Made Wiradana Gelar Open House Gallery di Rumah
Batal Pameran di Luar Negeri Karena Pandemi
DENPASAR, NusaBali
Made Wiradana dikenal sebagai salah satu seniman Bali yang kerap kali mengadakan pameran di kota-kota besar hingga luar negeri.
Namun sayang, situasi pandemi Covid-19 tak mengijinkannya melakukan hal tersebut di tahun 2020 ini. Serangkaian agendanya untuk mengadakan pameran di luar negeri pun kandas.
Seperti di bulan Oktober mendatang, seharusnya Made Wiradana sudah berada di Seoul, Korea Selatan. Sebanyak 26 lukisan dengan konsep primitifnya pun telah disiapkan. Namun sayang, ia harus mengurungkan. Alhasil, hanya karyanya saja yang diberangkatkan ke Korea. “Karena corona kami nggak berani berangkat, karya saja yang berangkat. Itu pamerannya Oktober nanti di Seoul Korea Selatan, sebanyak 26 lukisan. Nanti di jemput tanggal 28 Agustus langsung diberangkatkan,” ujarnya saat ditemui di galerinya yang berlokasi di Jalan Ratna, Desa Tonja, Denpasar, pada Kamis (26/8).
Selain menbatalkan pameran di Korea Selatan, beberapa jadwal pameran di negara-negara lainnya juga terpaksa dibatalkan karena situasi pandemi Covid-19 ini. Pada bulan Juni lalu, ia membatalkan pameran di Florence, Italia, dan pada bulan Mei juga membatalkan pamerannya di ibukota Australia, Canberra. “Yang bulan Juni saya mau berangkat ke Florence, Italia juga batal. Di-cancel karena covid. Selain itu juga di Canberra, Australia juga saya batal pameran, itu jadwalnya Mei kemarin. Rencananya saya pajang 26 lukisan. Tapi nggak jadi. Begitu juga yang di Florence rencananya 30 lukisan,” lanjut seniman asal Denpasar ini.
Khusus untuk kunjungannya ke Canberra, Wiradana juga sebelumnya berencana untuk berada di Canberra selama satu bulan untuk memberikan workshop seni lukis. “Maunya saya disana satu bulan, untuk pameran dan juga kasih workshop terkait konsep-konsep primitif saya,” terangnya.
Batalnya rangkaian agenda pameran di luar negeri ini tak membuat Wiradana patah arang. Ia pun melakukan Open House Gallery di rumahnya di kawasan Jalan Ratna, Denpasar. “Karena batal ya saya bikin aja open studio. Akhirnya mereka yang datang kesini. Beli lukisan saya. banyak yang datang, kolektor-kolektor nasional. Ada 14 karya yang laku saat saya bikin open studio itu,” paparnya.
Lukisan-lukisan yang dibuatnya, dipatok dengan harga dari Rp 60 juta dan paling mahal mencapai Rp 225 juta. “Harganya tergantug karya. Kalau yang dua meter ya Rp 60 juta. Paling mahal Rp 225 juta, yang bercerita tentang Ancient Energy. Tapi waktu open studio yang paling mahal terjual Rp 80 juta untuk satu lukisan. Selain itu tergantung pengerjaannya juga. Ada yang ukurannya kecil tapi harganya selangit. Greget karya seseorang kan beda-beda. Itu mempengaruhi harga juga,” beber perupa alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini.
Rumah yang kini sekaligus menjadi galeri tempatnya mengadakan Open House ini merupakan peninggalan orangtuanya. Rumah ini sempat ditinggalkannya ketika tengah menimba ilmu di Yogjakarta. Alhasil, rumah ini menjadi tidak terawat, bahkan beberapa bagiannya keropos. Ia pun bertekad untuk memperbaiki rumah dari hasil penjualan karya seni lukisnya.
Namun hasil dari penjualan lukisan tersebut tidak mencukupi untuk biaya renovasi dan pembangunan rumah. “Rumah ini peninggalan orangtua saya. Saat saya tinggal kuliah di Jogja rumah ini gak terawat. Akhirnya saya bertekad buat benerin rumah. Waktu itu melukis masih murah, sekitar Rp 500 ribu atau Rp 600 ribu lah paling mentok. Dan jarang ada yang beli,” tuturnya.
Sempat, karena biaya yang didapat dari hasil penjualan itu tidak mencukupi, Wiradana merasa putus asa. Ia pun sempat berpikir beralih profesi menjadi sales mie instan agar mendapat gaji yang tinggi. Akan tetapi niatnya terhalang oleh sang istri. “Gajinya lebih besar dan saya rasa cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tapi istri saya marah-marah. Katanya bikin malu aja sekolah seni jauh-jauh. Masak sarjana seni jadi sales. Dari sana saya jengah, saya berusaha bangkit akhirnya jadi seperti sekarang,” kenangnya.
Berkat perkataan istrinya tersebut, Wiradana pun membuat pameran tunggal untuk yang pertama kalinya di Purna Budaya Yogjakarta pada tahun 1999. Dengan modal hasil dari menggadaikan BPKB mertuanya, dalam pameran itu ia meraup hasil penjualan hingga ratusan juta rupiah. Sejak itulah, dirinya mulai mengadakan pameran tunggal dan mendapatkan tawaran untuk menggelar pameran, baik di dalam maupun di luar negeri.
“Saya buat pameran dengan dimodalin istri saya. BPKB orangtuanya digadaiin buat modalin saya. Lalu saya buat pameran pertama di Purna Budaya Jogja sekitar tahun 1999. Waktu itu saya belum pernah lihat uang yang namanya Rp 10 juta. Tapi saat itu saya dapat jualan lukisan Rp 350 juta. Akhirnya saya bangun rumah, merajan. Seniman itu harus berani lapar baru bisa maju,” tuntas seniman kelahiran 27 Oktober 1968 ini.*cr74
Seperti di bulan Oktober mendatang, seharusnya Made Wiradana sudah berada di Seoul, Korea Selatan. Sebanyak 26 lukisan dengan konsep primitifnya pun telah disiapkan. Namun sayang, ia harus mengurungkan. Alhasil, hanya karyanya saja yang diberangkatkan ke Korea. “Karena corona kami nggak berani berangkat, karya saja yang berangkat. Itu pamerannya Oktober nanti di Seoul Korea Selatan, sebanyak 26 lukisan. Nanti di jemput tanggal 28 Agustus langsung diberangkatkan,” ujarnya saat ditemui di galerinya yang berlokasi di Jalan Ratna, Desa Tonja, Denpasar, pada Kamis (26/8).
Selain menbatalkan pameran di Korea Selatan, beberapa jadwal pameran di negara-negara lainnya juga terpaksa dibatalkan karena situasi pandemi Covid-19 ini. Pada bulan Juni lalu, ia membatalkan pameran di Florence, Italia, dan pada bulan Mei juga membatalkan pamerannya di ibukota Australia, Canberra. “Yang bulan Juni saya mau berangkat ke Florence, Italia juga batal. Di-cancel karena covid. Selain itu juga di Canberra, Australia juga saya batal pameran, itu jadwalnya Mei kemarin. Rencananya saya pajang 26 lukisan. Tapi nggak jadi. Begitu juga yang di Florence rencananya 30 lukisan,” lanjut seniman asal Denpasar ini.
Khusus untuk kunjungannya ke Canberra, Wiradana juga sebelumnya berencana untuk berada di Canberra selama satu bulan untuk memberikan workshop seni lukis. “Maunya saya disana satu bulan, untuk pameran dan juga kasih workshop terkait konsep-konsep primitif saya,” terangnya.
Batalnya rangkaian agenda pameran di luar negeri ini tak membuat Wiradana patah arang. Ia pun melakukan Open House Gallery di rumahnya di kawasan Jalan Ratna, Denpasar. “Karena batal ya saya bikin aja open studio. Akhirnya mereka yang datang kesini. Beli lukisan saya. banyak yang datang, kolektor-kolektor nasional. Ada 14 karya yang laku saat saya bikin open studio itu,” paparnya.
Lukisan-lukisan yang dibuatnya, dipatok dengan harga dari Rp 60 juta dan paling mahal mencapai Rp 225 juta. “Harganya tergantug karya. Kalau yang dua meter ya Rp 60 juta. Paling mahal Rp 225 juta, yang bercerita tentang Ancient Energy. Tapi waktu open studio yang paling mahal terjual Rp 80 juta untuk satu lukisan. Selain itu tergantung pengerjaannya juga. Ada yang ukurannya kecil tapi harganya selangit. Greget karya seseorang kan beda-beda. Itu mempengaruhi harga juga,” beber perupa alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini.
Rumah yang kini sekaligus menjadi galeri tempatnya mengadakan Open House ini merupakan peninggalan orangtuanya. Rumah ini sempat ditinggalkannya ketika tengah menimba ilmu di Yogjakarta. Alhasil, rumah ini menjadi tidak terawat, bahkan beberapa bagiannya keropos. Ia pun bertekad untuk memperbaiki rumah dari hasil penjualan karya seni lukisnya.
Namun hasil dari penjualan lukisan tersebut tidak mencukupi untuk biaya renovasi dan pembangunan rumah. “Rumah ini peninggalan orangtua saya. Saat saya tinggal kuliah di Jogja rumah ini gak terawat. Akhirnya saya bertekad buat benerin rumah. Waktu itu melukis masih murah, sekitar Rp 500 ribu atau Rp 600 ribu lah paling mentok. Dan jarang ada yang beli,” tuturnya.
Sempat, karena biaya yang didapat dari hasil penjualan itu tidak mencukupi, Wiradana merasa putus asa. Ia pun sempat berpikir beralih profesi menjadi sales mie instan agar mendapat gaji yang tinggi. Akan tetapi niatnya terhalang oleh sang istri. “Gajinya lebih besar dan saya rasa cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tapi istri saya marah-marah. Katanya bikin malu aja sekolah seni jauh-jauh. Masak sarjana seni jadi sales. Dari sana saya jengah, saya berusaha bangkit akhirnya jadi seperti sekarang,” kenangnya.
Berkat perkataan istrinya tersebut, Wiradana pun membuat pameran tunggal untuk yang pertama kalinya di Purna Budaya Yogjakarta pada tahun 1999. Dengan modal hasil dari menggadaikan BPKB mertuanya, dalam pameran itu ia meraup hasil penjualan hingga ratusan juta rupiah. Sejak itulah, dirinya mulai mengadakan pameran tunggal dan mendapatkan tawaran untuk menggelar pameran, baik di dalam maupun di luar negeri.
“Saya buat pameran dengan dimodalin istri saya. BPKB orangtuanya digadaiin buat modalin saya. Lalu saya buat pameran pertama di Purna Budaya Jogja sekitar tahun 1999. Waktu itu saya belum pernah lihat uang yang namanya Rp 10 juta. Tapi saat itu saya dapat jualan lukisan Rp 350 juta. Akhirnya saya bangun rumah, merajan. Seniman itu harus berani lapar baru bisa maju,” tuntas seniman kelahiran 27 Oktober 1968 ini.*cr74
Komentar