Elitisme Pendidikan Di Masa Pandemi
Kebijakan belajar dari dari rumah yang dikumandangkan oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan selama masa pandemi merupakan langkah preventif untuk untuk menekan penyebaran covid-19.
Penulis : I Kadek Darsika Aryanta
Guru Fisika Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum
Konsekuensi dari belajar dari rumah ini adalah siswa harus melaksanakan pembelajaran secara daring. Tentu saja pembelajaran secara daring membutuhkan konektivitas dan juga perangkat yang mumpuni sehingga siswa mampu belajar daring. Perlu disadari bahwa tidak semua siswa mampu melaksanakan pembelajaran dengan daring karena keterbatasan dari gawai dan juga paket data yang harus mereka tanggung untuk bisa mengikuti pembelajaran secara daring. Pendidikan daring terkesan hanya dimiliki oleh siswa dari kalangan elit saja. Siswa dengan kemampuan finansial rendah terpaksa harus gigit jari akibat besarnya biaya pendididikan.
Pendidikan dalam jaringan merupakan pola pendidikan transisi yang baru berkembang masif dimasa pandemi ini. Adanya elitisme pendidikan pada masa pandemi ini merupakan pekerjaan rumah kita bersama untuk mengubah elitisme ini dari transisi-naif menuju transisi kritis yang harus terus dikembangkan oleh guru dan peserta didik dalam rangka membangunkan kembali kesadaran marwah pendidikan di Indonesia dan di Bali pada khususnya.
Pembelajaran secara daring tidak sedikit memerlukan biaya. Modal utama yang harus dimiliki oleh siswa adalah gawai dan juga paket data. Tidak semua siswa mempunyai gawai dan pakat data dalam pembelajaran. Pembelajaran secara daring ini hanya diikuti oleh kaum elit saja. Elitisme ini tentu saja menjadi permasalahan tersendiri yang harus diselesaikan oleh kita semua agar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa tercapai.
Pendidikan tidak hanya bagi kaum elit saja tetapi pendidikan seharusnya bisa merata bagi seluruh seluruh aspek masyarakat. Untuk itu pemerintah daerah dan pusat agar memperhatikan siswa yang tidak memiliki gawai atau perangkat dalam rangka mendukung pembelajaran dalam jaringan. Pemerintah hendaknya tidak menyamaratakan bantuan kepada seluruh siswa tetapi memberikan skala prioritas sebagai siswa yang benar-benar membutuhkan. Aspek yang harus dicermati adalah memberikan perangkat kepada siswa untuk mendukung pembelajaran daring. Siswa yang tergolong mampu atau pun sudah memiliki gawai cukup diberikan pulsa untuk membeli paket data. Namun bagi siswa yang tidak memiliki gawai diharapkan pemerintah dapat membantu mereka agar pembelajaran secara daring bisa menjadi lebih lancar lagi.
Dari segi aspek pendidik, guru juga harus memperhatikan aspek keadaan ekonomi siswa. Guru tidak serta merta memaksakan kehendaknya untuk menggunakan pembelajaran daring dengan satu platform tertentu. Misalkan dengan video conference yang menggunakan paket data yang cukup besar. Jangan sampai guru memperkosa hak-hak dari siswa agar mengikuti apa yang mereka inginkan. Walaupun guru tersebut sangat inovatif dan juga mampu untuk melaksanakan pembelajaran daring secara mumpuni tapi dari segi aspek siswa belum tentu bisa mereka mengikuti karena keterbatasan gawai dan paket data.
Pembelajaran secara daring ini tentu saja merupakan pembelajaran bagi kita semua bahwa memang teknologi informasi dan komunikasi memang sangat penting dalam dunia pendidikan tidak hanya pada aspek peralatan tetapi bagaimana aspek penguasaan dan pemahaman guru terhadap TIK. Jangan sampai guru menjadi gagap teknologi dan menguasai hanya satu metode saja dalam pembelajaran TIK sehingga guru memaksakan kehendak untuk pembelajaran kepada siswa dengan metode itu-itu saja. Belum tentu siswa bisa melaksanakan pembelajaran apa yang sesuai dengan guru harapkan karena memang keterbatasan dari siswa. Permasalahan ini tentu saja menjadi permasalahan kita bersama bagaimana mewujudkan pendidikan yang berkeadilan bukan menjadi kapitalisme yang licik.
Disparitas akses merupakan salah satu faktor penyebab pendidikan berkeadilan menjadi tidak berjalan. Disparitas ini memunculkan hegemoni elitisme siswa-siswa yang berasal dari golongan menengah ke atas. Sementara bagi siswa yang berada dalam golongan menengah ke bawah harus menjadi penonton setia pembelajaran daring. Disparitas antara anak-anak elit dan menengah ke bawah merupakan salah satu faktor yang harus kita tangani bersama.
Pandemi Covid-19 dikawatirkan akan berpengaruh besar pada tumbuh kembang dan kemajuan anak-anak di sekolah terutama mereka yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Tantangan terbesar dari belajar dari rumah adalah keterbatasan fasilitas para siswa dalam mengakses internet dan pilihan pembelajaran alternatif secara offline. Anak di pedesaan yang memiliki komputer atau laptop dan sambungan internet di rumahnya hanya kurang dari 15% saja sementara di wilayah perkotaan pun hanya 25% anak yang memiliki komputer ataupun laptop dengan sambungan Internet.
Metode pembelajaran daring memerlukan biaya yang tidak sedikit. Mereka harus memiliki perangkat untuk mengakses konten pembelajaran. Hambatan implementasi sekolah dari yang terbesar ada pada jenjang SD. karakteristik pembelajaran SD lebih beragam bahkan sebagian besar siswa SD berasal dari kalangan kelas menengah ke bawah. Situasi ini tentu tidak mungkin untuk memaksa mereka memiliki ponsel ataupun laptop.
Pada sisi yang berbeda, guru tidak dibekali dengan perangkat pembelajaran yang mendukung sistem pembelajaran daring. Perangkat tersebut misalkan modul yang belum disiapkan secara matang. Sebagian besar guru hingga saat ini masih mengandalkan lembar kerja siswa sebagai bahan ajar di sekolah. Alhasil ketika siswa harus belajar dari rumah dengan modal LKS apakah siswa dapat memahami materi secara maksimal?.
Siswa kelas ekonomi menengah ke atas akan sangat mudah menyesuaikan kondisi ini karena memang siswa dapat mengakses bahan belajar dari internet atau memilih ikut belajar bimbingan belajar secara daring. Bagi orang tua yang berpendidikan tinggi mereka akan sangat mudah menyesuaikan karena memang mereka mempunyai alat dan juga fasilitas yang memada. Ini tentu sangat bertolak belakang dengan siswa kelas ekonomi menengah ke bawah di mana penghasilan orang tua mereka sangat terbatas. Tentu saja kondisi ini sangat tidak ramah bagi mereka. inilah yang dinamakan elitisme dari pendidikan. Dimana pendidikan memposisikan semua siswa tersebut adalah sama.
Semua siswa dianggap memiliki ponsel, laptop, buku, dan lain sebagainya. Padahal sejatinya akses tersebut hanya dimiliki oleh siswa kelas atas atau kelas elit saja.
Elitisme dalam dunia pendidikan seharusnya bisa menjadi cambuk kita bersama antara guru dan pemerintah bagaimana harus memberikan suatu layanan pendidikan yang adil dan merata yang sesuai dengan proporsi dan kemampuan siswa. Jangan sampai guru memaksakan kehendak untuk mengajar seluruh siswa dengan metode yang sama. Variasi pengeajaran dengan teknologi atau platform yang berbeda bisa menjadi alternatif bagi guru untuk menjamah siswa yang masih gagap dengan teknologi dan terbatas akan ketersiaaan gawai.
Pada masa pandemi ini sudah saatnya kita sebagai guru untuk terus merefleksi bagaimana pembelajaran kita ini diarahkan pada pengembangan kompetensi bukan kepada ranah-ranah rutinitas mengerjakan tugas administratif. Biarkanlah guru berproses mengembangkan kreativitasnya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Pada masa pandemi ini pembelajaran dengan metode belajar jarak jauh perlu dirumuskan ulang sehingga bisa menjadi satu alternatif yang berkeadilan bagi seluruh siswa tidak hanya berasal dari kaum elit saja.*
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar