Bendesa Tegaskan Teba Masuk PKD
Pasca Puluhan Krama Datangi BPN Gianyar
Setelah diproses di BPN dan sertifikat selesai, kok baru mengajukan keberatan. Kenapa tidak sejak awal?
GIANYAR, NusaBali
Kedatangan puluhan kama adat ke Kantor Badan Pertanahan Negara (BPN) Gianyar untuk membatalkan pensertifikatan tanah teba (halaman pekarangan belakang), ditanggapi Tjokorda Gde Putra Pemayun, Bendesa Adat Jro Kuta Pejeng, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar.
Cok Pemayun menegaskan, tanah teba merupakan satu kesatuan dengan karang ayahan desa (rumah tempat tinggal krama, Red). Sehingga desa adat mensertifikatkan tanah ini sebagai PKD (pekarangan desa). “Didasari konsep Tri Hita Karana, teba itu termasuk palemahan. Tanaman yang ada, seperti kelapa, pisang, aren, umbi-umbian dan lain-lain dipetik untuk memenuhi kewajiban krama saat ngayah di pura sehingga tidak sampai membeli. Itu konsep leluhur kita dulu. Di awig-awig ada itu semua, sebagai dasar kenapa kita di desa adat mempertahankan teba termasuk ayahan karang desa,” jelasnya saat ditemui di Puri Pejeng, Desa Pejeng, Kamis (23/7).
Cok Pemayun menampik jika jumlah krama yang mengajukan keberatan ke BPN 75 orang. Karena hanya 44 krama atau pemegang hak atas pekarangan yang mohon sertifikat, dari total 280 pekarangan. Cok Pemayun merinci krama yang mengajukan keberatan 19 orang dari Banjar Pande, 8 orang dari Banjar Intaran, 2 orang dari Banjar Puseh, dan 15 orang dari Banjar Guliang. Dari Banjar Pande awalnya yang keberatan 35 orang. Setelah beberapa dari mereka datang konsultasi ke prajuru, jadi paham dan mundur 16 penghuni pekarangan. Banjar Intaran awalnya 18, mundur 10. Guliang 15 orang tetap ajukan keberatan, Puseh 2 orang. Jadi totalnya 44 orang, bukan 75 orang. Itu data valid dan surat pernyataan mereka mengundurkan diri dari keberatan, ada,” tegas mantan anggota DPRD Gianyar dari Partai Gerindra ini.
Terkait BPN Gianyar yang memberikan tenggang waktu pada warga yang keberatan sampai Agustus, Cok Pemayun mengaku tidak mau tahu. “Terserah BPN. Kita disini tidak mau ikut campur. Kapan mau diturunkan sertifikat itu, kita tidak masalah,” ujarnya. Dalam kesempatan itu, Cok Pemayun juga mengingatkan bahwa SPPT (surat pemberitahuan pajak teutang) bukan sebagai tanda bukti kepemilikan tanah. “Kenapa teba kena SPPT karena menghasilkan, maka wajar bayar pajak. Tapi SPPT bukan tanda bukti hak milik,” tegasnya.
Mantan Kepala BPBD Gianyar ini menduga krama yang mengajukan keberatan atas rencana penerbitan sertifikat itu karena punya keinginan besar untuk menguasai teba sebagai hak milik. “Kalau kami di prajuru, patokannya pasti awig-awig. Warga yang keberatan itu, kemungkinan belum paham isi awig-awig atau memang sengaja tidak mau memahami, karena besar keinginannya untuk memiliki,” ujarnya.
Namun demikian, dirinya tetap mengikuti perkembangan pengajuan keberatan 44 krama itu. “Tapi sesuai aturan di awig-awig, apabila ada krama yang keberatan, pertama dia harus menyampaikan ke kelian adat. Kalau kurang puas, lanjut ke sangkepan atau paruman banjar. Kalau belum juga diterima, baru sampaikan ke desa adat. Terakhir ke tingkat yang di atas. Tapi kasus ini, tidak dilakukan sesuai awig-awig. Malah justru langsung lapor polisi,” terangnya.
Terkait tudingan proses pensertifikatan tanpa sepengetahuan krama, menurut Cok Pemayun, itu keliru. Tanah milik desa adat ini disertifikatkan sesuai program nasional yang disampaikan melalui kelian adat di masing banjar. Sehingga pada saat proses pengajuan sertifikat, krama mengumpulkan KK dan KTP. ‘’Setelah diproses di BPN dan sertifikat selesai, kok baru mengajukan keberatan. Kenapa tidak sejak awal?,” tanya Cok Pemayun.
Dijelaskan pula, isi sertifikat teba sebagai PKD selaku pemilik adalah Desa Adat Jro Kuta Pejeng. “Di bawahnya tertulis yang ditempati si a si b, yang ada di pekarangan tersebut. Jadi nama warga tercantum dalam sertifikat,” tegasnya. Dalam awig-awig, tanah teba juga dibebaskan untuk dijual maupun dikontrakkan. Hanya saja, kewajiban ngayah ke desa harus beralih ke pembeli atau pengontrak. “Dalam awig-awig, bagi krama yang mau jual atau kontrakan PKD, silahkan, desa adat tidak minta bagian. Tapi bagi yang membeli dalam awig diatur wajib ngayahan karang desa. Desa adat nuntut ayah saja. Kami mempertahankan druwen desa berdasarkan awig, dresta adat dan budaya,” tegasnya.
Tidak hanya itu, jelas Cok Pemayun, bagi krama yang melanggar awig-awig bisa dikenakan sanksi adat. Termasuk aksi 44 warga yang mengajukan keberatan tersebut. “Sanksinya bisa berupa denda harta, dikeluarkan sebagai krama desa, atau panyangaskara (minta maaf kepada prajuru, Red),” ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, keberatan atas tanah teba (pekarangan bagian belakang) dan tegalan dijadikan tanah PKD (Pekarangan Desa), sekitar 50 krama Desa Adat Jro Kuta Pejeng dan Desa Adat Panglan, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, mendatangi Kantor Badan Pertanahan Negara (BPN) Gianyar, Rabu (22/7) pagi. *nvi
Cok Pemayun menegaskan, tanah teba merupakan satu kesatuan dengan karang ayahan desa (rumah tempat tinggal krama, Red). Sehingga desa adat mensertifikatkan tanah ini sebagai PKD (pekarangan desa). “Didasari konsep Tri Hita Karana, teba itu termasuk palemahan. Tanaman yang ada, seperti kelapa, pisang, aren, umbi-umbian dan lain-lain dipetik untuk memenuhi kewajiban krama saat ngayah di pura sehingga tidak sampai membeli. Itu konsep leluhur kita dulu. Di awig-awig ada itu semua, sebagai dasar kenapa kita di desa adat mempertahankan teba termasuk ayahan karang desa,” jelasnya saat ditemui di Puri Pejeng, Desa Pejeng, Kamis (23/7).
Cok Pemayun menampik jika jumlah krama yang mengajukan keberatan ke BPN 75 orang. Karena hanya 44 krama atau pemegang hak atas pekarangan yang mohon sertifikat, dari total 280 pekarangan. Cok Pemayun merinci krama yang mengajukan keberatan 19 orang dari Banjar Pande, 8 orang dari Banjar Intaran, 2 orang dari Banjar Puseh, dan 15 orang dari Banjar Guliang. Dari Banjar Pande awalnya yang keberatan 35 orang. Setelah beberapa dari mereka datang konsultasi ke prajuru, jadi paham dan mundur 16 penghuni pekarangan. Banjar Intaran awalnya 18, mundur 10. Guliang 15 orang tetap ajukan keberatan, Puseh 2 orang. Jadi totalnya 44 orang, bukan 75 orang. Itu data valid dan surat pernyataan mereka mengundurkan diri dari keberatan, ada,” tegas mantan anggota DPRD Gianyar dari Partai Gerindra ini.
