Pemuja Pohon dan Besi
Suparianto, lelaki dari Tegal, Jawa Tengah, pertama kali ke Bali bersama kawan-kawannya studi tur ketika SMA.
Sebelum berangkat, ia dianjurkan oleh ibunya untuk memperhatikan cara orang Bali menyembah Tuhan. Si Ibu sesungguhnya tidak begitu paham Bali, ia cuma tahu sekilas. Memang, ia sempat sebulan di Baturiti, Tabanan, praktik kerja lapangan di peternakan sapi perah, semasa ia kuliah di Fakultas Peternakan di Purwokerto. Namun pengetahuannya tentang Bali sangat sedikit.
“Coba nanti setiba di Bali kamu perhatikan, pasti banyak wanita menghaturkan sesaji dan berdoa di bawah pohon,” ujar si Ibu. “Mereka ternyata tidak cukup bersujud di tempat suci, menyembah Tuhan, tapi mereka juga menyembah pohon.”
Sebagai pemeluk agama yang taat, Supar tentu kaget, karena selama ini yang ia ketahui adalah, hanya manusia primitif yang menyembah pohon. “Saya tak percaya, Bu!” sahut Supar. Si Ibu tidak memaksa anaknya untuk percaya. “Kamu buktikan sajalah nanti setiba di Bali,” saran wanita itu.
Dalam perjalanan pulang dari Kintamani, setelah puas menikmati keindahan kaldera dan danau Batur, bus yang ditumpangi anak-anak sekolah itu mogok sebelah utara Tampaksiring, selepas Kayuamba. Anak-anak itu kemudian duduk-duduk di tepi jalan menghabiskan waktu, menunggu mobil diperbaiki.
Menjelang senja ketika itu, Supar menyaksikan seorang ibu sedang menghaturkan sesaji di tengah tegalan, di bawah pohon sukun tinggi menjulang, di seberang gubuk beratap daun kelapa. Ia segera mendatangi guru biologi, bertanya, apakah ibu itu menghaturkan sesaji untuk penunggu pohon?
Sang guru menjawab, “Ya, memang begitu kehidupan di Bali. Kendati masyarakat Bali hidup modern, terbuka dan bergaul rapat dengan orang-orang asing, tetapi mereka masih menyembah pohon.”
Tapi Supar tak bisa sepenuhnya percaya. “Pasti ada yang keliru, ketidakmengertian, mengapa masih muncul tuduhan orang Bali menyembah pohon,” pikirnya. Ia baru mulai bisa menghayati kekhilafan itu ketika dua puluh lima tahun kemudian ia ditugaskan sebagai kepala pemasaran dan distribusi semen di Bali oleh perusahaannya. Kemudian ia ajak ibunya liburan ke Bali, menjelaskan kekeliruan itu.
Menurut Supar, orang Bali itu sangat menghormati alam ciptaan Tuhan. “Mereka tidak menyembah pohon, Bu, tapi menyampaikan sujud bakti dan terima kasih kepada Tuhan untuk semua yang Dia limpahkan.” Kepada ibunya ia juga menjelaskan, Bali memiliki banyak hari raya khusus untuk memuliakan benda dan mahluk hidup. “Mereka memuliakan perkakas untuk bekerja, petani menghormati bajak, traktor. Barang-barang itu diberi sesaji di hari-hari tertentu. Mobil-mobil, mesin-mesin, juga diberi sesaji.”
“Kalau begitu, kita semestinya mencontoh tindakan itu,” komentar si Ibu.
Tapi Supar kemudian menjelaskan, di Bali sekarang telah terjadi banyak pergeseran untuk menyatakan rasa sujud bakti terhadap segala sesuatu yang diciptakan Tuhan dan manusia. Dulu, para petani memiliki hari khusus memberi sesaji untuk pacul, sabit, anai-anai, pisau. Alat-alat itu adalah buatan mereka sendiri, tak satu pun benda-benda itu diimpor. Di zaman itu mereka membajak bersama sapi, tidak dengan traktor.
Sesaji dan doa-doa yang dihaturkan untuk perkakas itu ketika hari suci Tumpek Landep, di hari Sabtu Kliwon, pertanda mereka menghargai buatan sendiri. Tindakan itu juga bermakna untuk senantiasa menggunakan produksi sendiri, pertanda kemandirian, tindakan untuk menghindari ketergantungan pada orang atau bangsa lain.
Sekarang orang Bali memiliki jauh lebih banyak perkakas dan peralatan untuk bekerja. Tapi sebagian besar alat-alat itu tidak bikinan sendiri, tapi mereka beli di toko. Sabit, pacul, perontok gabah, mereka beli, tak sudi repot-repot membuatnya. Jika Tumpek Landep tiba, alat-alat itu disajeni, disertai sujud terima kasih karena Hyang Widhi telah memperkenankan mereka memiliki barang-barang berharga itu. Namun semua itu bukan karya sendiri.
Kini tak sedikit orang Bali punya beberapa mobil mewah, yang diberi sesaji ketika Tumpek Landep. Di depan benda mahal untuk keperluan pribadi itu, mereka bersyukur, karena sanggup punya banyak mobil.
“Sekarang, banyak orang Bali menjadi pemuja benda, Bu,” ujar Supar pada ibunya, yang tekun mendengarkan pandangan anaknya.
Supar memberi contoh temannya di kantor yang punya komputer pribadi. Komputer itu disajeni dua kali setahun, sekali ketika hari Saraswati, sesaji untuk software (perangkat lunak program dan aplikasi), sekali lagi ketika hari Tumpek Landep, sesaji untuk hardware (perangkat keras). Berbarengan dengan itu, si kawan juga memberi sesaji untuk gawai, hand phone, televisi plasma atau LCD layar lebar, game player, video handycam atau speaker bluetooth. Si kawan ini sangat sayang dengan semua barang itu.
“Berbeda dengan orang Bali zaman dulu, Bu, mereka menghaturkan sesaji untuk keris dan benda-benda pustaka. Sekarang orang Bali memberi sesaji untuk barang-barang modern yang membuat mereka jadi konsumtif. Kata seorang kawan saya orang Bali, mereka juga punya hari raya khusus untuk perhiasan emas permata. Ketika saya komentari betapa mereka telah menjadi pemuja benda, kawan saya cuma tertawa-tawa, Bu.”
Pengamatan Supar tentu tak bisa diabaikan. Pertumbuhan ekonomi hadiah industri pariwisata membuat orang Bali bisa dengan mudah memiliki benda-benda mahal, prestisius, dan sudah pasti mengangkat gengsi pemiliknya. Jika orang luar berkomentar orang Bali sebagai penyembah pohon, pasti orang Bali marah, karena pernyataan itu keliru, dan merendahkan ketakwaan orang Bali pada Yang Maha Tunggal. Tapi apakah orang Bali juga marah jika muncul komentar, berkat memiliki banyak uang dan harta, mereka kemudian tumbuh menjadi pemuja benda? *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar