Bangkit Kembali di Tengah Pandemi Covid-19
Tenun Pesalakan Mati Suri Selama 25 Tahun
Bersama Wayan Klemik, ada 11 perempuan muda lain terdampak Covid-19 yang baru mengawali belajar menenun. Sama seperti dulu, menenun untuk mengisi waktu ketika dirumahkan.
GIANYAR, NusaBali
Pandemi Covid-19 telah membuat sektor pariwisata lesu. Banyak pekerja pariwisata yang dirumahkan, bahkan tak sedikit yang sampai kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Selama dirumahkan, cukup banyak pekerja pariwisata yang beralih profesi. Menjual makanan, kue, hingga layangan sesuai situasi kondisi dan permintaan pasar.
Sejumlah pekerja pariwisata asal Banjar Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, yang dirumahkan, memilih untuk menenun. Alat tenun yang awalnya tersimpan rapi, bahkan saking rapinya menjadi santapan rayap mulai diturunkan. Alat tenun yang eksis di era 90an itu mulanya dibersihkan. Bagian-bagian yang rusak diperbaharui, sedangkan alat yang masih awet dipergunakan kembali. Bahkan, ada satu set alat tenun milik Ni Wayan Klemik,65, masih awet masih bisa digunakan saat ini. Salah satunya plangkan atau dipan khusus untuk tempat menenun.
Menurut Ni Wayan Klemik, aktivitas tenun di Banjar Pesalakan mulai eksis sejak tahun 1973. Seingatnya, saat itu usianya sekitar 18 tahun. Wayan Klemik mulai belajar nenun secara otodidak dari pendahulunya. Saat itu menenun menjadi ciri ada aktivitas di suatu rumah. Disebut demikian, karena aktivitas ini memiliki suara khas kletekan kayu yang terdengar cukup keras antar tetangga. Apalagi zaman dulu, belum ada tembok panyengker yang permanen dan tinggi seperti zaman kekinian. “Dulu suara-suara yang muncul dari alat tenun menjadi hiburan tersendiri. Mengisi waktu luang setelah bertani di sawah,” ujar Wayan Klemik.
Hal itu dilakoni selama puluhan tahun, hingga kini Wayan Klemik bisa merasakan kembali suasana menenun tempo dulu. Dia pun masih hafal bagaimana menata benang-benang halus mengikuti pola, hingga terwujud selembar kain bermotif. Bersama Wayan Klemik, ada 11 perempuan muda lain terdampak Covid-19 yang baru mengawali belajar menenun. Sama seperti dulu, menenun untuk mengisi waktu ketika dirumahkan. Total 12 orang ini membentuk kelompok tenun yang bermarkas di rumah Ni Putu Ratnawati,40. “Kebetulan ada tempat dan saya juga punya alat tenun warisan keluarga. Tempat ini biasanya saya gunakan untuk cooking class sebelum Covid-19, sekarang saya gunakan sebagai tempat menenun sama teman-teman,” jelasnya.
Karena agenda cooking class sepi, Putu Ratnawati yang bekerjasama dengan David Metcalf asal Selandia Baru ini tanpa sengaja berkeluh kesah. Dalam obrolan ringan menyikapi lesunya pariwisata inilah, Putu Ratnawati mengutarakan idenya untuk menurunkan alat tenun. Awalnya hanya untuk mengisi waktu luang. Tanpa diduga, David tertarik kemudian ikut mensuport dalam bentuk donasi. Sumbangan dari bule tersebut dimanfaatkan untuk memperbaharui alat tenun yang rusak serta membeli bahan baku berupa benang. Tak hanya itu, David juga menjadi perantara promosi kain tenun khas Pejeng Kangin ini ke luar negeri. Sehingga kini kelompok tenun ini tengah sibuk menyelesaikan pending order untuk di eksport atau dikirim ke Australia dan Kanada.
Penenun lain, Ni Wayan Suarni mengaku tertarik belajar tenun sejak dirumahkan dari tempatnya bekerja sebagai spa terapis di salah satu hotel. Perempuan 38 tahun itu pun menyampaikan beberapa tahapan dalam proses tenun. "Pertama ada ngulan, nganyinan, nusuk peserat, nyasah, nusuk buat motif yang panjangnya dua meter dan lebarnya 50 centimeter. Kalau selesainya 15 hari baru dapat satu kain. Dulu sempat belajar pas SMP, sekarang hanya mengingat-mengingat dan belajar motifnya saja," ujarnya. Sejak dirumahkan, Wayan Suarni pilih menghibur diri dengan aktifitas menenun. Di samping itu, kadang-kadang Wayan Suarni menerima spa terapi panggilan. “Supaya tetap produktif, meskipun cuti gak digaji,” ungkapnya.
