WFH Tak Memujurkan Dagang Banten
Pujawali/piodalan di suatu pura khayangan tiga, pura banjar, mrajan/sanggah, yang biasanya nyejer 3 - 4 rahina (hari), terpaksa disederhanakan jadi sehari.-
GIANYAR, NusaBali
Imbauan work from home (WFH) atau kerja dari rumah, terdengar agak aneh, saat sebelum wabah Covid-19 atau Corona merebak. Karena kebanyakan pekerjaan (dilakoni para karyawan/kaum buruh) ada di luar rumah masing-masing. Maka, muncul asumsi, WFH tak merugikan pekerja rumahan karena mereka memang wajib kerja di rumah. Seperti para pembuat bahan upakara atau babantenan di Bali umumnya.
Namun asumsi itu tak selamanya benar. Karena wabah virus Corona turut berimbas pada pelaksanaan upacara yadnya di Bali, khususnya Gianyar. Pujawali/piodalan di suatu pura khayangan tiga, pura banjar, mrajan/sanggah, yang biasanya nyejer 3 - 4 rahina (hari), terpaksa disederhanakan jadi sehari. Piodalan yang biasanya tampak meriah dengan banyak sesaji atau banten serta dekorasi, kini jadi sederhana dan sunyi.
Keadaan itu terpaksa dilakoni umat Hindu di Bali karena ketaatan pada imbauan untuk social/physical distancing (atur jarak). Imbauan ini untuk mencegah kerumunan, sebagai salah satu langkah terbaik dalam mumutus mata rantai penularan wabah Corona. Kesunyian prosesi yadnya pun otomatis berpengaruh pada produksi bahan-bahan upakara. Salah satunya penek/pangkonan. Usaha jasa dagang banten pun kini sepi order.
Seperti diungkapkan pembuat penek asal Banjar Penijoan Desa Batuan Kecamatan Sukawati, Luh Made Dewi, saat ditemui Sabtu (2/5). Saking sepinya order penek, Luh Dewi terpaksa berhenti produksi sejak 5 hari terakhir. "Sebenarnya bahan berupa beras masih banyak stoknya di dapur. Tapi karena tidak ada permintaan, tiyang stop sementara membuat penek," jelas istri dari I Wayan Rade ini. Jika dibandingkan, sebelum wabah Covid-19 menyebar luas pelaksanaan yadnya berlangsung megah meriah. Otomatis, produksi peneknya laris manis. Karena penek menjadi salah satu bahan upakara utama. Dalam sehari, Luh Dewi bisa menghabiskan 25 Kg beras. Tapi, setelah Covid-19, banyak masyarakat yang menunda melakukan yadnya sehingga berimbas pada permintaan penek. "Sudah sejak 5 hari tyang gak memproduksi. Karena stok masih banyak, belum laku. Padahal jika tidak ada virus ini, bulan-bulan Mei ini cukup banyak acara pujawali, mecaru dan lainnya," jelasnya.
Untuk mengisi waktu, Luh Dewi pilih mejejaitan ceper slepan. "Ini untuk merainan di rumah. Iseng, sambil isi waktu daripada bengong nonton tv," ujar ibu 3 anak ini. Selain menjual pada dagang banten, penek Luh Dewi juga ditaruh di warung-warung upakara seputaran Pasar Sukawati. "Di warung juga sepi, sudah lama langganan tidak datang," keluhnya. Diakui, dalam kondisi seperti ini pihaknya sudah kebingungan. Lantaran tidak punya kerjaan dan tidak mendapatlan penghadilan. "Sekarang bingung, mau jual apa," ungkapnya.
Hal senada diungkapkan serati banten pemilik Pujawali Yadnya, Ni Made Weli di Banjar Bedil Desa/Kecamatan Sukawati. Terakhir kali, Made Weli dapat pesanan membuat banten di rumah pengantin perempuan. Setelah itu hingga saat ini, tidak ada orderan. Bahkan sejumlah warga yang berencana menggelar pecaruan rai gana, mengajukan penundaan. "Tiyang yakin, semua pasti terdampak. Termasuk penjualan banten," jelasnya.
Semestinya, Made Weli baru akan memulai mempersiapkan banten Caru Rsi Gna Balik Sumpah di salah satu rumah pelanggannya. Namun karena Covid-19, rencana tersebut ditunda. "Upakaranya ditunda, karena khawatir saat hari H akan didatangi petugas beraenang," jelasnya. Beruntung sebelum wabah Covid, dirinya masih sempat menerima orderan banten Nganten, Mabayuh Oton Gede, Caru Rsi Gana dan sejenisnya. Untuk mengisi waktu luang, istri dari petani I Wayan Puja ini juga majejaitan. "Tetap majaitan di rumah, supaya tidak diam saja di rumah, "jelasnya.*nvi
Imbauan work from home (WFH) atau kerja dari rumah, terdengar agak aneh, saat sebelum wabah Covid-19 atau Corona merebak. Karena kebanyakan pekerjaan (dilakoni para karyawan/kaum buruh) ada di luar rumah masing-masing. Maka, muncul asumsi, WFH tak merugikan pekerja rumahan karena mereka memang wajib kerja di rumah. Seperti para pembuat bahan upakara atau babantenan di Bali umumnya.
Namun asumsi itu tak selamanya benar. Karena wabah virus Corona turut berimbas pada pelaksanaan upacara yadnya di Bali, khususnya Gianyar. Pujawali/piodalan di suatu pura khayangan tiga, pura banjar, mrajan/sanggah, yang biasanya nyejer 3 - 4 rahina (hari), terpaksa disederhanakan jadi sehari. Piodalan yang biasanya tampak meriah dengan banyak sesaji atau banten serta dekorasi, kini jadi sederhana dan sunyi.
Keadaan itu terpaksa dilakoni umat Hindu di Bali karena ketaatan pada imbauan untuk social/physical distancing (atur jarak). Imbauan ini untuk mencegah kerumunan, sebagai salah satu langkah terbaik dalam mumutus mata rantai penularan wabah Corona. Kesunyian prosesi yadnya pun otomatis berpengaruh pada produksi bahan-bahan upakara. Salah satunya penek/pangkonan. Usaha jasa dagang banten pun kini sepi order.
Seperti diungkapkan pembuat penek asal Banjar Penijoan Desa Batuan Kecamatan Sukawati, Luh Made Dewi, saat ditemui Sabtu (2/5). Saking sepinya order penek, Luh Dewi terpaksa berhenti produksi sejak 5 hari terakhir. "Sebenarnya bahan berupa beras masih banyak stoknya di dapur. Tapi karena tidak ada permintaan, tiyang stop sementara membuat penek," jelas istri dari I Wayan Rade ini. Jika dibandingkan, sebelum wabah Covid-19 menyebar luas pelaksanaan yadnya berlangsung megah meriah. Otomatis, produksi peneknya laris manis. Karena penek menjadi salah satu bahan upakara utama. Dalam sehari, Luh Dewi bisa menghabiskan 25 Kg beras. Tapi, setelah Covid-19, banyak masyarakat yang menunda melakukan yadnya sehingga berimbas pada permintaan penek. "Sudah sejak 5 hari tyang gak memproduksi. Karena stok masih banyak, belum laku. Padahal jika tidak ada virus ini, bulan-bulan Mei ini cukup banyak acara pujawali, mecaru dan lainnya," jelasnya.
Untuk mengisi waktu, Luh Dewi pilih mejejaitan ceper slepan. "Ini untuk merainan di rumah. Iseng, sambil isi waktu daripada bengong nonton tv," ujar ibu 3 anak ini. Selain menjual pada dagang banten, penek Luh Dewi juga ditaruh di warung-warung upakara seputaran Pasar Sukawati. "Di warung juga sepi, sudah lama langganan tidak datang," keluhnya. Diakui, dalam kondisi seperti ini pihaknya sudah kebingungan. Lantaran tidak punya kerjaan dan tidak mendapatlan penghadilan. "Sekarang bingung, mau jual apa," ungkapnya.
Hal senada diungkapkan serati banten pemilik Pujawali Yadnya, Ni Made Weli di Banjar Bedil Desa/Kecamatan Sukawati. Terakhir kali, Made Weli dapat pesanan membuat banten di rumah pengantin perempuan. Setelah itu hingga saat ini, tidak ada orderan. Bahkan sejumlah warga yang berencana menggelar pecaruan rai gana, mengajukan penundaan. "Tiyang yakin, semua pasti terdampak. Termasuk penjualan banten," jelasnya.
Semestinya, Made Weli baru akan memulai mempersiapkan banten Caru Rsi Gna Balik Sumpah di salah satu rumah pelanggannya. Namun karena Covid-19, rencana tersebut ditunda. "Upakaranya ditunda, karena khawatir saat hari H akan didatangi petugas beraenang," jelasnya. Beruntung sebelum wabah Covid, dirinya masih sempat menerima orderan banten Nganten, Mabayuh Oton Gede, Caru Rsi Gana dan sejenisnya. Untuk mengisi waktu luang, istri dari petani I Wayan Puja ini juga majejaitan. "Tetap majaitan di rumah, supaya tidak diam saja di rumah, "jelasnya.*nvi
Komentar