Dekonstruksi Ritual Pecaruan, Perlukah?
Di Bali, ritual Pecaruan umumnya menggunakan sesajen dengan hewan kurban.
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Dalam Bahasa Sanskerta, caru artinya cantik, indah atau harmonis. Sedangkan, dalam Bahasa Kawi, caru artinya kurban. Sederhananya, ritual Pecaruan sering dimaknai sebagai kurban persembahan yang bertujuan untuk mengharmoniskan bhuwana agung dan bhuwana alit agar menjadi lebih baik, indah, dan lestari.
Dalam Lontar Dewa Tattwa dibedakan antara Caru dan Tawur. Jenis ritual Caru meliputi Ekasata, Pancawarna, Pancasata, Pancasanak, Pancanak-madurga, dan Ngeresigana. Sedangkan ritual Tawur meliputi Manca Kelud, Balik Sumpah, Tawur Gentuh, Mancawalikrama, Ekabhuwana, Tribhuwana, dan Ekadasarudra.
Fungsi ritual Pecaruan baik dan benar. Namun, pelaksanaan kurban hewan tersebut sangat tidak cantik dan indah. Pelaksanaan ritual caru terkesan menyiksa hewan secara sadis. Misalnya, saat mendak Ida Bhatara Sesuhunan ritualnya dipungkas dengan memelintir leher pitik selem (anak ayam berbulu hitam). Masih banyak contoh ritual caru yang menggunakan hewan kurban, seperti, kerbau, lembu, badak, jenis hewan langka lainnya. Hanya saja pelaksanaan kurban itu dikritik oleh the European Convention for the Protection of Animals Kritiknya, penyiksaan hewan bertentangan dengan kesejahteraan hewani. Di samping itu, kurban hewan, apalagi hewan langka untuk kepentingan ritual caru perlu dikaji aspek susila atau etikanya. Meminjam istilah Derrida (1976), cara kurban hewan perlu didekonstruksi. Sederhananya, dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas cara yang sudah tersusun baku (Kristeva,1980:36-37).
Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap pelaksanaannya, tetapi mungkin juga terhadap tingkatannya. Apakah ritual caru, seperti, Ekasata, Pancawarna, Pancasata, Pancasanak, Pancanak-madurga, dan Ngeresigana dapat dilaksanakan secara simbolis, tanpa ada kurban hewani? Atau, apakah ritual Tawur, seperti, Manca Kelud, Balik Sumpah, Tawur Gentuh, Mancawalikrama, Ekabhuwana, Tribhuwana, atau Ekadasarudra harus dilakukan secara utamaning utama? Apakah pelaksanaan ritual Pecaruan dan Tawur yang dilaksanakan secara nistaning nista kurang keutamaannya menurut Veda? Dalam hal ini, perlu ada kearifan dalam mendekonstruksi teks religio-kultural. Karena, teks tersebut mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu.
Dekonstruksi tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana. Menurut Al-fayyadl (2011: 232) dekonstruksi adalah testimoni terbuka kepada krama Bali, yang terpinggirkan oleh stabilitas kebiasaan. Maka, sebuah dekonstruksi ritual Pecaruan adalah gerak perjalanan menuju penyempurnaan hidup itu sendiri. Semoga.
Dalam bidang filsafat maupun sastra, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang sangat sulit untuk dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada umumnya, secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh Derrida (1976) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis. Konsep dekontruksi (Selden, 1986:84) mulai dikenal sejak Derrida membawakan makalahnya yang berjudul, ‘Structure, sign, and play in the discourse of the human sciences’, di Universitas Johns Hopkins tahun 1966.
