Tanpa Tujuan Jelas
Wayan Kantun dan Putu Malih bersobat karib sejak remaja. Mereka satu SMP di Denpasar, kuliah sama-sama di Bali, dan bekerja juga di Bali.
Kantun dari Desa Gelgel, Klungkung, dan Malih dari Desa Blahkiuh, Badung. Biar keren, Putu Malih menambah ‘ana’ di belakang namanya, menjadi Malihana. Tapi Kantun, memang tetap Kantun.
“Aku ini Kantun asli, kalau kamu Malih kw, gak murni, aspal, asli tapi palsu,” komentar Kantun pada sobatnya. Malih tidak marah dibilang pakai nama kw yang artinya tiruan, nama aspal, justru ia tertawa berderai. Dia suka sama Kantun karena Kantun itu lucu. Tapi, lucunya kalau diajak ngobrol-ngobrol nongkrong.
Kalau melucu beneran ia gagal total. Pernah, ketika mahasiswa Kantun mewakili kampusnya dalam lomba lawak, justru ia gagal melucu, disoraki penonton dan disuruh turun panggung.
“Sudahlah, kamu gak punya bakat jadi pelawak,” saran Malih. “Melucu aja buat kami, teman-temanmu.” “Ternyata lucu itu serius,” kata Kantun mengomentari kekalahannya.
Selepas mahasiswa dua sobat itu jadi pegawai negeri. Kantun di Dinas Perkebunan dan Malih di Dinas Perdagangan, masih satu kota, di Denpasar. Jika ada pameran pembangunan 17 Agustus di alun-alun, mereka pasti bersua, bertugas menjaga stand. Bilik pameran mereka sering berdampingan. Jam-jam tertentu mereka suka pergi ke dagang sate babi di bawah pohon akasia di sudut alun-alun. Yang mereka cari sesungguhnya sate penyu, dan pedagang bilang menjual sate penyu. Ternyata kemudian Kantun dan Malih tahu itu sate babi, cuma bumbunya buat sate penyu.
“Ndas bedag, ditipu kita,” teriak Malih. “Tega benar menipu abdi negara macam kita. Besar dosanya mengolok-olok pengabdi bangsa.” “Sudahlah, gak apa-apa, yang penting enak. Anggap saja kita makan sate penyu,” hibur Kantun.
Sampai beranak pinak, punya cucu, pensiun, Kantun dan Malih tetap bersahabat. Tempat tinggal mereka tidak jauh, di rumah mungil di perkampungan Monang-maning. Mencicil rumah murah itu pun, mereka sama-sama. Kantun kebagian di ujung barat perkampungan, Malih di timur. Mereka tutup telinga, dulu, ketika banyak rekan-rekan menertawakan mereka menempati rumah kecil mungil seperti kandang burung dara. “Sudah, jangan pedulikan omongan mereka, yang penting ini rumah sehat dan kita cicil dari jerih payah, bukan dari uang korupsi,” ujar Kantun membesarkan hati mereka berdua.
Dan di rumah perkampungan di tengah kota paling padat dan terluas di Denpasar itulah, dua sobat itu mengasuh keluarga mereka. Sekarang, setelah dua tahun pensiun, mereka punya banyak waktu untuk menikmati hari tua. Mereka sudah bercucu, dan masih sering saling mengunjungi. Sejak pensiun mereka senang pergi ke Sanur, joging dari Pantai Sindhu sampai jauh ke Semawang di selatan, bolak-balik. Kadang mereka ke Pantai Mertasari, jalan ke utara sampai di Pantai Karang. Setidaknya tiga atau empat hari sekali mereka jalan-jalan menelusuri pantai.
Di Pantai Sindhu mereka membeli lawar penyu yang dijual seorang ibu pedagang asongan dari Desa Ketewel. Tapi, sejak wabah Covid-19 melanda, mereka dilarang berjalan-jalan di sepanjang pantai, dilarang berjemur, mandi apalagi. Seorang petugas mendatangi Kantun dan Malih suatu pagi tengah mereka asyik duduk-duduk di atas pasir.
“Mulai hari ini, untuk menekan penyebaran virus corona, siapa pun yang tanpa tujuan jelas dilarang di pantai, Pak,” ujar petugas yang mengenakan destar dan berkain hitam. Kantun terperanjat mendengar larangan itu. “Kami ke sini bukan tanpa tujuan jelas pak.”
“Memangnya apa tujuan bapak berdua ke mari?” “Ya seperti yang bapak lihat, kami ke sini berolahraga jalan kaki, berjemur, sebentar lagi mandi, lalu makan lawar penyu. Tujuan akhirnya juga sangat jelas, agar kami sehat.”
“Nah, itu termasuk tujuan yang tidak jelas pak.”
“Lalu, seperti apa tujuan yang jelas?” “Misalnya nelayan, tujuannya jelas mencari ikan. Atau mereka yang hendak melakukan upacara seperti mebayuh, pembersihan atau penyucian diri di laut, itu jelas. Kalau yang itu kami izinkan.”
Kantun berniat menjawab dan mendebat pernyataan petugas itu, tapi Malih menarik tangannya menjauh, menghindarkan diri dari perdebatan sengit. Mereka pulang dengan sedih dan kecewa, karena berolahraga jalan kaki di pantai biar sehat, dianggap kegiatan yang tidak jelas.
Menurut Kantun, sesungguhnya tidak ada kegiatan dengan tujuan tidak jelas. “Semua aktivitas punya tujuan jelas,” ujarnya pada Malih setiba di rumah. “Coba kamu kasih contoh kegiatan yang tanpa tujuan jelas.”
“Misalnya kegiatan pensiunan kayak kita, kan sering ke luar cari angin, jalan-jalan, melali keliling-keliling, itu kan dianggap tidak jelas.” “Lho, itu jelas. Melali itu, jalan-jalan, itu tujuan. Bukan tanpa tujuan. Jika aku berkunjung ke rumahmu, cuma ngobrol, kan tujuannya jelas. Cari angin dolan itu jelas kok, biar gak sumpek.”
“Jadi, kalau pemerintah melarang rakyatnya bepergian tanpa tujuan jelas, itu salah dong ya. Karena semua kegiatan pasti punya tujuan jelas. Sesungguhnya kegiatan tidak jelas itu tidak ada,” sahut Malih manggut-manggut.
“Hanya mereka yang bingung tega menuduh tindakan orang lain itu tidak jelas. Kecuali satu, orang gila. Nak buduh itu tak pernah punya tujuan jelas. Makanya orang gila itu kerjanya cuma mondar-mandir.” *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar