Beradaptasi Dengan Invasi Teknologi
Prediksi akan hilangnya pekerjaan manual karena digantikan teknologi canggih terus muncul dari masa ke masa. Hal ini semakin nyata adanya karena beberapa perusahaan, seperti Foxconn, bahkan telah mulai mengganti para pekerjanya dengan menggunakan tenaga robot.
Penulis : I Nyoman Teja Semara Pradipta
Undergraduate Student at The University of Arizona
Sungguh sangat mengerikan jika membayangkan nantinya manusia bertukar posisi dengan robot, tidak lagi bekerja, sampai-sampai hilangnya pendapatan.
Kita sama-sama tahu bahwa topik invasi teknologi bukanlah sesuatu yang baru. Namun, perasaan panik ini semakin menjadi-jadi dengan melihat perubahan teknologi yang semakin cepat bahkan semakin dramatis dibandingkan masa sebelumnya.
McKinsey Global Study pernah menyebutkan bahwa sekitar 14% dari lapangan pekerjaan akan digantikan dengan robot. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan populasi manusia yang diprediksi akan meningkat menjadi 9 miliar jiwa pada 2030. Generasi kita mungkin akan kalah dengan kecanggihan robot, terlebih lagi lapangan pekerjaan menjadi semakin menyempit karenanya.
Di sisi lain, Presiden Jokowi malah meragukan bahwa 800 juta pekerjaan akan hilang karena teknologi robot dan otomatisasi pada 2030. Bapak Presiden meyakini hilangnya lapangan pekerjaan dapat dihindari dengan tindakan dan antisipasi yang tepat. Namun, dengan merujuk pada perkembangan teknologi yang sangat buas ini, Apakah Presiden Jokowi bisa dibilang terlalu optimis?
Faktanya, pendapat yang mengatakan bahwa manusia akan menjadi pengangguran seutuhnya, bahwa robot akan mengganti semua yang dilakukan manusia suatu saat nanti hanyalah asumsi yang lemah data. Semua itu hanyalah pendapat dari orang-orang yang keliru, orang yang tidak mau berusaha. Kalimat putus asa yang hanya membuat cemas.
Manusia sebenarnya telah dibekali kemampuan khusus yang membuatnya menjadi makhluk dengan derajat tertinggi. Kita harus yakin kalau kita punya potensi untuk bersaing dengan robot dengan irreplaceable skill yang kita miliki. Maka dari itu, sangat diperlukan sikap untuk beradaptasi. Beradaptasi untuk tetap bekerja, beradaptasi untuk tetap hidup. Semua skill yang kita miliki akan terasa percuma jika tidak mengikuti apa yang diperlukan oleh zaman.
Sejarah Terulang
Jika melirik masa lalu, invasi teknologi faktanya sudah terjadi pada era industri di abad ke-18 hingga pertengahan 20. Kehadiran mesin waktu itu telah meningkatkan produktivitas perusahaan yang membuat terkikisnya pekerja buruh.
Namun, berkat kemajuan informasi, hal tersebut dapat mengimbangi pengangguran dengan bangkitnya pengetahuan dari para pekerja di kala itu. Mereka yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi dapat menyesuaikan diri hingga mampu untuk berkembang. Sementara mereka yang sulit beradaptasi mengalami keterbatasan dalam upah hingga mobilitas sosial mereka.
Masyarakat sebenarnya dari zaman dulu memang secara intuitif merasa panik akan terjadinya pengangguran massal oleh invasi teknologi dalam perusahaan. Namun, secara mengejutkan data dari World Bank justru menunjukkan sebaliknya. Tingkat pengangguran global faktanya tidak pernah naik sejak 1991 hingga kini, kecuali saat krisis ekonomi global 2008.
Padahal, jumlah angkatan kerja dan tingkat adopsi teknologi terus meningkat tiap tahunnya. Memang, fenomena pekerjaan yang dapat diotomatisasi seakan redup secara perlahan, namun dibalik itu, timbul jenis-jenis pekerjaan baru yang membutuhkan kompetensi baru juga.
Sudah sewajarnya bagi manusia harus bisa beradaptasi karena kita sama-sama menyadari kompetensi yang dibutuhkan selalu berubah dari waktu ke waktu. Mari kita berusaha bersama, menganalisis skill-skill apa yang sekiranya perlu disiapkan agar bisa bertahan. Karena dia yang bisa bertahan adalah dia yang bisa beradaptasi.
