Tolak Bala, Masyarakat Bali Serentak Haturkan Nasi Wong-wongan
Nasi Wong-wongan ini merupakan langkah yang ditempuh secara niskala sebagai penolak bala, dalam hal ini Covid-19 yang sedang mewabah di seluruh dunia.
DENPASAR, NusaBali.com
Sesuai dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Dinas Pemajuan Masyarakat Provinsi Bali, masyarakat Bali serentak pada Kamis (2/4) menghaturkan rangkaian penolak bala berupa banten pejati yang dilengkapi dengan bungkak (kelapa merah atau kelapa gading), beserta haturan nasi wong-wongan, yakni nasi berbentuk orang (wong) yang ditata di atas daun pisang dan dibuat dalam lima warna, yakni, putih, merah, kuning, hitam, dan panca warna.
Sebelumnya, rangkaian upacara ini telah dilaksanakan sejak Selasa (31/3) lalu dengan haturan banten pejati. Selain di kalangan rumah masing-masing masyarakat, haturan banten pejati yang dilengkapi dengan bungkak juga dihaturkan di Pura Tri Kahyangan Desa Adat setiap hari hingga 7 April mendatang.
Adanya imbauan ini merupakan langkah yang ditempuh secara niskala sebagai penolak bala, dalam hal ini Covid-19 yang sedang mewabah di seluruh dunia. Dan seketika, nasi wong-wongan yang menjadi salah satu haturan pun viral. Namun, apa makna di balik haturan tersebut?
Secara tampilan, nasi wong-wongan terdiri dari nasi lima warna berbentuk orang atau wong. Lima warna ini, secara spesifik yaitu warna putih untuk bagian kepala, merah pada tangan kanan, kuning pada tangan kiri, panca warna pada bagian badan, dan warna hitam pada bagian kaki.
Terasa familiar? Benar. Warna-warna nasi ini sama dengan warna pada nasi yang digunakan pada haturan segehan yang biasa disajikan oleh umat Hindu. Warna-warna ini, ditata sesuai dengan arah mata angin dalam kepercayaan Hindu. Namun agak sedikit berbeda dengan segehan pada umumnya, nasi wong-wongan ini secara khusus menjadi penolak bala atau penyakit pada manusia dengan menetralisir energi negatif dari para bhuta kala.
“Secara makna, ini mirip dengan segehan tapi berbentuk wong. Makna perwujudan wong (orang) itu agar manusia terhindar dari bahaya,” ujar Dr Ida Bagus Subrahmaniam Saitya SH Sag MFilH, dosen pengajar agama Hindu di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Selain nasi berupa orang, haturan ini juga memiliki sejumlah kelengkapan lainnya, yaitu bawang, jahe, garam, dan juga daun pandan berduri yang memang salah satu simbol senjata penolak bala. Bawang, jahe, dan garam pada haturan ini menjadi simbol daging isian (ulam), yang wajib ada, seperti halnya pada segehan pada umumnya. “Fungsinya sebagai pengganti daging, karena segehan itu bentuk bhuta yadnya yang paling sederhana, jadi daging diganti dengan bawang, jahe, dan garam,” lanjut dosen yang akrab disapa Gus Bram ini.
Secara keseluruhan, rangkaian upacara yang melibatkan nasi wong-wongan ini disebut nangluk mrana, yaitu upacara yang ditujukan untuk menangkal atau mengendalikan gangguan-gangguan, seperti penyakit pada tanaman, hewan, maupun manusia. Dalam hal ini, gangguan yang dimaksud yaitu pandemi Covid-19.
Sebenarnya, ritual nangluk mrana ini rutin dilakukan pada tilem sasih kaenem atau pada bulan baru di bulan keenam kalender Bali. Namun karena wabah pandemic ini, masyarakat melakukan ritual ini di luar jadwal tersebut demi menangkal virus corona ini. “Nangluk mrana juga diartikan upacara untuk mencegah atau menghalangi hama atau penyakit, atau disebut juga ritual penolak bala. Bisa dibilang kalau secara sekala sudah melalui penanganan dari pemerintah seperti WFH, nah ini jalan niskala,” tuntasnya.*cr74
Komentar