalami patah tulang panggul. Pasca jatuh dan tulang panggulnya patah, Ketut Jingga malam divonis menderita TBC oleh dokter. Sejak saat itu pula, sang maestro seni tidak bisa lagi beraktivitas di luar rumah.
“Kemarin bapak meninggalnya di rumah. Bapak meninggal hanya berselang 3 hari setelah pulang dari rumah sakit. Sepulang dari rumah sakit, sudah tidak bisa masuk makanan apa pun, sampai akhirnya bapak meninggal kemarin petang (Selasa),” papar Luh Resmi.
“Sejak pulang dari rumah sakit, bapak mengeluh tidak kuat dan mau mati saja. Terus, saya tungguin di kamar. Ketika bapak meninggal kemarin petang pukul 18.00 Wita, juga pas saya peluk,” lanjut perempuan yang jatuh cinta dan akhirnya menikah dengan almarhum Ketut Jingga lewat kesenian Joged Bumbung ini.
Ketut Jingga berpulang buat selamanya dengan meninggalkan istri tercinta Luh Resmi dan 3 anak yang semuanya sudah berkeluarga, yakni Luh Mayoni, Komang Adya Yana, dan Ketut Suwani, serta 6 orang cucu.
Luh Resmi menceritakan, sebelum meninggal dunia, Ketut Jingga sempat memanggil anak laki-lakinya, Komang Adya Yana, 42, agar masuk ke kamarnya. Sang maestro juga berpesan kepada istri, anak, menantu, dan cucu-cucunya agar mereka tetap meneruskan kesenian Joged Bumbung yang sudah digeluti keluarga secara turun temurun.
Kiprah Ketut Jingga dalam kesenian Joged Bumbung di Buleleng sudah tidak diragukan lagi. Seniman yang tak tamat SD ini mulai berlatih tari joged yang dulu adalah tari pergaulan sejak tahun 1956-an, saat masih belia. Kepiawaiannya menari joged diwarisi dari ayahnya, Nengah Nurana, dan juga kakeknya yang semuanya seniman tari dan tabuh.
Ketut Jingga dapat menguasai dengan cepat gerakan, pakem, dan tabuh tarian Joged Bumbung. Bahkan, dia dan menciptakan gerakan dan pakem original dari pemikirannya. Pada 1971, Ketut Jingga dan teman-teman sejawatnya di Desa Sari Mekar membentuk Sanggar Karya Remaja yang masih berdiri hingga kini.
Selama berkesenian, anak bungsu dari 4 bersaudara pasangan almarhum Nengah Nurana dan Luh Suka ini berusaha melestarikan kesenian Joged Bumbung dan menularkannya ke desa bahkan kabupaten lainnya di Bali. Ketut Jingga diundang untuk mengajar tari joged ke beberapa desa dan kabupaten di Bali. “Bapak sudah mengajar di 34 sanggar yang ada di Bali,” ungkap putra almarhum, Komang Adya Yana, kepada NusaBali.
Ketut Jingga dikenal sangat luwes, yang terpenting kekeh dengan pakem yang diciptakannya. Meskipun persaingan Joged Bumbung khususnya di Buleleng sempat tidak sehat dengan hadirnya joged p0rno, namun Ketut Jingga mewanti-wanti agar sekaa joged binaannya tidak menerima order menari porno.
“Belaiu tidak pernah mau kalau ada yang order buat porno. Pak Ketut Jingga selalu bilang kalau ada order dengan pakemnya ya jalan, kalau tidak pun nggak apa-apa,” ungkap Wayan Semawa, peñata tabuh di Sanggar Karya Remaja binaan sang maestro Ketut Jingga.
Sanggar Karya Remaja binaan Ketut Jingga yang sudah dirintis selama 50 tahun tak pernah sepi job. Dalam sebulan, mereka bisa 7-8 kali pentas. Biasanya, sanggar binaan almarhum ini kebanjiran order saat ada dewasa ayu (hari baik) pernikahan dan telubulanan yang biasa pentaskan joged untuk naur sesangi (membayar kaul).
Karier Ketut Jingga di dunia seni bukan hanya kasub (terkenal) dalam kesenian Joged Bumbung. Ketut Jingga juga dikenal sebagai pembuat rindik dan sekaligus penabuh rindik yang andal. Dialah penabuh rindik andalan Dinas Kebudayaan Buleleng yang seringkali ditampilkan mengisi acara pameran pembangunan atau event-event lainnya.
Sedangkan untuk Joged Bumbung, Ketut Jingga sudah melanglang bhuana hingga ke Lombok (NTB), Jawa Tengah, dan daerah lainnya di Indonesia. Bahkan, Ketut Jingga sempat diundang sebagai guru seni di China tahun 2003, namun batal berangkat karena terhalang restu istrinya. Tak heran jika sang maestro dianugerahi penghargaan Wija Kusuma Kabupaten Buleleng tahun 2005, selain juga penghargaan Pengabdi Seni Seniman Tua dari Pemprov Bali tahun 2012. *k23
Ketut Jingga menghembuskan napas terakhir di rumahnya kawasan Banjar Dajan Margi, Desa Sari Mekar, Kecamatan Buleleng, Selasa petang pukul 18.00 Wita. Sang Maestro Joged Bumbung menghembuskan napas terakhir dalam pelukan istri tercintanya, Luh Resmi.
Sebelum meninggal dunia, seniman tari dan tabuh yang dikenal dengan rambut gondrongnya ini selama 2 tahun terakhir kerap keluar masuk rumah sakit, akibat penyakit diabetes dan TBC yang dideritanya. Sejak itu pula, Ketut Jingga jarang muncul dalam pentas seni.
Menurut kesaksikian sang istri, Luh Resmi, almarhum Ketut Jingga ketahuan mulai tidak sehat saat menabrak cucunya hingga langsung pingsan, 2 tahun silam. Keluarga pun langsung melarikan Ketut Jingga ke rumah sakit. “Saat itu, bapak (Ketut Jingga) didiagnose menderita diabetes. Sejak itulah bapak sering keluar masuk rumah sakit,” ungkap Luh Resmi saat ditemui NusaBali di rumah duka kawasan Banjar Dajan Margi, Desa Sari Mekar, Rabu (11/3).
Luh Resmi menyebutkan, selama 2 tahun terakhir sejak pingsan usai menabrak cucunya itu, almarhum Ketut Jingga tercatat sudah 9 kali keluar masuk rumah sakit. Namun, di tengah kondisi fisiknya yang sakit-sakitan, Ketut Jingga tak mau berhenti beraktivitas kesenian, meskipun intensitasnya jauh berkurang.
Kemudian, kondisi kesehatan seniman kelahiran 31 Desember 1952 ini memburuk sejak 6 bulan lalu, setelah terjatuh saat mengambil air minum di dapur. Kala itu, almarhum jatuh sampai mengalami patah tulang panggul. Pasca jatuh dan tulang panggulnya patah, Ketut Jingga malam divonis menderita TBC oleh dokter. Sejak saat itu pula, sang maestro seni tidak bisa lagi beraktivitas di luar rumah.
“Kemarin bapak meninggalnya di rumah. Bapak meninggal hanya berselang 3 hari setelah pulang dari rumah sakit. Sepulang dari rumah sakit, sudah tidak bisa masuk makanan apa pun, sampai akhirnya bapak meninggal kemarin petang (Selasa),” papar Luh Resmi.
“Sejak pulang dari rumah sakit, bapak mengeluh tidak kuat dan mau mati saja. Terus, saya tungguin di kamar. Ketika bapak meninggal kemarin petang pukul 18.00 Wita, juga pas saya peluk,” lanjut perempuan yang jatuh cinta dan akhirnya menikah dengan almarhum Ketut Jingga lewat kesenian Joged Bumbung ini.
Ketut Jingga berpulang buat selamanya dengan meninggalkan istri tercinta Luh Resmi dan 3 anak yang semuanya sudah berkeluarga, yakni Luh Mayoni, Komang Adya Yana, dan Ketut Suwani, serta 6 orang cucu.
Luh Resmi menceritakan, sebelum meninggal dunia, Ketut Jingga sempat memanggil anak laki-lakinya, Komang Adya Yana, 42, agar masuk ke kamarnya. Sang maestro juga berpesan kepada istri, anak, menantu, dan cucu-cucunya agar mereka tetap meneruskan kesenian Joged Bumbung yang sudah digeluti keluarga secara turun temurun.
Kiprah Ketut Jingga dalam kesenian Joged Bumbung di Buleleng sudah tidak diragukan lagi. Seniman yang tak tamat SD ini mulai berlatih tari joged yang dulu adalah tari pergaulan sejak tahun 1956-an, saat masih belia. Kepiawaiannya menari joged diwarisi dari ayahnya, Nengah Nurana, dan juga kakeknya yang semuanya seniman tari dan tabuh.
Ketut Jingga dapat menguasai dengan cepat gerakan, pakem, dan tabuh tarian Joged Bumbung. Bahkan, dia dan menciptakan gerakan dan pakem original dari pemikirannya. Pada 1971, Ketut Jingga dan teman-teman sejawatnya di Desa Sari Mekar membentuk Sanggar Karya Remaja yang masih berdiri hingga kini.
Selama berkesenian, anak bungsu dari 4 bersaudara pasangan almarhum Nengah Nurana dan Luh Suka ini berusaha melestarikan kesenian Joged Bumbung dan menularkannya ke desa bahkan kabupaten lainnya di Bali. Ketut Jingga diundang untuk mengajar tari joged ke beberapa desa dan kabupaten di Bali. “Bapak sudah mengajar di 34 sanggar yang ada di Bali,” ungkap putra almarhum, Komang Adya Yana, kepada NusaBali.
Ketut Jingga dikenal sangat luwes, yang terpenting kekeh dengan pakem yang diciptakannya. Meskipun persaingan Joged Bumbung khususnya di Buleleng sempat tidak sehat dengan hadirnya joged p0rno, namun Ketut Jingga mewanti-wanti agar sekaa joged binaannya tidak menerima order menari porno.
“Belaiu tidak pernah mau kalau ada yang order buat porno. Pak Ketut Jingga selalu bilang kalau ada order dengan pakemnya ya jalan, kalau tidak pun nggak apa-apa,” ungkap Wayan Semawa, peñata tabuh di Sanggar Karya Remaja binaan sang maestro Ketut Jingga.
Sanggar Karya Remaja binaan Ketut Jingga yang sudah dirintis selama 50 tahun tak pernah sepi job. Dalam sebulan, mereka bisa 7-8 kali pentas. Biasanya, sanggar binaan almarhum ini kebanjiran order saat ada dewasa ayu (hari baik) pernikahan dan telubulanan yang biasa pentaskan joged untuk naur sesangi (membayar kaul).
Karier Ketut Jingga di dunia seni bukan hanya kasub (terkenal) dalam kesenian Joged Bumbung. Ketut Jingga juga dikenal sebagai pembuat rindik dan sekaligus penabuh rindik yang andal. Dialah penabuh rindik andalan Dinas Kebudayaan Buleleng yang seringkali ditampilkan mengisi acara pameran pembangunan atau event-event lainnya.
Sedangkan untuk Joged Bumbung, Ketut Jingga sudah melanglang bhuana hingga ke Lombok (NTB), Jawa Tengah, dan daerah lainnya di Indonesia. Bahkan, Ketut Jingga sempat diundang sebagai guru seni di China tahun 2003, namun batal berangkat karena terhalang restu istrinya. Tak heran jika sang maestro dianugerahi penghargaan Wija Kusuma Kabupaten Buleleng tahun 2005, selain juga penghargaan Pengabdi Seni Seniman Tua dari Pemprov Bali tahun 2012. *k23
1
Komentar