Digitalisasi, Solusi UMKM Di Tengah Pandemi Covid-19
Era Revolusi Industri 4.0 sudah di depan mata. Berbagai teknologi yang menjadi tanda dimulainya revolusi industri 4.0 sudah mulai diterapkan di berbagai lini kehidupan manusia. Kehadiran teknologi informasi dan digitalisasi bisnis salah satunya terwujud melalui perdagangan online (e-commerce).
Penulis : Putu Simpen Arini, SST,M.Si
Kepala Seksi Statistik Sosial BPS Kabupaten Bangli
Ditengah penerapan pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19, geliat e-commerce terutama sektor retail dan grosir justru meningkat. Pada kuartal kedua tahun ini, penjualan melalui e-commerce meningkat 26 persen dibandingkan kuartal yang sama pada tahun sebelumnya. Dengan pesatnya perkembangan revolusi 4.0 dan pandemi yang yang belum kita ketahui kapan akan berakhir, bisakah UMKM di Bali tetap bertahan?
Banyak hal positif yang bisa dinikmati dari revolusi industri 4.0 yang dewasa ini mulai berkembang pesat di Indonesia. Pemanfaatan teknologi informasi seakan-akan mendobrak batasan jarak antar manusia dan antar daerah. Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, hal ini tentu memberikan banyak keuntungan. Penggunaan internet sebagai salah satu ciri revolusi industri 4.0 berkembang pesat dalam kehidupan masyarakat. Hasil penelitian APJII tahun 2017 menyebutkan penggunaan internet di Indonesia meningkat pesat dalam dasawarsa terakhir. Pada tahun 2017, sebanyak 54,68 persen penduduk Indonesia merupakan pengguna aktif internet. Menurut penelitian TEMASEK dan Google, rata-rata penggunaan internet di kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia sekitar 3,6 jam perhari. Sebagai perbandingan, pengguna di Amerika hanya menghabiskan 2 jam perhari bahkan di Jepang hanya 1 jam perhari. Hal ini menandakan internet telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari.
Seiring dengan perkembangan pengguna internet, proses jual beli pun mulai bergeser dari proses secara offline menjadi online. Perubahan proses jual-beli ini membuat kehadiran e-commerce dituding sebagai salah satu faktor ditutupnya berbagai gerai/outlet penjualan offline di Indonesia. Dampak dari kejadian ini tentu saja terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Namun demikian, dibalik dampak negatifnya, tentu saja kehadiran e-commerce memberikan banyak keuntungan.
Proses jual-beli online yang sebelumnya merebak melalui media sosial seperti facebook atau instagram kini mulai beralih ke e-commerce. Keamanan transaksi yang ditawarkan membuat konsumen khususnya generasi milenial mulai melirik berbelanja melalui e-commerce. Dilansir dari viva.co.id, sebuah survei terhadap masyarakat pengguna internet atau netizen oleh IPSOS menemukan bahwa kaum milenial mendominasi pembelian online di e-commerce. Oleh karena itu, kehadiran e-commerce perlu segera dimanfaatkan. Peluang pasar e-commerce sangat besar mengingat jumlah penduduk Indonesia yang besar dan karakter demografi yang didominasi generasi milenial. Dikutip dari tirto.id, pada tahun 2025 mendatang, 119 juta orang diprediksi menjadi pembeli online di Indonesia. Maka tak heran, besarnya potensi tersebut akan mampu mengerek nilai pasar e-commerce di Indonesia.
Hasil penelitian Temasek dan Google menyebutkan pada tahun 2025, e-commerce merupakan salah satu usaha yang mendominasi pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara selain travel online dan media massa online. Melihat trend ini, tidak mengherankan jika pemerintah Indonesia gencar mendorong digitalisasi usaha khususnya UMKM agar bisa memasarkan produknya di marketplace yang disediakan e-commerce. Pemerintah bahkan menargetkan pada tahun 2020 bisa mendigitalisasi 1 juta UMKM.
Ketangguhan e-commerce teruji pada pandemi Covid-19. Ketika banyak sektor lain yang kehabisan energi, sektor perdagangan melalui e-commerce justru terus bergairah. Dikutip dari katadata.com, ceruk pasar e-commerce di Indonesia justru membesar selama penerapan PSBB. Nilai penjualan melalui e-commerce meningkat hingga US$2,4 miliar. Hasil survei yang dilakukan Redseer, menunjukkan bahwa 51% responden mengaku baru pertama kali menggunakan aplikasi belanja saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Hal ini menyebabkan jumlah permintaan barang di e-commerce melonjak hingga 5-10 kali dibandingkan sebelum adanya pandemi.
Bagaimana dengan Bali?. Bali dengan jumlah usaha yang didominasi Usaha Mikro Kecil (UMK) agaknya belum mendapat imbas dari meningkatnya volume transaksi e-commerce. Data hasil Sensus Ekonomi 2016 Lanjutan yang dilakukan oleh BPS mencatat hampir sebesar 98 persen dari total populasi usaha yang ada di Bali adalah UMK. Angka ini menggambarkan dominasi populasi UMK dibandingkan Usaha Menengah Besar (UMB). Sensus tersebut juga mencatat bahwa populasi UMK paling banyak terdapat pada kategori Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor (Kategori G), usaha Industri Pengolahan (Kategori C) serta usaha Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan Minum (Kategori I).
Satu hal yang menjadi catatan dari perkembangan UMK di Bali antara lain pemanfaatan internet untuk menunjang kegiatan usaha yang terbilang masih rendah. Hasil survei e-commerce 2019 yang dilaksanakan BPS mencatat hanya 17,44 persen usaha di Bali yang melakukan usaha melalui e-commerce. Berbagai alasan mereka tidak melakukan usaha secara e-commerce antara lain lebih nyaman melakukan penjualan langsung (offline), tidak tertarik melakukan penjualan online, dan kurang pengetahuan/keahlian melakukan usaha secara online.
Melihat kenyataan ini, pelaku UMK di Bali diharapkan memanfaatkan e-commerce dengan memperbanyak pemasaran secara online melalui berbagai pilihan marketplace yang ada di Indonesia. Selain itu, pelaku usaha juga aktif mengidentifikasi seluruh kemungkinan media penjualan dan memanfaatkan jasa transportasi online seperti Gojek dan Grab. Dengan demikian, pangsa pasar akan semakin luas baik ke level nasional maupun internasional sehingga produksi bisa bertambah. Penambahan jumlah produksi tentu akan berdampak pada kenaikan jumlah tenaga kerja yang diserap.
Digitalisasi usaha ini tentu saja tidak mudah. Salah satu tantangannya adalah memastikan kualitas dan kuantitas barang yang dihasilkan oleh para pelaku UMK sesuai dengan kebutuhan pasar. Disamping itu, biaya logistik dan sistem pembayaran juga merupakan tantangan dalam menciptakan harga yang kompetitif dalam sistem e-commerce. Oleh karena itu, sinergi pemerintah dan pelaku usaha dalam mendorong digitalisasi UMK mutlak diperlukan untuk memanfaatkan potensi pasar di Indonesia yang begitu besar.
Pada akhirnya apakah e-commerce akan memberikan dampak merugikan atau malah menguntungkan?. Tentu saja ini tergantung pada pilihan kita, apakah kita mau memanfaatkan peluang yang ada atau tidak. Bagaimanapun, digitalisasi merupakan suatu keharusan di era revolusi 4.0 ini. Terlebih, ditengah pandemi ini masyarakat lebih nyaman melakukan transaksi secara online.*
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Komentar