Dekonstruksi berasal dari kata de + construktio (Latin). Pada umumnya de berarti ke bawah, pengurangan, atau terlepas dari. Sedangkan kata construktio berarti bentuk, susunan, hal menyusun, hal mengatur. Dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku. Kristeva (1980:36-37), misalnya, menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana. Menurut Al-fayyadl (2011: 232) deko
nstruksi adalah testimoni terbuka kepada mereka yang kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka, sebuah dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri. *
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Dalam Bahasa Sanskerta, caru artinya cantik, indah atau harmonis. Sedangkan, dalam Bahasa Kawi, caru artinya kurban. Sederhananya, ritual Pecaruan sering dimaknai sebagai kurban persembahan yang bertujuan untuk mengharmoniskan bhuwana agung dan bhuwana alit agar menjadi lebih baik, indah, dan lestari.
Dalam Lontar Dewa Tattwa dibedakan antara Caru dan Tawur. Jenis ritual Caru meliputi Ekasata, Pancawarna, Pancasata, Pancasanak, Pancanak-madurga, dan Ngeresigana. Sedangkan ritual Tawur meliputi Manca Kelud, Balik Sumpah, Tawur Gentuh, Mancawalikrama, Ekabhuwana, Tribhuwana, dan Ekadasarudra.
Fungsi ritual Pecaruan baik dan benar. Namun, pelaksanaan kurban hewan tersebut sangat tidak cantik dan indah. Pelaksanaan ritual caru terkesan menyiksa hewan secara sadis. Misalnya, saat mendak Ida Bhatara Sesuhunan ritualnya dipungkas dengan memelintir leher pitik selem (anak ayam berbulu hitam). Masih banyak contoh ritual caru yang menggunakan hewan kurban, seperti, kerbau, lembu, badak, jenis hewan langka lainnya. Hanya saja pelaksanaan kurban itu dikritik oleh the European Convention for the Protection of Animals Kritiknya, penyiksaan hewan bertentangan dengan kesejahteraan hewani. Di samping itu, kurban hewan, apalagi hewan langka untuk kepentingan ritual caru perlu dikaji aspek susila atau etikanya. Meminjam istilah Derrida (1976), cara kurban hewan perlu didekonstruksi. Sederhananya, dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas cara yang sudah tersusun baku (Kristeva,1980:36-37).
Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap pelaksanaannya, tetapi mungkin juga terhadap tingkatannya. Apakah ritual caru, seperti, Ekasata, Pancawarna, Pancasata, Pancasanak, Pancanak-madurga, dan Ngeresigana dapat dilaksanakan secara simbolis, tanpa ada kurban hewani? Atau, apakah ritual Tawur, seperti, Manca Kelud, Balik Sumpah, Tawur Gentuh, Mancawalikrama, Ekabhuwana, Tribhuwana, atau Ekadasarudra harus dilakukan secara utamaning utama? Apakah pelaksanaan ritual Pecaruan dan Tawur yang dilaksanakan secara nistaning nista kurang keutamaannya menurut Veda? Dalam hal ini, perlu ada kearifan dalam mendekonstruksi teks religio-kultural. Karena, teks tersebut mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu.
Dekonstruksi tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana. Menurut Al-fayyadl (2011: 232) dekonstruksi adalah testimoni terbuka kepada krama Bali, yang terpinggirkan oleh stabilitas kebiasaan. Maka, sebuah dekonstruksi ritual Pecaruan adalah gerak perjalanan menuju penyempurnaan hidup itu sendiri. Semoga.
Dalam bidang filsafat maupun sastra, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang sangat sulit untuk dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada umumnya, secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh Derrida (1976) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis. Konsep dekontruksi (Selden, 1986:84) mulai dikenal sejak Derrida membawakan makalahnya yang berjudul, ‘Structure, sign, and play in the discourse of the human sciences’, di Universitas Johns Hopkins tahun 1966.
Dekonstruksi berasal dari kata de + construktio (Latin). Pada umumnya de berarti ke bawah, pengurangan, atau terlepas dari. Sedangkan kata construktio berarti bentuk, susunan, hal menyusun, hal mengatur. Dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku. Kristeva (1980:36-37), misalnya, menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana. Menurut Al-fayyadl (2011: 232) deko
nstruksi adalah testimoni terbuka kepada mereka yang kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka, sebuah dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri. *
1
Komentar