Memaknai Pagerwesi Pada Masa Pandemi
Pandemi Covid-19 telah merubah tatanan norma kehidupan yang sudah berlangsung lama bahkan sejak tempo dulu. Kalau kita simak di berita baik media elektronik maupun online, hampir semua kebiasan kini mulai berubah.
Penulis : I Nyoman Sweta, S.Kom
ASN di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali
Mulai dari pendidikan, ekonomi, olahraga, bahkan kegiatan yang sakral sekalipun seperti beribadah di tempat ibadah juga mengalami penyesuaian sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk mengendalikan penyebaran kasus Covid-19.
Seperti dikutip dari situs Kompas.com, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi memutuskan peraturan yang mengimbau warganya shalat Jumat dan shalat berjemaah di masjid selain dua tempat suci, yakni Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah selama masa pandemi.
Hal serupa juga dengan umat nasrani, Vatikan menutup sementara semua gereja Katolik di seluruh Roma untuk membendung penyebaran virus Corona seperti dikutip dari situs Detik.com.
Demikian pula dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang membatasi umat untuk melakukan kegiatan upacara baik itu melasti, persembahyangan di Pura dan sebagainya.
Dan semua agama satu sikap dalam upaya mencegah penularan Covid-19 dengan memberi himbauan kepada umatnya untuk keselamatan dalam menjalankan ibadah tanpa mengurangi maknanya.
Fenomena ini terjadi hampir di sebagian besar negara dunia saat ini, dan tentu saja di negara kita Indonesia.
Kalau boleh dikatakan dunia sedikit kelabakan menghadapi pandemi covid-19. Hal ini bisa dimaklumi karena ini memang kejadian baru sehingga masih awam dalam menangkal atau Mengantisipasinya. Berbeda halnya dengan pandemic lainnya seperti demam berdarah, yang mungkin sudah terlebih dahulu diketahui metode preventifnya dengan menjaga kebersihan lingkungan, tidak membiarkan genangan air, dan fogging. Hingga saat ini semua pihak terus berupaya untuk meminimalisir resiko yang mungkin disebabkan oleh pandemic Covid-19.
Berbagai program yang direncanakan pemerintah untuk tahun anggaran 2020 mengalami sedikit perubahan untuk menangani covid-19. Melalui PerPres Nomor 72 Tahun 2020, pemerintah melakukan perubahan postur APBN Tahun Anggaran 2020 dengan memangkas anggaran di berbagai kementerian dan melakukan penyesuaian APBN dengan prioritas pemulihan stabilitas ekonomi nasional
Anggaran untuk menghadapi pandemi ini mencapai Rp 405,1 triliun. Dana itu diharapkan bisa menanggulangi dan mengurangi beban masyarakat yang terdampak COVID-19. Besarnya dana digunakan untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat, program perlindungan sosial (mencakup anggaran Kartu Prakerja, cadangan logistik sembako, dan subsidi listrik bagi pelanggan dengan 450 VA dan 900 VA), pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan dan pembiayaan dunia usaha khususnya terutama UMKM, serta antisipasi kebutuhan pokok, pemerintah mencadangankan Rp 25 triliun untuk pemenuhan kebutuhan pokok serta operasi pasar dan logistik. Semuanya bermuara untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Walapun begitu, imbas pandemi cukup besar. Khusus di Bali yang sangat bertumpu dari sektor pariwisata dan sektor pendukungnya, dampak itu sangat terasa. Seperti rilis yang dikeluarkan oleh BPS Provinsi Bali pada tanggal 1 Juli 2020, Wisatawan mancanegara (wisman) yang datang langsung ke Provinsi Bali pada Mei 2020 tercatat hanya 36 kunjungan. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada bulan yang sama, kunjungan wisman mengalami turun sebesar 99,99% (hampir 100%).
Sementara Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang bulan Mei 2020 tercatat sebesar 2,07 persen mengalami penurunan -49,49 poin dibandingkan tahun sebelumnya.
Penurunan tersebut tentu sangat berpengaruh pada sektor pendukungnya, sehingga bagi orang yang terlibat dalam industri pariwisata ini terasa sangat membebani.
Penurunan yang sangat tajam inidapat menjadi indikasi, bahwa akan cukup beresiko kalau perekonomian kita hanya bertumpu pada sektor industri tertentu saja kedepannya.
Berbeda halnya dengan bisnis proses dalam industri besar, terutama industri Teknologi Informasi mereka mempunyai yang namanya Disaster Recovery Plan (DRP). Merupakan strategi menghadapi berbagai bentuk bencana dan memastikan keberlangsungannya. Bahasa sederhana dari Disaster Recovery Plan adalah sedia payung sebelum hujan.
Berangkat dari pentingnya kesiap siagaan ada nilai kearifan lokal yang dapat dituai dari perayaan hari raya Pagerwesi. Setiap 6 bulan sekali (kalender Bali) warga di Bali (Hindu) merayakan hari Raya Pagerwesi yang merupakan salah satu rangkaian hari raya setelah Saraswati.
Sebagaimana telah disebutkan dalam lontar Sundarigama, Pagerwesi yang jatuh pada Budha Kliwon Shinta merupakan hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru diiringi oleh Dewata Nawa Sangga. Hal ini mengundang makna bahwa Hyang Premesti Guru adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai guru sejati. Makna yang lebih dalam terkandung pada kemahakuasaan Sanghyang Widhi sebagai pencipta, pemelihara, dan pemusnah, atau dikenal dengan Uttpti, Stiti, dan Pralina atau dalam aksara suci disebut: Ang, Ung, Mang.
Hari raya Pagerwesi dapat diartikan sebagai suatu pegangan hidup yang kuat bagaikan suatu pagar dari besi yang menjaga agar ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah digunakan dalam fungsi kesucian, dapat dipelihara, dan dijaga agar selalu menjadi pedoman bagi kehidupan umat manusia selamanya.
Kata kunci dari Pagerwesi yang dapat kita jadikan pedoman adalah Pagar atau memagari diri. Secara lebih luas pemagaran bisa kita jabarkan dan sesuaikan untuk menjaga kita dari hal-hal yang tidak dapat kita prediksi kedepannya. Nilai ini bersifat universal yang dapat dimaknai secara umum bagi siapapun.
Pagerwesi merupakan rangkaian setelah hari raya turunnya ilmu pengetahuan atau dikenal dengan Saraswati. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan merupakan hal sangat penting yang diwariskan oleh leluhur kita. Berkat ilmu pengetahuan teknologi berkembang sangat pesat dewasa ini yang sudah berada pada industri 4.0. Ilmu pengetahuan yang bagus bisa dijadikan pagar diri untuk menghadapi perubahan jaman dan kondisi yang bergerak sangat dinamis.
Dalam konteks virus Corona, kita harus melindungi diri dari penyebaran virus dengan selalu menggunakan masker, menjaga jarak, hindari keramaian dan mencuci tangan dengan bersih, serta mematuhi himbauan pemerintah terkait protokol kesehatan
Covid-19 telah mengakibatkan sebagaian besar orang kehilangan sumber pencaharian. Meskipun berbagai skema bantuan sudah diupayakan oleh pemerintah, bisa saja hal tersebut dirasa kurang atau bahkan tersebar secara tidak merata. Penting bagi kita untuk menyiapkan diri dari dengan mulai mengelola penghasilan yang kita miliki dengan bijaksana. Antisipasi terhadap kondisi yang tidak kita inginkan mulai harus diterapkan pada hal yang paling kecil sekalipun. Misalnya menyisihkan anggaran untuk bencana, walau kita tidak mengharapkan hal tersebut terjadi.
Pada masa pandemi Covid-19 ini, berdasarkan pengamatan toko-toko pertanian lumayan ramai dikunjungi sekarang. Untuk mengisi waktu yang luang selama Covid-19, masyarakat kini mulai menggeluti sektor pertanian baik dengan metode tanam dalam pot maupun hidroponik. Itu merupakan bentuk mutualisme antara toko sarana pertanian dan konsumen. Toko mendapatkan pemasukkan sementara konsumen bersiap untuk menuju era swasembada hasil pertanian minimal untuk keperluan sehari-hari di dapur bisa mereka penuhi sendiri. Aktivitas ini Ini merupakan upaya memagari diri dari kebutuhan pangan.
Pandemi Covid-19 memang memunculkan masalah baru di dunia, tapi pelajaran berharga juga turut menyertainya. Dengan mengambil nilai-nilai universal dari perayaan Pagerwesi semoga kita bisa lebih siap mulai hari ini, esok dan nanti pada era tatanan hidup baru.
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar