Kerja, Akal, Doa, Upacara
Lebih penting mana, berdoa atau bekerja? Sebagian besar orang Bali bisa jadi menjawab: berdoa lebih penting.
Bukankah setiap hendak bekerja kita berdoa terlebih dulu? Yang lain akan menambahkan, sekecil dan seringan apa pun doa harus disertai upacara. Makin megah doa, kian bergemuruh upacara. Selesai memasak, sebelum bersantap, harus berdoa dulu, melakukan ritual kecil dengan menghaturkan banten saiban keliling natah. Makanya orang Bali tak mengenal doa di meja makan, sebelum menyuapkan makanan ke mulut di rumah atau di restoran. Karena menghaturkan doa keliling pekarangan, tentu ganjil kalau hendak makan di mal harus menghaturkan saiban keliling.
Sebelum pentas, menari, bermusik, menabuh, orang Bali berdoa dan berupacara kecil, menghaturkan sesaji di arena. Entahlah, mengapa sekarang anak muda Bali yang hendak baca puisi atau pentas drama modern, yang mendendangkan musik, memetik gitar atau menabuh drum, di panggung tidak berdoa dan menghaturkan sesaji.
Tentu banyak juga yang berpendapat, lebih penting bekerja tinimbang berdoa. Kan bekerja itu ibadah, doa nyata, yang digerakkan dan diwujudkan. Bhagawad Gita juga mengajarkan, yang utama itu bekerja, karena kalau tidak bekerja, dunia akan luluh lantak, tubuh hancur lebur. Tapi, banyak orang suci berpandangan, mereka yang sibuk bekerja jadi lupa berdoa, ogah berupacara. Mereka melupakan Tuhan sehingga pantas dikutuk sebagai pendosa. Dan Tuhan mengirim wabah untuk menghukum orang-orang murtad karena mabuk kerja dan memburu hasil ini.
Sepanjang tahun 1348 hingga 1361, wabah pes melanda Eropa. Penyakit sampar yang dikenal sebagai black death itu merenggut puluhan juta jiwa, diperkirakan menghabisi 50 persen penduduk Eropa. Pandemi ini digolongkan sebagai kejadian yang mengubah sejarah, seperti Magna Carta di Inggris tahun 1215, pelayaran Marco Polo ke Timur Jauh (1271-1295), juga revolusi industri — yang dipicu oleh James Watt (1769), ketika ia menyempurnakan mesin uap temuan Newcom (1712).
Albert Camus, filsuf Prancis, menulis novel memikat La Peste, tentang wabah dahsyat yang disebarkan tikus itu. Seorang pendeta tengah berhadapan dengan penderita sekarat. Sebentar lagi ia pasti mati. Si pendeta marah-marah. Ia menganggap, sampar mewabah karena manusia mengabaikan ajaran dan perintah Tuhan. Wabah itu disebabkan oleh timbunan dosa-dosa. Dan Tuhan murka. Manusia harus bertobat, mohon maaf.
Seorang tokoh cerita dalam novel itu bingung. Bagaimana mungkin seseorang yang menjemput ajal dimarahi, dihardik? Bukankah ia sepatutnya ditolong, diobati, tidak dikutuk? Tindakan medis jelas lebih penting ketika wabah berjangkit, tak cukup dengan ritus dan doa, tidak dengan caci maki, tidak dengan pertikaian atau silang sengketa.
La Peste menjadi segar kembali, kini, ketika gumi gering, juga tatkala Bali menyelenggarakan upacara pamerayascita bhumi, 20 Februari 2004, dipusatkan di sumber mata air, laut, gunung, di sepuluh tempat: Pura Tirta Empul, Segara Rupek, Segara Ponjok Batu, Segara Seraya, Segara Geger, Danau Batur, Danau Tamblingan, Danau Buyan, Danau Beratan, dan Pura Pasar Agung (Gunung Agung). Di Pura Desa dihaturkan sesaji, tiap keluarga menghaturkan persembahan, dan menancapkan penjor.