Dilema Perusahaan
Meningkatnya tingkat adopsi teknologi dalam operasional perusahaan memang meyakinkan beberapa orang bahwa mereka pasti akan digantikan. Tapi percayalah, para petinggi perusahaan semestinya mengalami dilema, satu sisi teknologi robot menawarkan efisiensi, tapi disisi lain mereka harus mengurangi para pegawainya.
Perusahaan sebenarnya tidak bisa begitu saja mengurangi para pegawainya dengan alasan efisiensi. Perusahaan juga terikat dengan prosedur dan hukum ketenagakerjaan. Belum lagi masalah persepsi publik yang dapat merusak citra perusahaan. Sehingga, untuk sementara ini, kita tidak perlu terlalu panik saat mendengar pekerja akan digantikan oleh robot. Karena pemecatan pegawai secara sepihak merupakan pilihan terakhir bagi perusahaan.
Namun terlepas dari itu, World Economic Forum (WEF) pun dapat melihat sebuah peluang atas invasi teknologi ini. Mereka menyebutkan teknologi robot dengan -Artificial Intelligence faktanya malah akan menciptakan 58 juta pekerjaan baru.
Hal ini memang akan menjadi tugas berat bagi para jajaran petinggi dalam sebuah perusahaan untuk menganalisis peluang dari teknologi dengan tetap memprioritaskan para pegawai. Mereka harus pandai melihat kesempatan dan tetap mempertimbangkan tantangan yang mengikutinya.
Banyak yang menyadari teknologi baru mungkin akan menyebabkan adanya pekerjaan yang hilang. Namun, itu hanyalah sepotong dari cerita. Yang perlu dipahami oleh kita semua adalah bagaimana teknologi itu justru dapat meningkatkan lapangan pekerjaan yang ada.
Irreplaceable skill
Manusia tidak akan pernah atau bahkan mustahil bisa digantikan sepenuhnya oleh teknologi. Kita memang dituntut untuk selalu siap menyesuaikan bakat kita dengan keterampilan baru. Maka dari itu, dibutuhkan creativity dan Emotional Quotient (EQ) yang tinggi. Hal inilah yang nantinya akan membedakan manusia dengan robot.
Robot atau teknologi canggih lainnya bisa dikatakan paling cocok untuk tugas-tugas yang bersifat berulang. Namun, dalam sebuah perusahaan, hal-hal mengejutkan yang merujuk pada ketidakpastian tidaklah jarang terjadi. Sangat diperlukan inovasi dan kreativitas yang hanya dimiliki oleh manusia untuk bertahan menghadapi kompetisi yang sangat berat.
Beda dengan robot, manusia memiliki sebuah emosi yang memang hanya dimiliki oleh manusia saja. Meskipun banyak media gembar-gembor mengatakan robot juga akan memiliki emosi, tapi akan sebagus apa emosi itu jika mereka hanya palsu.
Seperti halnya Hotel robot, mungkin terdengar sangat keren, dimana setiap sudut hotel menggunakan teknologi canggih. Tapi hal tersebut hanyalah tren semata yang suatu saat akan luntur. Bahkan, para turis seharusnya bisa merasakan perbedaan ketika disambut dengan manusia dan dengan robot ketika mengunjungi sebuah hotel. Kenyataannya, manusia akan selalu lebih baik daripada robot untuk menjadi manusia.
Mengembangkan Emotional Quotient (EQ) akan menjadi kekuatan manusia untuk membedakan berbagai perasaan. Pada akhirnya, membangun kemampuan untuk mengenali dan merespons emosi orang lain akan menempatkan manusia jauh di depan robot apa pun yang dapat dibangun 100 tahun ke depan.
Harapannya di era industri 4.0 atau di zaman yang lebih canggih lagi, kita tidak perlu khawatir jika banyak prediksi-prediksi yang menyebutkan manusia akan digantikan oleh robot sepenuhnya. Karena kita yakin dan memang harus yakin, kita punya keterampilan yang khusus, yang hanya dimiliki oleh manusia dan dengan syarat, kita harus mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman.*
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar