Pulang Kampung
Cerpenis terbaik Bali, Nyoman Rasta Sindhu, menulis cerpen ‘Sebuah Rumah Tua’ dalam Kompas, 24 April 1970, setengah abad silam, kemudian bisa kita baca kembali dalam buku ‘Dua Kelamin bagi Midin’, Cerpen Kompas Pilihan 1970-1980.
Ini cerpen sederhana, tanpa menyuguhkan konflik ke permukaan, namun pembaca merasakan konflik itu kuat dalam tokoh-tokohnya. Seperti biasa, bahasa Rasta rapi, sejuk, dan ia selalu berhasil menyuguhkan cerita yang utuh, padu dan kuat sebagai sebuah kisah, menjadi jalinan cerita yang mencekam batin pembaca.
Seorang ayah yang hidup sendiri di desa berkali-kali meminta anaknya seorang untuk pulang kampung, karena ia merasa sudah sangat tua untuk mengurus kebun. Kepada anaknya si ayah bersurat, “Pulanglah. Rumah itu sudah terlalu tua dan sepi. Tidak ada penghuninya lagi, kecuali aku seorang diri. Aku pun sudah tua pula, seperti juga rumah itu. Oleh karena itu, pulanglah kau. Aku sudah terlalu ingin rumah tua dan besar itu diramaikan oleh cucu-cucuku yang manis-manis itu. Ya, anak-anakmu yang selalu hidup dalam mimpi-mimpiku menjelang fajar.”
Tapi si anak lanang mencoba tetap bertahan menjadi manusia kota bersama istri dan empat anaknya. Di kota hidupnya pas-pasan, sering ngutang sana-sini untuk biaya hidup sehari-hari. Empat anaknya kurus-kurus, namun ia membanggakannya, karena mereka anak yang manis-manis. Tetapi, permintaan ayahnya agar ia pulang, selalu mengganggu batinnya. “Aku sudah terlalu rindu pada cucu-cucuku, dan aku sudah terlalu rindu pada pelayanan menantuku. Aku sudah tua dan tidak berguna lagi anakku. Pulanglah,” pinta si ayah dalam suratnya.
Pulang kampung sering menjadi kerinduan tak tertahankan, tapi juga dilema ketika sekian pekerjaan belum terselesaikan. Pulang menjadi sebuah kesibukan tersendiri dengan persoalan-persoalan besar yang menyertainya. Namun pulang selalu menjadi pilihan untuk keluar dari kegelisahan yang tidak menentu.
Ketika bom meledak di Kuta dan pariwisata terguncang, banyak sopir taksi, pemandu wisata, yang memilih pulang kampung, hidup, makan, dari hasil desa. Tak ada lagi yang bisa mereka lakukan di kota untuk menyambung hidup. Desa kini menjadi tumpuan buat bertahan untuk bisa makan. Mereka yang mencoba tetap mengais rezeki dari belas kasih turisme di Kuta, Sanur, Jimbaran, Nusa Dua, Legian, tak sepenuhnya sependapat dengan mereka yang pulang kampung. Yang pulang itu mereka nilai terlalu gampang menyerah. Beberapa di antara mereka berpendapat, orang Bali memang bukan perantau ulung. Sedikit saja menghadapi kesulitan mereka buru-buru balik pulang.
Banyak juga yang menentang pendapat itu, karena di Lampung, di Sulawesi, Papua, atau Kalimantan, banyak perantau Bali yang hidup sukses sebagai transmigran. Mereka menjadi kuat dan mapan karena kesanggupan menyelesaikan persoalan-persoalan hidup di negeri orang. Jika kemudian mereka ke Bali, itu tamasya pulang pertanda tidak lupa pada tanah leluhur.
Namun, banyak kisah bisa ditelusuri tentang orangtua yang menginginkan anaknya pulang kampung.
Banyak orang Bali yang tidak berniat agar anak-anak mereka hidup seterusnya sampai mati di negeri orang. Mereka ingin keturunan mereka biar mati di Bali saja. Di negeri rantau cuma buat mencari pengalaman dan penghidupan, selebihnya mereka berkeinginan menghabiskan hari tua di tanah kelahiran, di kampung. Maka menjadi ganjil, pasti ada yang tidak beres, jika ada orang Bali yang menolak kerabat mereka pulang ke Bali.
Banyak anak muda Bali menjadikan bekerja di kapal pesiar sebagai cita-cita canggih kunci merengkuh sukses.
Kapal pesiar pun menjadi sebuah sihir yang menyulap hidup seseorang. Dari terlunta-lunta menjadi orang berpunya. Dulu naik ojek, sekarang naik mobil. Dulu potong rambut di tukang cukur, kini di salon. Kapal pesiar telah mengubah gelora hidup anak-anak muda Bali.
Puluhan ribu pekerja migran yang pulang gara-gara wabah Covid-19 menyadarkan banyak orang, anak muda Bali pergi jauh mencari nafkah, sementara tanah mereka yang subur dan berlimpah rezeki ‘dikuasai’ pekerja pendatang. Mengapa pekerja migran betah di negeri orang sementara orang lain nyaman di Bali? Mengapa pekerja Bali yang berkelana menjelajah lautan dan benua tega mencampakkan rezeki di negeri sendiri, dan tak peduli rezeki itu diambil dengan begitu mudah oleh pekerja lain?
Seorang pensiunan guru mengaku bersyukur wabah Covid-19 memberi hikmah. Seorang putranya bekerja di kapal pesiar, tak pernah sudi berhenti menjadi pekerja migran kendati sang ayah sudah berulangkali memintanya. “Pulanglah, cukupkan sebegitu berkelana,” pinta pensiunan itu. “Tabunganmu hasil membanting tulang bekerja di kapal sudah cukup buat modal usaha di darat, sebelum ludes buat bersenang-senang.”
Pensiunan guru itu juga meminta teman-teman anaknya pulang membangun usaha di Bali, namun tak seorang pun sudi. Mereka betah bekerja sambil melanglang buana.
“Banyak pengalaman saya peroleh,” komentar si anak. Tapi ia tak pernah menjelaskan pengalaman apa saja itu, kecuali melayani bule-bule cantik, selfi bersama kaum pesohor dan selebritis yang menjadikan hidup untuk bergelimang kemewahan. Dan si anak perlahan-lahan meniru kemewahan itu dengan membelanjakan uang di negeri-negeri yang ia singgahi.
Wabah akhirnya memaksa puluhan ribu pekerja migran Bali pulang kampung bersama sekian persoalan pilu yang mereka hadapi: dicurigai menularkan virus serta penolakan dan pengusiran sebelum diisolasi. Pensiunan guru itu cuma punya satu keinginan, agar putranya dan teman-temannya tetap di bumi sendiri, ikut bersaing memperebutkan rezeki melimpah bersama pekerja-pekerja lain. Seperti dalam cerpen ‘Sebuah Rumah Tua’ yang diakhiri oleh Rasta Sindhu dengan rencana si anak memenuhi permintaan sang ayah untuk pulang kampung. *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar