Gagal Panen Pariwisata Bali
Menilik dari tahun-tahun sebelumnya, kuartal kedua seharusnya menjadi kesempatan bagi para pelaku usaha pariwisata di Bali untuk mendulang rupiah karena bertepatan dengan libur lebaran, libur sekolah serta liburan musim dingin bagi wisatawan mancanegara.
Penulis : Ni Nyoman Jegeg Puspadewi SST, M.M
Kasi Statistik Neraca Produksi BPS Provinsi Bali
Namun apa yang terjadi pada periode April-Juni 2020 ini sungguh di luar ekspektasi, Bali hanya kedatangan 395 wisatawan mancanegara. Penurunannya mencapai -99,97 persen dibandingkan periode April-Juni 2019 yang jumlahnya mencapai 1,51 juta kunjungan. Sehingga tidak salah kiranya jika kita menyebutkan bahwa pariwisata Bali sedang mengalami ‘Gagal Panen’.
Sebagai daerah yang separuh lebih ekonominya bersumber dari aktivitas pariwisata, tentu hal ini akan berdampak pada kondisi ekonomi Bali secara umum. Dari Rilis BPS Provinsi Bali pada 5/8/2020 lalu, bahkan disampaikan bahwa ekonomi Bali terjerembab karena untuk kedua kalinya tumbuh negatif. Setelah pada triwulan I 2020 terkontraksi sebesar -1,14 persen, pada triwulan II 2020 ini penurunannya lebih tajam yaitu -10,98 persen. Ketika disandingkan dengan provinsi lain, ekonomi Bali menempati posisi penurunan terdalam di Indonesia. Penurunan pada triwulan ini memang terjadi pada kategori lapangan usaha yang terkait dengan aktivitas pariwisata. Walaupun belum tersedia penyebutan kategori “Pariwisata” dalam penghitungan ekonomi dengan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), namun aktivitas “Pariwisata” tersebut bisa didekati dari kategori yang sekiranya terkait erat yaitu: kategori Transportasi, Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum, serta Jasa Lainnya.
Masih berdasarkan rilis oleh BPS Provinsi Bali, Transportasi terperosok menjadi kategori yang mengalami penurunan terdalam (-39,48 persen). Penurunan diakibatkan sebagai dampak pengendalian penyebaran wabah COVID-19. Pemerintah memberlakukan penghentian penerbangan komersial di bandara, pengetatan protokol lalu lintas darat sampai penyeberangan antar pulau (ASDP). Penurunan volume keberangkatan penumpang di Bandara Ngurah Rai turun tajam (internasional: -99,45 persen dan domestik:-94,79 persen).
Kategori Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum menempati urutan kedua yang mengalami penurunan terdalam (-33,10 persen). Dikatakan terkait erat dengan pariwisata karena kategori ini mencakup aktivitas yang sebagian besar ditujukan untuk melayani wisatawan seperti hotel, villa, restoran sampai café. Namun aktivitas penjualan makan minum keliling, warung makan sampai rumah kos juga tercakup pada kategori ini karena memang belum ada kategori yang khusus terkait “Pariwisata”. Sehingga untuk menggambarkan penurunan pada kategori ini digunakan indikator tingkat penghunian kamar hotel (TPK) yang menyatakan perbandingan antara jumlah kamar yang terjual dengan jumlah kamar yang tersedia. Dikutip dari laman:bali.bps.go.id, rata-rata TPK turun secara signifikan Jika pada triwulan II 2019 TPK hotel berbintang di Bali mencapai 53,99 persen, di masa pandemi ini hanya 2,45 persen. Beberapa hotel masih bisa beroperasi untuk melayani para ekspatriat yang tinggal di Bali ataupun wisatawan mancanegara yang masih belum bisa kembali ke negaranya karena ditutupnya akses transportasi. Beberapa hotel lainnya juga masih beroperasi karena dimanfaatkan sebagai tempat karantina para Pekerja Migran Indonesia. Di samping indikator statistik (BPS), penerimaan berupa pajak hotel dan restoran juga turun pada kisaran -50 sampai -90 persen. Penurunan komponen Pendapatan Asli Daerah ini semakin menjadi legalisasi atas “Gagal Panen Pariwisata Bali”.
