Kelahiran Wayang Wong Tejakula Berawal dari Peristiwa Kerauhan
175 tapel yang digunakan untuk pentas kesenian sakral Wayang Wong Tejakula hingga sekarang, dibuat dua seniman besar yakni I Gusti Ngurah Jelantik dan I Dewa Batan pada abad ke-17
Wayang Wong Tejakula, Kesenian Sakral yang Ditetapkan Jadi ‘Warisan Budaya Dunia Tak Benda’
SINGARAJA, NusaBali
Kesenian sakral Wayang Wong milik Desa Pakraman Tejakula, Kecamatan Tejakula, Bu-leleng baru saja mendapat sertifikat sebagai ‘Warisan Budaya Dunia Tak Benda’ dari United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Kesenian Wayang Wong yang dapat pengakuan UNESCO---badan dunia di bawah PPB yang mengurusi segala hal menyangkut bidang pendidikan, sains, dan kebudayaan---ini meru-pakan tarian sakral yang lahirnya berawal dari peristiwa kerauhan di abad ke-17.
Penyerahan sertifikat ‘Warisan Budaya Dunia Tak Benda’ kesenian Wayang Wong Tejakula ini dilakukan saat pembukaan acara Buleleng Fesstival (Bulfest) IV 2016 di depan Tugu Singa Ambara Raja, Buleleng, 2 Agustus 2016 lalu. Sertifikat dari UNESCO tersebut diserahkan oleh Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Karakter Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Arie Budhiman, kepada Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana. Penyerahan penghargaan untuk kesenian Wayang Wong Tejakula ini nyambung dengan tema Bulfest IV 2016, yakni ‘Master Pieces of Buleleng’ (berarti penyajian garapan dan karya terbaik Buleleng).
Menurut Kelian Sekaa Wayang Wong Tejakula, I Gede Putu Tirta Ngis, 72, lesenian ini merupakan warisan turun temurun Desa Pakraman Tejakula. Kesenian Wayang Wong bertahan dengan cara yang mistis. Kini, tarian Wayang Wong Tejakula bukan hanya jadi bagian upacara di pura-pura wilayah Desa Pakraman Tejakula, tapi juga dipentaskan sebagai tontonan (acara hiburan). Hanya saja, untuk pentas tontonan, menggunakan tapel (topeng) duplikat, bukan aslinya yang diwarisi dari abad ke-17.
Putu Ngis mengatakan, Wayang Wong Tejakula adalah tradisi budaya cukup tua, yang diperkirakan sudah ada sejak pertengahan abad ke-17, melalui proses kelahiran yang mistis. Ketika itu, salah seorang kepercayaan Ida Batara yang berstana di Pura Maksan mendadak kerauhan (kerasukan). Melalui raga orang kepercayaannya yang kerauhan ketika itu, Ida Batara meminta harus ada kesenian Wayang Wong yang dipentaskan di Pura Maksan dan pura-pura lainnya wilayah Desa Pakraman Tejakula.
Pasca muncul permintaan secara niskala melalui proses kerauhan itu, para tokoh seni di Desa Pakraman Tejakula kemudian berkumpul, lalu sepakat membuat sebuah kesenian Wayang Wong. Dalam kumpulan tokoh-tokoh seni itu, kata Putu Ngis, hadir pula dua seniman besar I Gusti Ngurah Jelantik dan I Dewa Batan. “Kedua seniman itu diperkirakan memiliki peran besar dalam kemunculan kesenian Wayang Wong Tejakula ini,” ungkap Putu Ngis saat ditemui NusaBali di Tejakula, beberapa waktu lalu.
Menurut Putu Ngis, kedua seniman besar itu pula yang membuat tapel-tapel berbahan kayu yang wajahnya menyerupai tokoh-tokoh dalam epos Ramayana. Total ada 175 tapel yang dibuat saat itu. Ratusan topeng tersebut terbagi dalam beberapa kelompok, seperti Kelompok Rama, Kelompok Laksamana, Kelompok Sugriwa, Kelompok Wibisana, Kelompok Rahwana, Kelompok Kumbakarna, Kelompok Raksasa, hingga Kelompok Punakawan.
Tapel (topeng) yang jumlahnya mencapai 175 buah warisan abad ke-17 itu kini distanakan di Pura Maksan Tejakula. Topeng-topeng itu hanya digunakan di waktu-waktu tertentu ketika pementasan sakral Wayang Wong Tejakula di pura-pura. Topeng-topeng tersebut dipakai Sekaa Wayang Wong Tejakula yang anggotanya mencapai ratusan orang.
Putu Ngis mengisahkan, dulunya kesenian sakral Wayang Wong Tejakula tak bisa dipentaskan di sembarang tempat dan sembarang waktu. Pementasan sakral Wayang Wong Tejakula yang dibolehkan saat ada piodalan ageng di Pura Kahyangan Tiga, piodalan di Pusra Danka, serta upacara Ngenteg Linggih. Sebelum digunakan ngigel (menari), topeng-topeng itu harus melalui proses upacara Bakti Pamungkah yang dilangsungkan di Pura Maksan.
Uniknya, kesenian sakral Wayang Wong Tejakula wajib dimainkan secara bersambung, karena tidak bisa dimainkan terpenggal atau dimulai di bagian-bagian tertentu. Semuanya haru ditampilkan utuh. Misalnya, jika dalam piodalan di Pura Desa dimainkan bagian pertama epos Ramayana, maka dalam pementasan selanjutnya di pura lain harus dimainkan bagian kedua epos Ramayana. Begitu seterusnya, hingga cerita tamat. Jika sudah tamat, cerita dimulai lagi dari bagian pertama.
Sebagai kesenian sakral, Wayang Wong Tejakula memiliki banyak hal pingit (sakral) di dalamnya. Menurut Putu Ngis, kesenian ini bertahan melalui warisan turun temurun secara mistis. Sekalipun orang itu awalnya tidak bisa menarikan Wayang Wong Tejakula, namun jika sudah waktunya menari, maka yang bersangkutan dengan sendirinya akan bisa menari. “Mereka bisa menari tanpa proses belajar sekali pun,” beber tokoh berusia 72 tahun ini.
Putu Ngis sendiri dulunya juga merupakman pragina (penari) Wayang Wong Tejakula yang mendadak bisa menari ketika waktunya tiba. Putu Ngis mengaku menggeluti kese-nian sakral Wayang Wong Tejakula sejak 1975 silam, ketika usianya masih 31 tahun. Sejak itu, dia tak pernah absen ngigel (menari) Wayang Wong Tejakula. Kini, karena kondisinya sudah mulai uzur, memaksa Putu Ngis berperean di balik layar.
“Selain jadi Kelian Sekaa Wayang Wong Tejakula, saya kini juga bertindak sebagai sutradara di setiap pementasan. Pasalnya, sayalah satu-satunya penari Wayang Wong Tejakula yang dapat membawakan semua peran,” tutur tokoh asal Banjar Tegal Semaga, Desa Tejakula, Kecamatan Tejakula ini. * k23
1
Komentar