Untuk pakelem, kerbau hidup ditenggelamkan di laut. Dengan doa dan mantra, umat mohon agar tanah longsor, banjir, gempa bumi, wabah penyakit yang menyerang ternak dan manusia, segera berlalu. Kepada Hyang Widhi umat mohon maaf, menghaturkan sesaji guru bendu piduka. Ritus ini diharapkan menjadi gerbang menuju harmoni bumi dan kerahayuan jagat.
Tetapi upacara pamerayascita bhumi ini menuai kritik dan polemik. Seseorang berkomentar, karena sekarang musim hujan, tentu wajar terjadi banjir dan tanah longsor. Wabah penyakit muncul bisa disebabkan oleh gaya hidup yang mengabaikan kebersihan lingkungan. Penyakit ternak menyebar dari negara tetangga disebabkan budaya hidup global, serba terbuka, tanpa disertai kewaspadaan.
Muncul pula komentar lain, mengapa Bali harus melakukan upacara khusus lagi untuk bumi? Bukankah upacara seperti itu sudah diatur, dilakukan teratur, misalnya upacara tawur kesanga setiap menjelang Nyepi. Upacara harmoni jagat juga banyak kali dilakukan menyertai sekian ritus di pura dan tempat pemujaan keluarga. Mengapa upacara sejenis mesti ditambah-tambah lagi?
Yang mendukung penyelenggaraan upacara pamerayascita bhumi pun tidak sedikit. Salah seorang mengatakan, upacara ini sudah sesuai dengan aturannya, seperti tersurat dalam lontar Roga Sengara Bumi, Dewa Tattwa, dan Bama Kertih. Upacara dilangsungkan berkaitan dengan munculnya prawesanan (tanda-tanda) alam, seperti bencana alam di Bali.
Kalau begitu benar juga ujaran A Mustofa Bisri (Gusmus): simbol dan upacara itu banyak yang menjadi topeng dan komoditi dagangan saja. Tuhan itu bukan melulu pada keramaian, bukan melulu pada ritual. Wajar kalau muncul pendapat, ada yang memanfaatkan lembaga adat dan keagamaan sebagai panggung.
Di Bali, setiap peristiwa bisa dikaitkan dengan niskala dan ritual. Jika persoalan tak terjawab, orang mencari jawabannya di alam tidak nyata, maya. Padahal masalah itu bisa diselesaikan dengan akal. Karena akal terbatas, persoalan pun jadi berat, sulit, rumit, tak terpecahkan. Untuk meringankan beban perasaan dan pikiran, orang kemudian pergi ke alam maya itu tadi.
Celakanya, orang bisa malas bersusah-susah memecahkan masalah dengan akal. Begitu persoalan muncul, mereka buru-buru ke alam maya. Mereka ogah mencari terobosan-terobosan baru, karena selalu terpaku pada risalah-risalah lama yang banyak sekali ada dalam lontar-lontar, yang kalau tidak awas bisa mendekatkan diri pada takhayul. Kita sibuk menelaah teks-teks lama yang miskin teknis. Jalan keluar baru dianggap anti-tradisi, mengingkari harmoni dan dituduh ateis.
Kesigapan menjawab persoalan dengan melaksanakan upacara bisa melahirkan kebiasaan malas berpikir, ogah menggunakan akal. Lambat laun, dunia nyata ini menjadi alam maya, dunia mimpi, khayalan. Orang-orang berangan-angan kaya, kemudian korupsi. Mereka ingin tenang bahagia, tapi menebang hutan sesuka hati, menyebabkan tanah longsor. Mereka berkhayal damai, tapi berkelahi. Mereka ingin mendapat jawaban dan penyelesaian yang terang benderang, namun sibuk menganalisis simbol-simbol, sehingga jalan dan arah menjadi remang-remang.
Bhagawadgita mengajarkan agar manusia terus menerus bekerja, tanpa peduli hasil, taat pada agama. Artinya, utamakan akal, lalu sujud bakti dengan doa dan upacara. *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar