Etika Berbisnis Pariwisata
Sektor pariwisata dijadikan andalan sumber devisa oleh Pemerintah Bali. Karena, Bali tidak memiliki sumber daya alam, seperti Kalimantan atau Papua.
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Namun demikian, bisnis di bidang pariwisata budaya seharusnya memperhatikan etika. Secara teoritis, etika bermanfaat untuk membantu dalam menilai suatu keputusan etis. Etika juga berfungsi menyediakan kerangka pikir untuk memastikan baik suatu keputusan diambil. Suatu tindakan dikatakan baik bukan karena akibat atau tujuannya. Baik buruknya didasarkan atas tindakan itu sendiri. Masalah yang dapat muncul ketika krama Bali dihadapkan pada dua pilihan. Misalnya, kebutuhan akan listrik yang mendesak dengan kewajiban moral untuk melindungi kawasan suci? Keduanya sama pentingnya. Lalu, bagaimana tindakan yang baik, ketika krama Bali dihadapkan pada kewajiban moral dan kebutuhan ekonomi dalam situasi yang sama?
Saat ini, situasi dilematis sedang dialami oleh krama Bali dalam hal reklamasi Teluk Benoa. Situasi demikian mengharuskan krama Bali melakukan pilihan tindakan yang baik. Apa sebaiknya krama Bali menggunakan prinsip prima facie yang dikemukakan oleh WD Ross (1994). Prinsipnya, kewajiban melestarikan tanah leluhur harus selalu diutamakan. Sehingga, situasi khusus yang bertentangan dengan kewajiban tersebut harus dimarginalkan?
Lain Ross, lain pula Kant! Hukum moral Immanuel Kant menyatakan bahwa bertindaklah berdasarkan bhisama (perintah) yang diyakini, apabila tindakan tersebut mewujudkan sebuah hukum universal. Atau, perlakukan manusia sebagai tujuan, bukan sebagai alat. Masalahnya, mengukur baik atau buruk tindakan berdasarkan atas tujuan bersifat situasional dan subjektif.
Etika dalam berbisnis di bidang pariwisata dapat ditelusur ke belakang dari krisis bisnis Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Krisis terjadi dikarenakan adanya skandal bisnis dengan menyuap politisi, seperti Watergate dan Lockheed Affair. Mengapa bisnis pariwisata budaya Bali harus beretika? Alasannya, proses dan produk pariwisata budaya harus baik bagi parahyangan, pawongan, dan palemahan Bali. Karenanya, manajemen bisnis pariwisata harus berkualitas etis (cf.Richard de George dalam Bertens, 2000). Menurut de George, bisnis yang baik dan benar harus mengindahkan indikator moral, sosial, ekonomi, dan hukum. Oleh karenanya, bisnis pariwisata budaya harus dapat menghasilkan kesejahteraan skala dan niskala bagi krama Bali. Sedangkan, kepatuhan terhadap hukum positif dan alam harus juga diupayakan, agar proses berbisnis pariwisata budaya berkeadilan sosial. Dari aspek moralnya, bisnis pariwisata harus memperhatikan nurani kebalian asali, bukan asal-asalan. Krama Bali dapat belajar dari kasus Gang Dolly yang amat
kompleks dan pelik. Saat itu, terdapat empat kelompok pemikiran yang berkembang, yaitu, Pemkot Surabaya, warga pro-penutupan, warga anti-penutupan, dan penghuni Gang Dolly. Dengan argumentasi tepat dan baik yang menunjang keputusan etis, moral, dan hukum, maka akhirnya kasus Gang Dolly dituntaskan dengan baik. Belajar dari kasus tersebut, apakah tidak sebaiknya berbagai elite di Bali, seperti pemerintah, partai politik, tokoh agama, dan tokoh masyarakat duduk bareng dengan persepsi yang sama? Sehingga, berbagai sandungan terhadap pembangunan pariwisata budaya dapat diatasi dengan baik.
Dewasa ini, pengelola kepariwisataan telah cukup intensif mengeksplorasi keindahan alam, menjual keunikan budaya atau mengeksploitasi tanah leluhur. Dengan upaya bisnis demikian, devisa cukup banyak mengalir. Keuntungan pariwisata budaya Bali telah banyak diraup oleh pengelola. Tetapi, kebermanfaatan untuk kesejahteraaan skala dan niskala krama Bali masih relatif rendah. Bisnis pariwisata budaya Bali telah banyak melakukan agresi terhadap alam Bali yang asri dan tenang. Krama Bali telah banyak terjangkit penyakit sosial dan terlibat dalam penggunaan narkoba, pertikaian, pencurian, pelacuran, kekerasan, dan pelecehan seksual. Menyimak itu semua, seharusnya pengelola pariwisata budaya Bali lebih arif dalam mengemas dan memasarkan objek wisata kepada para wisataan. Penekanan pada keuntungan (profit) semata tanpa mengindahkan kebermanfaatan (benefits) merupakan eksploitasi gumi Bali secara sewenang-wenang. Kita semua akan merasa prihatin apabila dampak negatif menyusup ke sel-sel ruang, waktu dan patrum Bali. *
Komentar