Menjaga Denyut Ekonomi Bali
Tercatat sejak 9 Juli 2020 yang lalu, Bali dinyatakan telah bersiap mulai membuka diri. Bali memasuki tatanan kehidupan era baru untuk masyarakat produktif dan aman Covid-19, mengutip pernyataan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Bapak Putu Astawa.
Penulis : Gde Harta Wijaya
Bekerja pada Badan Pusat Statistik Provinsi Bali
Secara bertahap pariwisata Bali dibuka pertama untuk wisatawan lokal bali, selanjutnya wisatawan nusantara dan akhirnya wisatawan manca negara. Upaya ini sekiranya adalah usaha pemerintah untuk mulai menata kembali kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang tersungkur karena hantaman pandemi Covid-19. Namun, mencoba bangkit hanya dengan pariwisata akan sangat bergantung dengan kondisi daerah lain atau bahkan negara lain. Bali saat ini membutuhkan potensi domestiknya untuk menjaga denyut ekonominya.
Kondisi pariwisata sebagai motor utama ekonomi Bali dalam waktu dekat sepertinya belum dapat dihandalkan. Pada rilis berita resmi statistik Badan Pusat Statistik Provinsi Bali dinyatakan bahwa kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) langsung ke Bali, secara akumulatif pada periode Januari-Mei 2020 tercatat hanya sebanyak 1,05 juta kunjungan. Jumlah ini turun sedalam -54,47 persen dibandingkan dengan periode Januari-Mei 2019 yang tercatat sebanyak 2,31 juta kunjungan. Selain dipengaruhi oleh kondisi domestik Bali, pulihnya kunjungan wisman ke Bali juga ditentukan oleh pemulihan ekonomi global terutama ekonomi negara-negara asal wisatawan manca negara yang telah langganan ke Bali.
Ekonomi Bali pada triwulan pertama tahun 2020 tercatat tumbuh negatif 1,14 persen, seperti dikutip dari rilis berita resmi statistik BPS Provinsi Bali. Salah satu penopang pertumbuhan ekonomi Bali yang tercatat tumbuh positif adalah konsumsi rumah tangga. Komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh positif 2,90 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Masih tumbuhnya komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga pada kwartal pertama tahun ini merupakan sinyal, bahwa dengan belum pulihnya kunjungan wisatawan ke Bali, konsumsi rumah tangga diharapkan dapat menyerap produk-produk domestik. Namun tentu saja kemampuan pengeluaran konsumsi rumah tangga akan lebih optimal dalam menyerap produk domestik jika masyarakat Bali sudah kembali beraktifitas dan dapat menjalankan tradisinya.
Jika kita menengok ke belakang, dapat diamati bahwa setiap perayaan hari besar keagamaan di Bali (misal Galungan) biasanya disertai dengan kenaikan harga-harga komoditas yang banyak dibutuhkan dalam perayaan tersebut. Pada Juli 2019, saat perayaan hari raya Galungan, Kota Denpasar tercatat mengalami inflasi 0,6 persen sementara Kota Singaraja tercatat mengalami inflasi 1,03 persen. Untuk tahun 2020, Galungan dirayakan pada bulan Februari. Pada bulan tersebut Kota Denpasar tercatat masih mengalami inflasi sebesar 0,39 persen sementara Kota Singaraja tercatat mengalami inflasi sebesar 0,7 persen. Meningkatnya inflasi yang terjadi pada setiap bulan jatuhnya perayaan hari besar keagamaan diduga salah satunya disebabkan karena meningkatnya permintaan terhadap barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat.
Namun adanya himbauan pembatasan pelaksanaan upacara yadnya di Bali menjadikan pelaksanaan Yadnya sebagian besar terhenti. Pada tanggal 2 Maret 2020 pemerintah Indonesia secara resmi mengumumkan dua WNI positif terpapar virus corona, yang merupakan kasus pertama yang dilaporkan di Indonesia. Selanjutnya berbagai daerah di seluruh Indonesia mulai mengambil langkah-langkah untuk upaya penanggulangan termasuk Provinsi Bali. Pada tanggal 23 Maret 2020 keluar surat himbauan agar masyarakat Bali tidak keluar rumah pada tanggal 26 Maret 2020 (sehari setelah Hari Raya Nyepi). Setelahnya, pada tanggal 27 Maret 2020 kembali keluar surat himbauan Gubernur Bali agar masyarakat tidak berkumpul, mengurangi interaksi, pengumpulan masa, dan menjaga jarak sosial dengan mengurangi aktivitas di luar rumah, bekerja di rumah, belajar di rumah, beribadah di rumah. Surat himbauan ini kemudian disusul surat keputusan bersama antara Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali pada tanggal 28 Maret 2020. Keputusan bersama ini secara garis besar salah satunya mengatur bahwa semua upacara Panca Yadnya yang bersifat ngawangun (direncanakan) supaya ditunda. Praktis setelah keluarnya surat keputusan tersebut pelaksanaan upacara yadnya di Bali menjadi sangat terbatas.
Pelaksanaan upacara dalam balutan tradisi Bali diduga akan mampu mendorong permintaan rumah tangga untuk melakukan konsumsi. Pelaksanaan tradisi budaya Bali yang sebelumnya sangat terbatas, jika merujuk pada kejadian di masa lalu, akan mampu menyerap produk-produk pertanian dari output domestik (lokal Bali). Demikian pula halnya dengan produk industri pengolahan hasil ekonomi domestik Bali. Peningkatan permintaan ini tentunya akan kembali membuat sektor pertanian dan industri pengolahan menjadi lebih bergairah. Lapangan usaha perdagangan secara serta merta akan turut terlibat karena menjembatani antara masyarakat penghasil produk dengan mereka yang membutuhkannya. Secara lebih luas tidak berlebihan jika diduga bahwa denyut nadi ekonomi dapat terjaga sambil menunggu pulihnya sektor pariwisata.
Namun betapapun pentingnya menjaga nadi perekonomian, unsur keselamatan masyarakat tentu tetaplah menjadi prioritas utamanya. Pelaksanaan upacara yadnya dalam balutan tradisi Bali dalam pelaksanaannya seyogyanya tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan untuk keselamatan sesuai tatanan era baru. Barangkali hal itu tidaklah mudah dalam praktiknya, tetapi tentu pula bukan berarti mustahil, demi menjaga denyut ekonomi Bali.*
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar