Berharap Kemurahan Hati Wisatawan
Nasib Dokar di Tengah Kemajuan Kota Denpasar
Kisah manis dokar itu kini hanya kenangan. Kendaraan tradisional di Kota Denpasar semakin ditinggalkan warga.
DENPASAR, NusaBali
Kota Denpasar, sebelum terpisah dengan Kabupaten Badung, disebut Badung. Sekitar tahun 1970-1980an, kota ini nyaris disebut kota dokar. Karena, dibandingkan ibu kota kabupaten lain di Bali, Denpasar punya ruas jalan terbanyak, wilayah relatif luas, dengan tofografi jalan sangat datar. Dokar pun menjadi transportasi Kota Denpasar andalan, setelah bemo roda tiga.
Ketenaran dokar di Kota Denpasar pada zamannya ditandai, kendaraan bertenaga kuda ini pasti ada saja nangkring menunggu penumpang di semua terminal. Lebih-lebih Terminal Kereneng, Terminal Ubung, dan Terminal Tegal, yang menjadi titik nadi keramaian Badung kala itu. Sedangkan, jalan-jalan utama Kota Denpasar, antara lain mulai dari jalur wisata Sanur, Jalan Gajahmada, Jalan Sutoyo, Gunung Agung, Terminal Ubud, hingga pinggiran kota, diriuhkan gemerincing suara hiasan kuda dokar.
Kisah manis dokar itu kini hanya kenangan. Kendaraan tradisional di Kota Denpasar semakin ditinggalkan warga. Penyebabnya tiada lain karena tranportasi privat berupa sepeda motor dan mobil pribadi begitu marak. Hal ini sebagai wujud nyata kemajuan perkembangan Kota Denpasar, meski dampaknya kemacetan arus lalulintas makin tak terkendali. Kini, kusir (pengemudi) dokar yang sebelumnya jadi angkutan publik dan barang, kini harus tertatih-tatih mempertahankan kelestariannya. Keberadaan dokar semakin sedikit dan punah akibat kemajuan pesat teknologi.
Salah seorang kusir dokar ditemui di tempat mangkalnya, depan Gedung Merdeka, Jalan Untung Surapati, Kelurahan Dangin Puri, Denpasar Timur, Ketut Purna,75, mengatakan nasib kusir dokar saat ini tergantung perhatian Pemerintah Kota Denpasar. Dia bersama beberapa rekan kusir dokar lainnya sudah melakoni pekerjaan tersebut sejak tahun 1960 hingga sekarang. Sebelum melayani angkutan wisata, dia mengaku keseharian hanya mengangkut barang dagangan milik pelanggan. Di luar angkutan langganan, dipastikan tidak ada yang mau memakai jasa angkutan dokar. ‘’Karena hampir semua orang yang berbelanja ke pasar menggunakan kendaraan pribadi,’’ jelasnya.
Purna mengaku pasrah dengan nasib dokarnya. Lebih-lebih usianya sudah tua. Dia hanya mampu bertahan jadi kusir dokar, tak bisa beralih ke profesi lain. "Kalau dulu, penumpang dokar masih ramai. Sekarang makin banyak warga punya kendaraan pribadi. Jadi, saya hanya dapat angkuta barang langganan di pasar saja. Itu pun paling satu dua orang," jelasnya.
Dia mengakui, bantuan dari Pemkot Denpasar yang memanfaatkan tenaganya untuk mengangkut wisatawan masih menjadi berkah. Selain itu, ada subsidi dari pemerintah. "Saya pribadi bersyukur Senin dan Minggu kami disubsidi dapat perbulan sekitar Rp 2,5 juta dipotong administrasi. Jadi sisanya kami dapat dari penumpang dan sambil bawa barang juga di pasar," jelasnya.
Namun, Purna mengaku apes. Karena pandemi Covid-19 ini membuat dirinya kehilangan uang bulanan. Karena seluruh anggaran Pemkot Denpasar digeser dan tak lagi menyediakan anggaran untuk subsidi dokar. Dia dan rekannya hanya mengandalkan hidup dari penumpang yang tak pasti sejak April 2020.
Purna mengaku hanya bisa mengantongi Rp 25.000. Itu pun jika ada penumpang ingin diantar keliling sekitar Pura Jagatnata dan Lapangan Puputan Badung. Jika penumpang ingin melewati Jalan Gajah Mada, dia bisa mendapatkan Rp 50.000 per penumpang. "Itu kalau ada. Tapi sekarang susah. Bahkan satu hari bisa gak dapat apa-apa hanya nganggur aja di sini (depan Gedung Merdeka, Red). Saya pasrah saja. Kalau ambil pekerjaan lain, tenaga sudah tidak mampu. Sudah tua," imbuh pria yang tinggal di Banjar Buana Sari, Desa Dangin Puri Kaja, Denpasar Utara ini
Pemkot Denpasar melalui Dinas Pariwisata (Disparda) Kota Denpasar, telah berupaya mempertahankan keberadaan dokar di Kota Denpasar. Caranya, dokar difungsikan menjadi kendaraan penunjang pariwisata Kota Denpasar, terutama untuk memperkenalkan kawasan pelestarian kota.
Kepala Disparda Kota Denpasar MA Dezire Mulyani mengaku prihatin dengan keberadaan dokar yang semakin sedikit dan bahkan hampir hilang. Jelasnya, sebelumnya di Denpasar ada persatuan dokar Denpasar (Perdoden) yang menaungi dokar-dokar tersebut. Namun seiring waktu, Perdoden tidak ada lagi. "Entah sudah bubar atau gimana," ungkapnya, Sabtu (8/8).
Dezire mengetahui keberadaan dokar-dokar tersebut semakin sedikit. Pemkot Denpasar berupaya mencarikan solusi agar bisa dimanfaatkan kembali oleh masyarakat. Agar tetap lestari, dokar dan kusir dokar difungsikan sebagai penunjang kawasan wisata dengam diberikan subsidi setiap Sabtu dan Minggu. Sisanya, para kusir bisa mencari penumpang sendiri yang dibayar langsung oleh wisatawan. "Mereka kami subsidi Sabtu dan Minggu, penumpang gratis. Senin sampai Jumat penumpang bayar. Hasilnya mereka bisa gunakan sendiri sesuai dengan kebutuhan mereka. Itu bentuk kepedulian kami dengan angkutan tradisional yang menjadi ikon Kota Denpasar," ungkapnya.
Dezire mengatakan, untuk saat ini jumlah dokar yang diberdayakan baru delapan dokar dengan kusirnya. Sebab, di Denpasar belum ditemukan kembali kusir dokar lainnya. Sebab, kini masih didata karena selama ini yang masih mau melestatikan dokar hanya mereka yang sudah umur 45 - 70 tahun. "Kami masih mendata semoga ada generasi lagi nantinya," imbuh mantan Kabid ULP Kota Denpasar ini. *mis
Kota Denpasar, sebelum terpisah dengan Kabupaten Badung, disebut Badung. Sekitar tahun 1970-1980an, kota ini nyaris disebut kota dokar. Karena, dibandingkan ibu kota kabupaten lain di Bali, Denpasar punya ruas jalan terbanyak, wilayah relatif luas, dengan tofografi jalan sangat datar. Dokar pun menjadi transportasi Kota Denpasar andalan, setelah bemo roda tiga.
Ketenaran dokar di Kota Denpasar pada zamannya ditandai, kendaraan bertenaga kuda ini pasti ada saja nangkring menunggu penumpang di semua terminal. Lebih-lebih Terminal Kereneng, Terminal Ubung, dan Terminal Tegal, yang menjadi titik nadi keramaian Badung kala itu. Sedangkan, jalan-jalan utama Kota Denpasar, antara lain mulai dari jalur wisata Sanur, Jalan Gajahmada, Jalan Sutoyo, Gunung Agung, Terminal Ubud, hingga pinggiran kota, diriuhkan gemerincing suara hiasan kuda dokar.
Kisah manis dokar itu kini hanya kenangan. Kendaraan tradisional di Kota Denpasar semakin ditinggalkan warga. Penyebabnya tiada lain karena tranportasi privat berupa sepeda motor dan mobil pribadi begitu marak. Hal ini sebagai wujud nyata kemajuan perkembangan Kota Denpasar, meski dampaknya kemacetan arus lalulintas makin tak terkendali. Kini, kusir (pengemudi) dokar yang sebelumnya jadi angkutan publik dan barang, kini harus tertatih-tatih mempertahankan kelestariannya. Keberadaan dokar semakin sedikit dan punah akibat kemajuan pesat teknologi.
Salah seorang kusir dokar ditemui di tempat mangkalnya, depan Gedung Merdeka, Jalan Untung Surapati, Kelurahan Dangin Puri, Denpasar Timur, Ketut Purna,75, mengatakan nasib kusir dokar saat ini tergantung perhatian Pemerintah Kota Denpasar. Dia bersama beberapa rekan kusir dokar lainnya sudah melakoni pekerjaan tersebut sejak tahun 1960 hingga sekarang. Sebelum melayani angkutan wisata, dia mengaku keseharian hanya mengangkut barang dagangan milik pelanggan. Di luar angkutan langganan, dipastikan tidak ada yang mau memakai jasa angkutan dokar. ‘’Karena hampir semua orang yang berbelanja ke pasar menggunakan kendaraan pribadi,’’ jelasnya.
Purna mengaku pasrah dengan nasib dokarnya. Lebih-lebih usianya sudah tua. Dia hanya mampu bertahan jadi kusir dokar, tak bisa beralih ke profesi lain. "Kalau dulu, penumpang dokar masih ramai. Sekarang makin banyak warga punya kendaraan pribadi. Jadi, saya hanya dapat angkuta barang langganan di pasar saja. Itu pun paling satu dua orang," jelasnya.
Dia mengakui, bantuan dari Pemkot Denpasar yang memanfaatkan tenaganya untuk mengangkut wisatawan masih menjadi berkah. Selain itu, ada subsidi dari pemerintah. "Saya pribadi bersyukur Senin dan Minggu kami disubsidi dapat perbulan sekitar Rp 2,5 juta dipotong administrasi. Jadi sisanya kami dapat dari penumpang dan sambil bawa barang juga di pasar," jelasnya.
Namun, Purna mengaku apes. Karena pandemi Covid-19 ini membuat dirinya kehilangan uang bulanan. Karena seluruh anggaran Pemkot Denpasar digeser dan tak lagi menyediakan anggaran untuk subsidi dokar. Dia dan rekannya hanya mengandalkan hidup dari penumpang yang tak pasti sejak April 2020.
Purna mengaku hanya bisa mengantongi Rp 25.000. Itu pun jika ada penumpang ingin diantar keliling sekitar Pura Jagatnata dan Lapangan Puputan Badung. Jika penumpang ingin melewati Jalan Gajah Mada, dia bisa mendapatkan Rp 50.000 per penumpang. "Itu kalau ada. Tapi sekarang susah. Bahkan satu hari bisa gak dapat apa-apa hanya nganggur aja di sini (depan Gedung Merdeka, Red). Saya pasrah saja. Kalau ambil pekerjaan lain, tenaga sudah tidak mampu. Sudah tua," imbuh pria yang tinggal di Banjar Buana Sari, Desa Dangin Puri Kaja, Denpasar Utara ini
Pemkot Denpasar melalui Dinas Pariwisata (Disparda) Kota Denpasar, telah berupaya mempertahankan keberadaan dokar di Kota Denpasar. Caranya, dokar difungsikan menjadi kendaraan penunjang pariwisata Kota Denpasar, terutama untuk memperkenalkan kawasan pelestarian kota.
Kepala Disparda Kota Denpasar MA Dezire Mulyani mengaku prihatin dengan keberadaan dokar yang semakin sedikit dan bahkan hampir hilang. Jelasnya, sebelumnya di Denpasar ada persatuan dokar Denpasar (Perdoden) yang menaungi dokar-dokar tersebut. Namun seiring waktu, Perdoden tidak ada lagi. "Entah sudah bubar atau gimana," ungkapnya, Sabtu (8/8).
Dezire mengetahui keberadaan dokar-dokar tersebut semakin sedikit. Pemkot Denpasar berupaya mencarikan solusi agar bisa dimanfaatkan kembali oleh masyarakat. Agar tetap lestari, dokar dan kusir dokar difungsikan sebagai penunjang kawasan wisata dengam diberikan subsidi setiap Sabtu dan Minggu. Sisanya, para kusir bisa mencari penumpang sendiri yang dibayar langsung oleh wisatawan. "Mereka kami subsidi Sabtu dan Minggu, penumpang gratis. Senin sampai Jumat penumpang bayar. Hasilnya mereka bisa gunakan sendiri sesuai dengan kebutuhan mereka. Itu bentuk kepedulian kami dengan angkutan tradisional yang menjadi ikon Kota Denpasar," ungkapnya.
Dezire mengatakan, untuk saat ini jumlah dokar yang diberdayakan baru delapan dokar dengan kusirnya. Sebab, di Denpasar belum ditemukan kembali kusir dokar lainnya. Sebab, kini masih didata karena selama ini yang masih mau melestatikan dokar hanya mereka yang sudah umur 45 - 70 tahun. "Kami masih mendata semoga ada generasi lagi nantinya," imbuh mantan Kabid ULP Kota Denpasar ini. *mis
1
Komentar