Sementara itu, Kelian Dusun Banjar Pesalakan, Desa Pejeng Kangin Made Astawa menjelaskan aktivitas menenun ini mulai bangkit sejak 12 Mei 2020. “Waktu itu beberapa warga memilih belajar tenun karena bingung selama dirumahkan mengambil pekerjaan apa,” ujar Made Astawa yang guide freelance ini.
Dia menyampaikan tenun di Banjar Pesalakan itu sempat jaya di era Presiden RI Soeharto. Bahkan, putri Presiden RI ke-2, Siti Hardijanti Rukmana alias Bu Tutut pernah berkunjung dan menggelontor bantuan dana Rp 2,5 juta kala itu. Hanya saja, seiring berkembangnya sektor pariwisata, aktivitas menenun perlahan mulai ditinggalkan. “Kaum muda-mudi lebih tertarik bekerja di sektor pariwisata, sehingga tenun ini sempat ditinggalkan,” kenangnya. Ada yang bekerja di hotel, restauran, hingga guide dan sopir.
"Kalau saya hitung kira-kira ada 25 tahun mati suri, karena para perajin beralih ke dunia pariwisata secara langsung. Memang ada yang masih menjalankan tapi satu dua orang saja sebagai pekerjaan sampingan, seperti ibu Wayan Klemik," paparnya.
Melihat respon pasar cukup menjanjikan terhadap kebangkitan kearifan lokal Bali ini, Made Astawa berencana membentuk kelompok tenun kedua. “Sedang dibuka pendaftaran kloter kedua, peminatnya sekitar 30 orang. Mereka akan belajar dari nol,” jelasnya.
Dijelaskan pula, permintaan tenun saat ini telah bergeser untuk kepentingan interior. Semacam untuk hiasan meja, hiasan dinding, dan sejenisnya. "Kalau dulu para perajin membuat kamben, destar, dan saput. Sementara sekarang sesuai permintaan, bisa digunakan senteng, taplak meja, serta perhiasan kamar sesuai kebutuhan,” imbuhnya.
Melihat tingginya permintaan kain tenun untuk interior ini, Made Astawa memperkirakan penghasilan kelompok tenun saat ini bisa mencapai Rp 5 juta per bulan. Dengan demikian ia berharap warga yang lain mampu berinovasi kembali dalam mengembangkan tenun ciri khas Pejeng Kangin tersebut di tengah pandemi. “Tanpa harus menunggu bantuan sembako yang akan didapatkan, membuat inovasi di tengah pandemi dirasakannya lebih bagus,” jelasnya.*nvi
Pandemi Covid-19 telah membuat sektor pariwisata lesu. Banyak pekerja pariwisata yang dirumahkan, bahkan tak sedikit yang sampai kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Selama dirumahkan, cukup banyak pekerja pariwisata yang beralih profesi. Menjual makanan, kue, hingga layangan sesuai situasi kondisi dan permintaan pasar.
Sejumlah pekerja pariwisata asal Banjar Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, yang dirumahkan, memilih untuk menenun. Alat tenun yang awalnya tersimpan rapi, bahkan saking rapinya menjadi santapan rayap mulai diturunkan. Alat tenun yang eksis di era 90an itu mulanya dibersihkan. Bagian-bagian yang rusak diperbaharui, sedangkan alat yang masih awet dipergunakan kembali. Bahkan, ada satu set alat tenun milik Ni Wayan Klemik,65, masih awet masih bisa digunakan saat ini. Salah satunya plangkan atau dipan khusus untuk tempat menenun.
Menurut Ni Wayan Klemik, aktivitas tenun di Banjar Pesalakan mulai eksis sejak tahun 1973. Seingatnya, saat itu usianya sekitar 18 tahun. Wayan Klemik mulai belajar nenun secara otodidak dari pendahulunya. Saat itu menenun menjadi ciri ada aktivitas di suatu rumah. Disebut demikian, karena aktivitas ini memiliki suara khas kletekan kayu yang terdengar cukup keras antar tetangga. Apalagi zaman dulu, belum ada tembok panyengker yang permanen dan tinggi seperti zaman kekinian. “Dulu suara-suara yang muncul dari alat tenun menjadi hiburan tersendiri. Mengisi waktu luang setelah bertani di sawah,” ujar Wayan Klemik.
Hal itu dilakoni selama puluhan tahun, hingga kini Wayan Klemik bisa merasakan kembali suasana menenun tempo dulu. Dia pun masih hafal bagaimana menata benang-benang halus mengikuti pola, hingga terwujud selembar kain bermotif. Bersama Wayan Klemik, ada 11 perempuan muda lain terdampak Covid-19 yang baru mengawali belajar menenun. Sama seperti dulu, menenun untuk mengisi waktu ketika dirumahkan. Total 12 orang ini membentuk kelompok tenun yang bermarkas di rumah Ni Putu Ratnawati,40. “Kebetulan ada tempat dan saya juga punya alat tenun warisan keluarga. Tempat ini biasanya saya gunakan untuk cooking class sebelum Covid-19, sekarang saya gunakan sebagai tempat menenun sama teman-teman,” jelasnya.
Karena agenda cooking class sepi, Putu Ratnawati yang bekerjasama dengan David Metcalf asal Selandia Baru ini tanpa sengaja berkeluh kesah. Dalam obrolan ringan menyikapi lesunya pariwisata inilah, Putu Ratnawati mengutarakan idenya untuk menurunkan alat tenun. Awalnya hanya untuk mengisi waktu luang. Tanpa diduga, David tertarik kemudian ikut mensuport dalam bentuk donasi. Sumbangan dari bule tersebut dimanfaatkan untuk memperbaharui alat tenun yang rusak serta membeli bahan baku berupa benang. Tak hanya itu, David juga menjadi perantara promosi kain tenun khas Pejeng Kangin ini ke luar negeri. Sehingga kini kelompok tenun ini tengah sibuk menyelesaikan pending order untuk di eksport atau dikirim ke Australia dan Kanada.
Penenun lain, Ni Wayan Suarni mengaku tertarik belajar tenun sejak dirumahkan dari tempatnya bekerja sebagai spa terapis di salah satu hotel. Perempuan 38 tahun itu pun menyampaikan beberapa tahapan dalam proses tenun. "Pertama ada ngulan, nganyinan, nusuk peserat, nyasah, nusuk buat motif yang panjangnya dua meter dan lebarnya 50 centimeter. Kalau selesainya 15 hari baru dapat satu kain. Dulu sempat belajar pas SMP, sekarang hanya mengingat-mengingat dan belajar motifnya saja," ujarnya. Sejak dirumahkan, Wayan Suarni pilih menghibur diri dengan aktifitas menenun. Di samping itu, kadang-kadang Wayan Suarni menerima spa terapi panggilan. “Supaya tetap produktif, meskipun cuti gak digaji,” ungkapnya.
Sementara itu, Kelian Dusun Banjar Pesalakan, Desa Pejeng Kangin Made Astawa menjelaskan aktivitas menenun ini mulai bangkit sejak 12 Mei 2020. “Waktu itu beberapa warga memilih belajar tenun karena bingung selama dirumahkan mengambil pekerjaan apa,” ujar Made Astawa yang guide freelance ini.
Dia menyampaikan tenun di Banjar Pesalakan itu sempat jaya di era Presiden RI Soeharto. Bahkan, putri Presiden RI ke-2, Siti Hardijanti Rukmana alias Bu Tutut pernah berkunjung dan menggelontor bantuan dana Rp 2,5 juta kala itu. Hanya saja, seiring berkembangnya sektor pariwisata, aktivitas menenun perlahan mulai ditinggalkan. “Kaum muda-mudi lebih tertarik bekerja di sektor pariwisata, sehingga tenun ini sempat ditinggalkan,” kenangnya. Ada yang bekerja di hotel, restauran, hingga guide dan sopir.
"Kalau saya hitung kira-kira ada 25 tahun mati suri, karena para perajin beralih ke dunia pariwisata secara langsung. Memang ada yang masih menjalankan tapi satu dua orang saja sebagai pekerjaan sampingan, seperti ibu Wayan Klemik," paparnya.
Melihat respon pasar cukup menjanjikan terhadap kebangkitan kearifan lokal Bali ini, Made Astawa berencana membentuk kelompok tenun kedua. “Sedang dibuka pendaftaran kloter kedua, peminatnya sekitar 30 orang. Mereka akan belajar dari nol,” jelasnya.
Dijelaskan pula, permintaan tenun saat ini telah bergeser untuk kepentingan interior. Semacam untuk hiasan meja, hiasan dinding, dan sejenisnya. "Kalau dulu para perajin membuat kamben, destar, dan saput. Sementara sekarang sesuai permintaan, bisa digunakan senteng, taplak meja, serta perhiasan kamar sesuai kebutuhan,” imbuhnya.
Melihat tingginya permintaan kain tenun untuk interior ini, Made Astawa memperkirakan penghasilan kelompok tenun saat ini bisa mencapai Rp 5 juta per bulan. Dengan demikian ia berharap warga yang lain mampu berinovasi kembali dalam mengembangkan tenun ciri khas Pejeng Kangin tersebut di tengah pandemi. “Tanpa harus menunggu bantuan sembako yang akan didapatkan, membuat inovasi di tengah pandemi dirasakannya lebih bagus,” jelasnya.*nvi
Komentar