Kasus Viral Gus Adi, Kuasa Hukum Minta Gubernur dan Kapolda Bali Dihadirkan
Tim Kuasa Hukum meminta kepada Ketua Majelis Hakim agar menghadirkan saksi yang menjadi korban kebaratan atas dugaan ujaran kebencian saat ngembak gni lalu.
SINGARAJA, NusaBali
Masih ingat viral Gus Adi alias Gusti Putu Adi Kusuma Jaya saat live streaming melalui Facebook pada ngembak gni empat bulan silam? Ya, warga Banjar Dinas Dauh Pura, Desa Panji, Kecamatan Sukasada, Buleleng pada 26 Maret 2020 menghadapi ancaman pidana penjara enam tahun setelah live di FB terkait pembatasan aktivitas keluar rumah mengandung unsur ujaran kebencian. Kini advokat berusia 38 tahun ini menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Singaraja dan menghadapi ancaman pidana enam tahun penjara dalam sidang Majelis Hakim yang dipimpin Made Gede Trisna Jaya, Kamis (16/7).
Menyikapi persidangan yang saat ini berproses, Tim Kuasa Hukum AA Kompyang Gede menyesalkan pelanggaran beracara sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasalnya saksi korban tidak dipanggil dalam persidangan. "Ya kami minta majelis hakim untuk menghadirkan korban yakni Gubernur Bali dan Kapolda Bali. Apabila tidak, berarti itu sudah melanggar ketentuan dalam KUHAP," tegas AA Kompyang Gede.
Hal tersebut ia sampaikan usai melakukan pemantauan sidang bersama tim kuasa hukum yang tergabung dalam Forum Advokat Buleleng di PN Singaraja. Ia mengatakan, aturan hukum acara yang berlaku di Indonesia sangat jelas menyebutkan bahwa saksi korban merupakan saksi yang pertama harus diperiksa. Hal tersebut menunjuk pasal 160 KUHAP yang mengharuskan mendengarkan keterangan saksi korban di awal pemeriksaan saksi. Karena itu akan terjadi pelanggaran terhadap KUHAP jika saksi korban tidak dihadirkan dalam sidang dalam agenda pemeriksaan saksi.
Menurut Agung Kompiang, pelanggaran hukum acara dapat menimbulkan paradigma buruk di masyarakat di tengah upaya para penegak hukum mewujudkan peradilan yang agung. "Ini bisa menjadi paradigma buruk terhadap penegakan hukum di Indonesia. Terlebih menjadikan marwah peradilan yang agung menjadi tercederai," kata pria yang juga Ketua Dewan Pimpinan Daerah Kongres Advokat Indonesia (DPD KAI) Bali ini.
"Ini juga bertentangan dengan visi misi Mahkamah Agung yang ingin menjadikan peradilan sesuai dengan namanya yang agung. Terlebih bertentangan dengan tujuan program nawacita pimpinan negara yakni negara betul-betul hadir dalam penegakan hukum," cetusnya soal persidangan terhadap rekan sejawatnya yang tersandung kasus ujaran kebencian terhadap pejabat publik di media sosial ini.
Hal senada juga disampaikan oleh tim kuasa hukum Gus Adi, I Nyoman Sunarta. Ia menegaskan pihaknya tetap akan meminta kepada Ketua Majelis Hakim I Made Gede Trisna Jaya untuk menghadirkan saksi yang menjadi korban keberatan atas dugaan ujaran kebencian tersebut. "Mengingat Pasal 45 A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE merupakan delik aduan yang disangkakan. Mohon saksi yang merasa keberatan dihadirkan," singkatnya.
Sunarta mengimbuhkan, seharusnya sesuai dalam KUHAP saksi yang keberatan harus dihadirkan. Dalam ini dakwaan jaksa menyebut yang menjadi korban atas dugaan ujaran kebencian Gus Adi adalah pemerintah Provinsi Bali dan institusi Polri. *cr75
Menyikapi persidangan yang saat ini berproses, Tim Kuasa Hukum AA Kompyang Gede menyesalkan pelanggaran beracara sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasalnya saksi korban tidak dipanggil dalam persidangan. "Ya kami minta majelis hakim untuk menghadirkan korban yakni Gubernur Bali dan Kapolda Bali. Apabila tidak, berarti itu sudah melanggar ketentuan dalam KUHAP," tegas AA Kompyang Gede.
Hal tersebut ia sampaikan usai melakukan pemantauan sidang bersama tim kuasa hukum yang tergabung dalam Forum Advokat Buleleng di PN Singaraja. Ia mengatakan, aturan hukum acara yang berlaku di Indonesia sangat jelas menyebutkan bahwa saksi korban merupakan saksi yang pertama harus diperiksa. Hal tersebut menunjuk pasal 160 KUHAP yang mengharuskan mendengarkan keterangan saksi korban di awal pemeriksaan saksi. Karena itu akan terjadi pelanggaran terhadap KUHAP jika saksi korban tidak dihadirkan dalam sidang dalam agenda pemeriksaan saksi.
Menurut Agung Kompiang, pelanggaran hukum acara dapat menimbulkan paradigma buruk di masyarakat di tengah upaya para penegak hukum mewujudkan peradilan yang agung. "Ini bisa menjadi paradigma buruk terhadap penegakan hukum di Indonesia. Terlebih menjadikan marwah peradilan yang agung menjadi tercederai," kata pria yang juga Ketua Dewan Pimpinan Daerah Kongres Advokat Indonesia (DPD KAI) Bali ini.
"Ini juga bertentangan dengan visi misi Mahkamah Agung yang ingin menjadikan peradilan sesuai dengan namanya yang agung. Terlebih bertentangan dengan tujuan program nawacita pimpinan negara yakni negara betul-betul hadir dalam penegakan hukum," cetusnya soal persidangan terhadap rekan sejawatnya yang tersandung kasus ujaran kebencian terhadap pejabat publik di media sosial ini.
Hal senada juga disampaikan oleh tim kuasa hukum Gus Adi, I Nyoman Sunarta. Ia menegaskan pihaknya tetap akan meminta kepada Ketua Majelis Hakim I Made Gede Trisna Jaya untuk menghadirkan saksi yang menjadi korban keberatan atas dugaan ujaran kebencian tersebut. "Mengingat Pasal 45 A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE merupakan delik aduan yang disangkakan. Mohon saksi yang merasa keberatan dihadirkan," singkatnya.
Sunarta mengimbuhkan, seharusnya sesuai dalam KUHAP saksi yang keberatan harus dihadirkan. Dalam ini dakwaan jaksa menyebut yang menjadi korban atas dugaan ujaran kebencian Gus Adi adalah pemerintah Provinsi Bali dan institusi Polri. *cr75
Komentar