Terkait BPN Gianyar yang memberikan tenggang waktu pada warga yang keberatan sampai Agustus, Cok Pemayun mengaku tidak mau tahu. “Terserah BPN. Kita disini tidak mau ikut campur. Kapan mau diturunkan sertifikat itu, kita tidak masalah,” ujarnya. Dalam kesempatan itu, Cok Pemayun juga mengingatkan bahwa SPPT (surat pemberitahuan pajak teutang) bukan sebagai tanda bukti kepemilikan tanah. “Kenapa teba kena SPPT karena menghasilkan, maka wajar bayar pajak. Tapi SPPT bukan tanda bukti hak milik,” tegasnya.
Mantan Kepala BPBD Gianyar ini menduga krama yang mengajukan keberatan atas rencana penerbitan sertifikat itu karena punya keinginan besar untuk menguasai teba sebagai hak milik. “Kalau kami di prajuru, patokannya pasti awig-awig. Warga yang keberatan itu, kemungkinan belum paham isi awig-awig atau memang sengaja tidak mau memahami, karena besar keinginannya untuk memiliki,” ujarnya.
Namun demikian, dirinya tetap mengikuti perkembangan pengajuan keberatan 44 krama itu. “Tapi sesuai aturan di awig-awig, apabila ada krama yang keberatan, pertama dia harus menyampaikan ke kelian adat. Kalau kurang puas, lanjut ke sangkepan atau paruman banjar. Kalau belum juga diterima, baru sampaikan ke desa adat. Terakhir ke tingkat yang di atas. Tapi kasus ini, tidak dilakukan sesuai awig-awig. Malah justru langsung lapor polisi,” terangnya.
Terkait tudingan proses pensertifikatan tanpa sepengetahuan krama, menurut Cok Pemayun, itu keliru. Tanah milik desa adat ini disertifikatkan sesuai program nasional yang disampaikan melalui kelian adat di masing banjar. Sehingga pada saat proses pengajuan sertifikat, krama mengumpulkan KK dan KTP. ‘’Setelah diproses di BPN dan sertifikat selesai, kok baru mengajukan keberatan. Kenapa tidak sejak awal?,” tanya Cok Pemayun.
Dijelaskan pula, isi sertifikat teba sebagai PKD selaku pemilik adalah Desa Adat Jro Kuta Pejeng. “Di bawahnya tertulis yang ditempati si a si b, yang ada di pekarangan tersebut. Jadi nama warga tercantum dalam sertifikat,” tegasnya. Dalam awig-awig, tanah teba juga dibebaskan untuk dijual maupun dikontrakkan. Hanya saja, kewajiban ngayah ke desa harus beralih ke pembeli atau pengontrak. “Dalam awig-awig, bagi krama yang mau jual atau kontrakan PKD, silahkan, desa adat tidak minta bagian. Tapi bagi yang membeli dalam awig diatur wajib ngayahan karang desa. Desa adat nuntut ayah saja. Kami mempertahankan druwen desa berdasarkan awig, dresta adat dan budaya,” tegasnya.
Tidak hanya itu, jelas Cok Pemayun, bagi krama yang melanggar awig-awig bisa dikenakan sanksi adat. Termasuk aksi 44 warga yang mengajukan keberatan tersebut. “Sanksinya bisa berupa denda harta, dikeluarkan sebagai krama desa, atau panyangaskara (minta maaf kepada prajuru, Red),” ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, keberatan atas tanah teba (pekarangan bagian belakang) dan tegalan dijadikan tanah PKD (Pekarangan Desa), sekitar 50 krama Desa Adat Jro Kuta Pejeng dan Desa Adat Panglan, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, mendatangi Kantor Badan Pertanahan Negara (BPN) Gianyar, Rabu (22/7) pagi. *nvi
Komentar