Macaru Ebatan hingga Nyakan di Rurung
Tradisi Nyepi di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan
SINGARAJA, NusaBali
Perayaan Nyepi di wilayah Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, memiliki keunikannya tersendiri.
Di wilayah yang mencakup Desa Munduk, Desa Gobleg, Desa Gesing, dan Desa Umajero ini, rangkaian prosesi hari raya Nyepi terdiri dari prosesi macaru ebatan di hari pangrupukan dan kemudian ditutup dengan tradisi nyakan di rurung pada subuh setelah Nyepi, yakni pada hari Ngembak Geni.
Tradisi yang telah berlaku selama puluhan, bahkan ratusan tahun ini kembali dilaksanakan pada prosesi pangrupukan Selasa (24/3) hingga hari Ngembak Geni, yakni Kamis (26/3). Banten caru yang dihaturkan berupa caru ebatan yang di dalamnya terdapat nasi pelupuhan, yakni haturan berupa nasi yang ditata bersama ayam dan lawar barak putih di atas lembaran daun pisang utuh.
Seperti halnya tujuan macaru pada umumnya, caru ebatan ini dihaturkan pada Bhuta Kala. Namun uniknya, setelah prosesi macaru yang dipuput oleh pamangku ini, maka keluarga yang melaksanakan prosesi ini akan memakan bersama-sama haturan nasi pelupuhan tersebut.
Hal ini merupakan konsep yang tak begitu lumrah, sebuah haturan untuk para Kala menjadi santapan umat, seperti layaknya umat Hindu mengkonsumsi haturan yadnya pada umumnya. Menurut salah satu pamangku pangemong di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, Made Sudarma, memiliki makna filosofisnya tersendiri, yaitu bahwa selain menghaturkannya pada Bhuta Kala, haturan tersebut juga ditujuan kepada Kala yang terdapat di dalam diri umat. “Filosofinya, manusia itu tidak mungkin tidak punya Kala, pasti punya ego. Jadi agar Kala yang di angga sarira ini, ikut menikmati,” terangnya.
Hal ini sejalan dengan makna yang diungkapkan oleh Putu Ardana, salah satu tokoh masyarakat Catur Desa Adat Dalem Tamblingan. “Bhuta Kala itu kan tidak selalu ada wujudnya. Ada sifat buruk, itu Bhuta kala juga,” jelas Ketua Tim Sembilan Catur Desa Adat Dalem Tamblingan ini.
Prosesi macaru dan makan bersama ini dilanjutkan dengan prosesi mabuu-buu (proses menetralisir energi negatif dengan mengelilingi rumah sebanyak tiga kali). Dan barulah, setelah itu umat Hindu di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan ini menunaikan Hari Raya Nyepi yang terhitung mulai pukul 24.00 hingga tengah malam berikutnya. Kegiatan masyarakat usai menyepi dibuka kembali dengan tradisi memasak di luar rumah yang juga dilakukan masing-masing keluarga.
Penyebutan nama untuk tradisi yang satu ini memiliki banyak versi. Beberapa, mengemukakan nama nyakan di lebuh, merujuk pada fungsi palinggih lebuh sebagai palinggih di depan rumah yang menghadap ke jalan. Beberapa sebutan lainnya, yaitu nyakan di pemesuan (di depan rumah), dan nyakan di rurung (di jalan). Namun bagi masyarakat Catur Desa yang secara tradisi tak memiliki palinggih lebuh, nama nyakan di pemesuan dan nyakan di rurung menjadi istilah yang lebih lazim digunakan.
Tradisi ini, sesuai namanya, berupa kegiatan masak keluarga di depan rumah yang dimulai dari sekitar pukul 01.00 dinihari pada saat hari Ngembak Geni. “Dilaksanakan dari masak hingga selesai. Masak nasi, masak lauk, lalu makan. Seperti dapur itu dipindah,” lanjut Made Sudarma.
Baik tradisi nyakan di pemesuan dan macaru ebatan, keduanya memiliki fungsi sosial, yakni untuk mendekatkan keluarga, terlebih bagi keluarga yang jarang berkumpul, untuk dapat menikmati momen setahun sekali memasak dan makan bersama. Terlebih pada tradisi nyakan di pemesuan, fungsi sosial tak hanya pada tingkat keluarga, namun juga sebagai bentuk silahturahmi antar tetangga.
“Ritualnya mungkin hanya itu saja, tapi di balik itu, suasana asli nyakan di rurung itu menguatkan kekerabatan kita sebagai komunitas desa. Jadi biasanya kalau orang nyakan di rurung itu kan jalan-jalan, lalu mencicipi masakan tetangga, begitu pula sebaliknya. Jadi poinnya itu sangat menguatkan fungsi sosial sebagai komunitas desa dan komunitas adat,” tutur Putu Ardana.
Kegiatan nyakan di rurung (memasak di pinggir jalan) saat Ngembak Gni, Kamis (26/3). -YULIA
Namun di era masa kini, tradisi masak di luar rumah ini mengalami pergeseran. Hal ini, diungkapkan oleh Made Sudarma, utamanya disebabkan oleh bergesernya penggunaan kayu bakar yang lazim digunakan pada kompor jaman dahulu sehingga masyarakat enggan untuk melaksanakan tradisi ini.
“Sekarang karena jaman, susah cari kayu bakar. Kalau sekitar sepuluh tahun yang lalu, itu masaknya sampai sore, dari jam 1 atau jam 4 pagi, sampai sore atau malam, baru selesai,” katanya.
Yang namanya tradisi, tentu harus dilaksanakan. Namun di tengah imbauan pemerintah untuk melakulan physical distancing demi mencegah penyebaran pandemik Covid-19, tradisi yang ada di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan ini pun turut menyesuaikan. “Dengan adanya himbauan dari pemerintah, akhirnya sebatas melaksanakan. Ada yang melaksanakan, tapi dilakukan dengan jaga jarak. Sudah ada pemberitahuan oleh staf-staf desa,” tutup Made Sudarma.*cr74
Komentar