Setra Masuk Kawasan Suci Pura, Ngaben Harus Dilaksanakan di Pantai
Upacara ngaben bagi krama Desa Pakraman Kedungu juga tanpa ritual ngangkid, melainkan simbolisasi menggunakan daksina, lantaran posisi setra berdampingan dengan Pura Bale Agung, pura Puseh, Pura Dalem, dan Pura Prajapati
Keunikan Upacara Ngaben yang Dilaksanakan Krama Desa Pakraman Kedungu, Kecamatan Kediri
TABANAN, NusaBali
Upacara Pitra Yadnya seperti ngaben bagi krama Bali (umat Hindu) umumnya dilakukan di setra (kuburan). Namun, lain lagi dengan pengabenan yang dilakukan krama Desa Pakraman Kedungu, Desa Bebalang, Kecamatan Kediri, Tabanan. Krama setempat pantang melaksanakan prosesi ngaben di setra. Mereka secara turun temurun melakukan upacara ngaben di tepi pantai. Kenapa?
Menurut Bendesa Pakraman Kedungu, I Made Sirna, 58, pantangan upacara ngaben di setra ini dilakukan karena petimbangan radius kesucian pura. Masalahnya, Setra Desa Pakraman Kedungu posisinya berada di areal Pura Kahyangan Tiga. Karenanya, setra termasuk dalam radius kawasan suci pura.
Pura Kahyangan Tiga yang berdampingan dengan Setra Desa Pakraman Kedungu terse-but masing-masing Pura Bale Agung, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Posisi Pura Bale Agung dan Pura Puseh berada sekitar 50 meter arah barat dari Setra Desa Pakraman Kedungu. Sedangkan Pura Dalem berada sekitar 7 meter sebelah barat Setra Desa Pakraman Kedungu. Sementara, Pura Prajapati berada hanya sekitar 1 meter di sebelah timur setra.
Made Sirna mengatakan, jika prosesi ngaben dilaksanakan di areal setra, otomatis ke-sucian Pura Kahyangan Tiga akan ternodai. Sebab, manakala dilakukan ritual pembakaran jenazah, abunya bisa beterbangan masuk ke pura. "Kami memang sudah mewarisi dari dulu seperti ini. Jika melaksanakan upacara ngaben, prosesinya dilakukan Pantai Kedungu," jelas Made Sirna saat ditemui NusaBali di kediamannya di Desa Bebalang, Senin (12/9).
Ngaben di pantai ini berlaku bagi tiga banjar adat yang berada di wewidangan Desa Pakraman Kedungu, masing-masing Banjar Kedungu, Banjar Dauh Rurung, dan Banjar Jelinjing. Karena pantangan melaksanakan upacara ngaben di Setra Desa Pakraman Kedu-ngu, maka rentetan prosesi pengabenan di desa ini juga beda dari desa-desa adat lainnya di Bali. Namun, urutan prosesi ritualnya tetap sama.
Menurut Made Sirna, krama Desa Pakraman Kedungu tidak melaksanakan prosesi ritual ngangkid atau ngedetin jenazah (membongkar mayat) di setra dalam pengabenan. Tapi, prosesi ngangkid ini disimboliskan berupa daksina. Hal ini dilakukan karena berdasarkan cerita yang diwarisi dari panglinsir desa secara turun temurun, akibatnya bisa fatal jika pantangan ini dilanggar. “Kalau sampai melakukan ritual ngangkid di setra, bisa me-nimbulkan suatu penyakit," papar Made Sirna.
Sedangkan rentetan prosesi ritual untuk keseluruhan ngaben di Desa Pakraman Kedungu, kata Made Sirna, tak jauh beda dari desa-desa lainnya di Bali. Pertama, diawali dengan prosesi ritual ngungkab lawang. Kedua, dilakukan upacara ngulapin. Ketiga, dilakukan prosesi ritual ngangkid/ngedetin jenazah di setra yang oleh krama Desa Pakraman Kedungu disimolosasikan dengan daksina. Keempat, prosesi ritual ngunggahang lawang (menaikan simbolis) di Bale Bangsal, yang biasanya sudah disiapkan berupa bangunan non permanen dari bambu. Kelima, hari H pengabenan.
"Setelah ngunggahang lawang, kami menunggu hari baik yang sudah dijadwalkan. Selanjutnya, simbolis (daksina) tersebut dibakar di pinggir Pantai Kedunggu yang luasnya sekitar 8 are saat puncak upacara," jelas tokoh adat yang sudah 3 tahun menjadi Bendesa Pakraman Kedungu ini.
Made Sirna memaparkan, jika ada krama yang meninggal langsung dibuatkan upacara pengabenan, prosesi ritual juga tidak boleh dilaksanakan di Setra Desa Pakraman Kedungu, melainkan di tepi Pantai Kedungu. Apalagi, ini pembakaran jenazah secara lansgung, tidak menggunakan simbolis daksina, sehingga abunya dikhawatirkan beterbangan ke areal pura jika dilakukan di setra.
Upacara ngaben dilaksanakan Desa Pakraman Kedungu digelar setiap 5 tahun sekali. Namun, jika ada krama yang ingin melaksanakan ngaben sendirian di luar jadwal, juga dibolehkan. Sifatnya fleksibel, sesuai dengan kemampuan krama setempat.
Menurut Made Sirna, upacara ngaben lima tahunan ini biasanya dilaksanakan seusai karya agung skala besar di Pura Besakih, Desa Pakraman Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem. Meski demikian, kata Made Sirna, jika kondisi setra sudah penuh (mayat orang meninggal), upacara ngaben bisa saja diajukan 4 tahun pasca pengabenan sebelumnya, tanpa harus menunggu 5 tahun.
Pengabenen oleh Desa Pakraman Kedungu ini digelar untuk mengurangi beban biaya bagi krama setempat. “Hanya saja, proses ngelinggihan Ida Batara menggunakan biaya sendiri. pihak desa hanya melengkapi yang kurang-kurang," tandas pensiunan PNS Pemkot Denpasar ini. * cr61
1
Komentar