PPDB Masih Banyak Kekisruhan
Temuan kedua adalah adanya persebaran sekolah yang belum merata, seperti ditemukan di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan daerah lainnya.
JAKARTA, NusaBali
Ombudsman Republik Indonesia menyatakan penyelenggaraan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sudah mengalami perbaikan, tapi masih belum cukup. Karena secara umum masih terjadi kekisruhan yang disebabkan belum meratanya sarana pendidikan.
"Penyelenggaraan PPDB tahun ini terjadi ketidakcukupan akan akses internet. Sehingga, metode daring tidak memadai. Belum terintegrasinya data termasuk dengan swasta dan Kementerian Agama juga menjadi salah satu temuan di lapangan," ujar Anggota Ombudsman, Ahmad Suaedy dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Dalam pemantauan tersebut, Ombudsman mengumpulkan temuan terkait Keterbatasan Daya Tampung dan Fasilitas Pendidikan, baik pada tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), maupun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Suaedy mengungkapkan seharusnya dengan memperhatikan Dapodik tersebut, pemerintah sudah mempunyai langkah-langkah nyata mengenai mekanisme pelaksanaan PPDB, sehingga tidak ada siswa yang tidak tertampung pada satuan pendidikan lanjutan. "Data ini harusnya juga bisa menjadi rujukan dalam melakukan pemerataan fasilitas pendidikan, terutama di daerah 'blank spot' atau 'remote area',” kata Suaedy.
Temuan kedua adalah adanya persebaran sekolah yang belum merata, seperti ditemukan di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan daerah lainnya di wilayah perwakilan Ombudsman.
Temuan ketiga, adanya penggunaan Surat Keterangan Domisili yang menggugurkan kewajiban penggunaan Kartu Keluarga. Penggunaan Surat Keterangan Domisili sangat berpotensi terjadi mal-administrasi, karena keterangan dalam Surat Keterangan Domisili yang menyebutkan sudah tinggal minimal satu tahun tidak didukung dengan pemeriksaan lapangan.
Dalam ketentuan Surat Keterangan Domisili juga ditegaskan bahwa dilegalisasi oleh lurah/kepala desa atau pejabat yang berwenang. Hal itu menyebabkan ketidakseragaman pejabat yang melakukan legalisasi Surat Keterangan Domisili selain lurah/kepala desa, antara lain oleh Sekretaris, Kasi Pemerintahan, Kasi Pemberdayaan Masyarakat dan lainnya.
Temuan keempat, pada Pasal 19 Permendikbud PPDB tidak mengatur waktu penerbitan surat penugasan seperti pada Kartu Keluarga maupun bukti prestasi.
Selain itu, tidak dijelaskan apakah yang dimaksud perpindahan tugas harus dilakukan antarkota/kabupaten atau bisa berasal dari satu kota/kabupaten yang sama.
Temuan kelima, terkait polemik zonasi dan zonasi Bina RW pada PPDB Provinsi DKI Jakarta. Permasalahan terjadi karena jarak rumah yang dekat dengan sekolah, namun berbeda RW tidak menjadi prioritas untuk diterima oleh sekolah tersebut.
“Sebaran sekolah yang tidak merata pada setiap RW menyulitkan siswa untuk masuk sekolah negeri. Banyaknya pilihan jalur zonasi pada PPDB DKI Jakarta nyatanya tidak menjadikan alternatif penyelesaian, justru menimbulkan permasalahan baru hingga menyulitkan siswa mengikuti proses PPDB. Pemerintah DKI Jakarta dalam membuat aturan kebijakan PPDB harusnya lebih memperhatikan sarana prasarana yang tersedia pada setiap wilayah," terang Suaedy.
Ombudsman menyarankan pemerintah untuk melanjutkan jalur penerimaan peserta didik melalui jalur zonasi dengan perencanaan yang sistematik dan komprehensif serta pengawasan yang lebih ketat. Selain itu, pemerataan sekolah di setiap kecamatan di seluruh wilayah Indonesia harus diberi target waktu disertai kesetaraan dan peningkatan mutu.
Sedangkan untuk pelaksanaan anggaran 20 persen untuk pendidikan di pusat dan daerah harus ditertibkan secara konsisten sesuai dengan regulasi.
Selain itu, Ombudsman juga mengimbau agar memperluas pengelolaan pendidikan, tidak hanya sekolah negeri, tetapi secara sinkron dan sistemik dengan sekolah swasta dan satuan pendidikan di bawah Kementerian Agama.
Dalam perbaikan teknis Ombudsman menyarankan agar melakukan uji coba sistem penyelenggaraan PPDB secara daring paling lambat dua bulan sebelum pelaksanaan PPDB untuk menghindari kendala dalam sistem, serta menentukan langkah mitigasi jika terjadi kendala dalam sistem, untuk setiap daerah.
Kemendikbud juga diimbau untuk menginstruksikan seluruh penyelenggara PPDB di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota untuk menyediakan sarana dan prasarana yang memadai seperti bandwidth server pada website PPDB online, koneksi internet dan ketersediaan aplikasi yang mudah digunakan bagi calon siswa atau orang tua/wali dalam pelaksanaannya, serta bekerja sama dengan lembaga dan kementerian lain.
Ombudsman juga menyarankan agar Menteri Agama melakukan pengkajian ulang mengenai pembiayaan PPDB. Misalnya pungutan dan/atau sumbangan yang terkait dengan pelaksanaan PPDB maupun perpindahan peserta didik, atau pungutan seragam dan/atau buku yang dikaitkan dengan pelaksanaan PPDB dan sumbangan lainnya.
Kementerian Dalam Negeri disarankan untuk memudahkan dalam verifikasi berkas administrasi kependudukan, terutama dalam rangka pengecekan waktu penerbitan Kartu Keluarga agar tidak rentan pemalsuan dokumen serta melakukan beberapa pengaturan terkait PPDB. *ant
"Penyelenggaraan PPDB tahun ini terjadi ketidakcukupan akan akses internet. Sehingga, metode daring tidak memadai. Belum terintegrasinya data termasuk dengan swasta dan Kementerian Agama juga menjadi salah satu temuan di lapangan," ujar Anggota Ombudsman, Ahmad Suaedy dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Dalam pemantauan tersebut, Ombudsman mengumpulkan temuan terkait Keterbatasan Daya Tampung dan Fasilitas Pendidikan, baik pada tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), maupun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Suaedy mengungkapkan seharusnya dengan memperhatikan Dapodik tersebut, pemerintah sudah mempunyai langkah-langkah nyata mengenai mekanisme pelaksanaan PPDB, sehingga tidak ada siswa yang tidak tertampung pada satuan pendidikan lanjutan. "Data ini harusnya juga bisa menjadi rujukan dalam melakukan pemerataan fasilitas pendidikan, terutama di daerah 'blank spot' atau 'remote area',” kata Suaedy.
Temuan kedua adalah adanya persebaran sekolah yang belum merata, seperti ditemukan di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan daerah lainnya di wilayah perwakilan Ombudsman.
Temuan ketiga, adanya penggunaan Surat Keterangan Domisili yang menggugurkan kewajiban penggunaan Kartu Keluarga. Penggunaan Surat Keterangan Domisili sangat berpotensi terjadi mal-administrasi, karena keterangan dalam Surat Keterangan Domisili yang menyebutkan sudah tinggal minimal satu tahun tidak didukung dengan pemeriksaan lapangan.
Dalam ketentuan Surat Keterangan Domisili juga ditegaskan bahwa dilegalisasi oleh lurah/kepala desa atau pejabat yang berwenang. Hal itu menyebabkan ketidakseragaman pejabat yang melakukan legalisasi Surat Keterangan Domisili selain lurah/kepala desa, antara lain oleh Sekretaris, Kasi Pemerintahan, Kasi Pemberdayaan Masyarakat dan lainnya.
Temuan keempat, pada Pasal 19 Permendikbud PPDB tidak mengatur waktu penerbitan surat penugasan seperti pada Kartu Keluarga maupun bukti prestasi.
Selain itu, tidak dijelaskan apakah yang dimaksud perpindahan tugas harus dilakukan antarkota/kabupaten atau bisa berasal dari satu kota/kabupaten yang sama.
Temuan kelima, terkait polemik zonasi dan zonasi Bina RW pada PPDB Provinsi DKI Jakarta. Permasalahan terjadi karena jarak rumah yang dekat dengan sekolah, namun berbeda RW tidak menjadi prioritas untuk diterima oleh sekolah tersebut.
“Sebaran sekolah yang tidak merata pada setiap RW menyulitkan siswa untuk masuk sekolah negeri. Banyaknya pilihan jalur zonasi pada PPDB DKI Jakarta nyatanya tidak menjadikan alternatif penyelesaian, justru menimbulkan permasalahan baru hingga menyulitkan siswa mengikuti proses PPDB. Pemerintah DKI Jakarta dalam membuat aturan kebijakan PPDB harusnya lebih memperhatikan sarana prasarana yang tersedia pada setiap wilayah," terang Suaedy.
Ombudsman menyarankan pemerintah untuk melanjutkan jalur penerimaan peserta didik melalui jalur zonasi dengan perencanaan yang sistematik dan komprehensif serta pengawasan yang lebih ketat. Selain itu, pemerataan sekolah di setiap kecamatan di seluruh wilayah Indonesia harus diberi target waktu disertai kesetaraan dan peningkatan mutu.
Sedangkan untuk pelaksanaan anggaran 20 persen untuk pendidikan di pusat dan daerah harus ditertibkan secara konsisten sesuai dengan regulasi.
Selain itu, Ombudsman juga mengimbau agar memperluas pengelolaan pendidikan, tidak hanya sekolah negeri, tetapi secara sinkron dan sistemik dengan sekolah swasta dan satuan pendidikan di bawah Kementerian Agama.
Dalam perbaikan teknis Ombudsman menyarankan agar melakukan uji coba sistem penyelenggaraan PPDB secara daring paling lambat dua bulan sebelum pelaksanaan PPDB untuk menghindari kendala dalam sistem, serta menentukan langkah mitigasi jika terjadi kendala dalam sistem, untuk setiap daerah.
Kemendikbud juga diimbau untuk menginstruksikan seluruh penyelenggara PPDB di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota untuk menyediakan sarana dan prasarana yang memadai seperti bandwidth server pada website PPDB online, koneksi internet dan ketersediaan aplikasi yang mudah digunakan bagi calon siswa atau orang tua/wali dalam pelaksanaannya, serta bekerja sama dengan lembaga dan kementerian lain.
Ombudsman juga menyarankan agar Menteri Agama melakukan pengkajian ulang mengenai pembiayaan PPDB. Misalnya pungutan dan/atau sumbangan yang terkait dengan pelaksanaan PPDB maupun perpindahan peserta didik, atau pungutan seragam dan/atau buku yang dikaitkan dengan pelaksanaan PPDB dan sumbangan lainnya.
Kementerian Dalam Negeri disarankan untuk memudahkan dalam verifikasi berkas administrasi kependudukan, terutama dalam rangka pengecekan waktu penerbitan Kartu Keluarga agar tidak rentan pemalsuan dokumen serta melakukan beberapa pengaturan terkait PPDB. *ant
1
Komentar