Kategori selanjutnya yang juga mengalami penurunan adalah Jasa Lainnya (-7,23 persen), yang mencakup aktivitas seni pertunjukan, agro wisata, taman rekreasi, wisata tirta, SPA, karaoke, dan berbagai usaha lainnya. Gubernur Bali mengeluarkan Surat Edaran berupa himbauan untuk menutup tempat-tempat wisata. Penutupan tempat-tempat wisata sejak Maret 2020 tersebut, sudah tentu menghentikan proses produksi yang berarti “zero income”. Tapi hal itu ternyata tidak dibarengi dengan “zero cost”, karena maintenance rutin tetap diperlukan. Sebut saja para pelaku usaha tetap harus mengeluarkan biaya listrik, air, cairan pembersih, dsb untuk menjaga kondisi sarana prasarana mereka.
Terdapat kategori yang walaupun tidak terkait erat dengan pariwisata, namun juga terkena dampak pandemi COVID-19, yaitu Pengadaan Listrik dengan penurunan sebesar -21,04 persen. Mengutip data dari PLN Wilayah Bali, penjualan listrik menurun signifikan yaitu -17,60 persen, menyusul penerapan Work From Home dan School From Home serta pembatasan waktu operasional (untuk fasilitas umum).
Sejumlah besaran di atas, tentu sudah cukup menggambarkan terpuruknya ekonomi Bali saat ini. Dan memang tidak ada pilihan lain untuk membangkitkan ekonomi kecuali dengan membuka kembali keran wisatawan ke Bali. Kunjungan wisatawan ini secara berantai akan membangkitkan usaha transportasi, perhotelan, serta kategori lainnya sehingga pada akhirnya besaran kue ekonomi Bali pun meningkat. Karena ketika hanya melayani permintaan lokal masyarakat Bali saja, ternyata tidak mampu mendongkrak proses produksi. Dan sekali lagi, aktivitas pariwisata sudah terlalu mendominasi ekonomi Bali sehingga besaran nilai tambahnya jauh melampaui kategori-kategori lain.
Bali memang telah dibidik menjadi daerah yang dibuka pertama kali untuk pariwisata sebagaimana disampaikan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, dengan penurunan jumlah pasien COVID-19 sebagai salah satu pertimbangan. Pemprov Bali pun resmi memberlakukan new normal tahap pertama pada 9 Juli 2020. Selanjutnya pada 31 Juli 2020, Pemprov membuka Bali untuk wisatawan domestik. Pada tahapan selanjutnya, per 11 September 2020 Bali bersiap untuk menyambut wisatawan mancanegara.
Para pelaku pariwisata boleh bernafas lega dengan dibukanya pariwisata Bali. Namun ketika vaksin belum ditemukan, bisa dikatakan bahwa hygine menjadi perhatian utama bagi wisatawan dalam berwisata. Sungguh merupakan kebijakan yang tepat ketika kepemilikan sertifikasi penerapan protokol kesehatan dijadikan prasyarat utama bagi para pelaku industri pariwisata untuk dapat menjadi penyedia jasa bagi wisatawan (dikutip dari baliprov.go.id).
Namun sertifikasi bagi para pelaku pariwisata saja tidak cukup, yang lebih penting adalah bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat Bali untuk tetap menjalankan protokol kesehatan. Pemakaian masker dan cuci tangan harus sudah menjadi way of life. Karena dunia luar sedang mengintip bagaimana kesiapan Bali menyambut kedatangan mereka. Sudah barang tentu para calon pembawa devisa tersebut berpikir dua kali, ketika dirasa Virus Corona akan menghantui mereka ketika berlibur di Bali. Dan potensi citra negatif itu ada, karena pada hari pertama dibukanya kembali obyek wisata sudah beredar di media sosial bagaimana masyarakat beramai-ramai ke pantai dan tempat wisata tanpa masker sebagai perlindungan minimal. Pada kenyataannya di lapangan pun dengan mudah kita masih menemukan masyarakat berkerumun tanpa menggunakan masker. Dan bukan tidak mungkin kondisi tersebut tersebar di dunia maya yang berujung pada citra negatif Bali.
Belajar dari terpuruknya ekonomi Bali saat peristiwa Bom Bali 2002, tidak disangkal bahwa dunia pariwisata sangat rentan dengan isu keamanan. Untuk saat ini, disamping keamanan, pertimbangan terkait bagaimana perilaku preventif masyarakat lokal terhadap penyebaran virus dipastikan menjadi prioritas dalam berwisata. Sehingga ketika pariwisatalah yang menjadi solusi jitu untuk membangkitkan ekonomi, sudah seharusnya menjadi tanggung jawab kita bersama menjaga nama baik Bali. Patuhilah protokol kesehatan, jangan segan-segan mengintimidasi orang lain untuk memakai masker dan rajin cuci tangan. Dengan upaya dari seluruh masyarakat, niscaya ekonomi Bali akan kembali bangkit diawali dengan Panen Pariwisata di bulan-bulan mendatang.*
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar