(Bukan) Orang Bali Jadi Dirjen
Di Indonesia, Hindu itu selalu identik dengan Bali. Siapa pun hendak mengkaji Hindu mesti datang ke Bali.
Kendati riwayat Hindu itu ada di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Jawa, tapi Bali pasti yang mesti ditelaah pertama kali.
Dalam pertemuan orang-orang se-Tanah Air di Jakarta atau di mana saja di luar Bali, jika seseorang berkenalan dan tahu orang itu mengaku dari Bali, pasti ia yakin teman barunya ini Hindu. Atau boleh jadi ia bertanya, “Dari mana?” Jika jawaban yang diterima, “Dari Bali,” pasti ia yakin ini orang pemeluk Hindu.
Dari dulu begitu, sampai sekarang. Maka kalau ada kegiatan menyangkut Hindu, pasti orang Bali diberi peran penting. Seakan-akan Hindu yang ada di luar Bali itu tidak seistimewa Hindu di Bali. Bahkan dianggap mengherankan, kalau kegiatan-kegiatan keagamaan menyangkut Hindu berikut kepemimpinan organisasi dan pernik-perniknya, tidak melibatkan orang Bali. Di Indonesia, Hindu itu ya milik Bali. Begitu seakan-akan.
Sejarahnya memang begitu. Sejak pertama kali Dirjen Bimas Hindu (awalnya Dirjen Bimas Hindu dan Budha) dibentuk tahun 1966, yang menjabat dirjen ya orang Bali, I.B.P Mastra (1966-1973). Setelah itu susul menyusul dirjennya selalu orang Bali. Gde Pudja, SH., MA (1973-1985), Drs. I Gusti Agung Gede Putra (1985-1994), I Ketut Pasek (1994 1997), Brigjen TNI Ir. I Wayan Gunawan (1997-2000), Drs. I Wayan Suarjaya, M.Si (2000-2006), Prof. Dr. IBG Yudha Triguna, MS (2006-2014) dan Prof. Drs. I Ketut Widnya, M.A., M.Phil., Ph.D (2014-2020).
Semuanya orang Bali, bukan? Padahal, sejak ada kesepakatan hanya satu Hindu, Hindu Dharma, di Tanah Air, ya pemeluk Hindu tersebar di seluruh Nusantara. Tapi, yang paling hebat dan sungguh-sungguh Hindu seakan-akan hanya orang Bali. Umat Hindu di daerah lain seakan lebih tipis kehinduan mereka, sehingga harus belajar banyak pada orang Bali. Apalagi kemudian dirjen itu berpendidikan tinggi, bergelar doktor dan profesor. Sementara mencari umat Hindu dengan pendidikan setinggi itu di luar Bali tidak semudah memilihnya di Bali.
Maka tatkala digelar pengajuan calon dirjen baru tahun 2020, mengganti Ketut Widnya, kandidatnya yang pasti orang Bali juga. Tapi, tidak sepenuhnya Bali. Selain Guru Besar IHDN Denpasar Prof Dr Drs I Nengah Duija MSi, Guru Besar Ilmu Manajemen Undiknas Prof Dr Ida Bagus Raka Suardana SE MM, turut bertanding memperebutkan kursi Dirjen Bimas Hindu, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Wilayah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (TPSW-BPPT) merangkap Kepala Balai Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC-BPPT) Dr Tri Handoko Seto.
Kejutan terjadi ketika yang terpilih sebagai Dirjen Bimas Hindu adalah Tri Handoko Seto. Dia bukan orang Bali, tanah kelahirannya Banyuwangi. Ia putra Blambangan, seakan melabrak pakem, tradisi, karena mencatat sejarah baru kali ini Hindu punya dirjen bukan orang Bali.
Banyak yang berharap pada kepemimpinan Mas Seto (begitu ia akrab dipanggil) ini. Ia dinilai pasti paham betul bagaimana tidak mudah menjadi sosok minoritas. Ia bagian minoritas dari kaum beragama di Indonesia. Sekelilingnya adalah orang-orang yang pemeluk agama terbesar, yang menjadi kerabatnya, sehingga sungguh merasakan bagaimana menjaga kekerabatan dalam perbedaan.
Di antara umat Hindu, karena ia bukan orang Bali, ia juga minoritas. Tentu ia paham bagaimana menjaga perbedaan dengan kerabat-kerabat sedharma, yang pasti memiliki penghayatan Hindu yang berbeda karena tradisi setempat. Bisa jadi banyak orang Bali yang fanatik pada tradisi mereka menyangsikan Seto bisa memberi tempat umat Hindu etnis Bali seperti dirjen-dirjen pendahulunya yang asli Bali.
Mereka yang setuju dan berpihak pada Seto menyatakan, ini sebuah kesempatan untuk melihat perkembangan Hindu Nusantara. Sebuah masa untuk menunjukkan ke dunia luar, bahwa Hindu itu bukan Bali semata. Ini sebuah kesempatan bagus bagi umat Hindu di Bali dan yang tersebar di Sumatera, Sulawesi, Jawa, Papua, Kalimantan, untuk menghargai dan memupuk terus semangat Hindu Indonesia.
Umat Hindu di pulau-pulau itu lebih membutuhkan tuntunan, agar mereka terhindar dari guncangan-guncangan. Mereka diajak terbuka untuk meneruskan Hindu sesuai tradisi mereka, tak perlu meniru Bali. Dan ini tantangan Mas Seto beserta divisinya, untuk meyakinkan umat, betapa kita punya perbedaan dalam sebuah persamaan yang besar.
Ada yang pernah bertanya, sedihkah orang Bali jika kali ini Dirjen Bimas Hindu lepas dari genggaman mereka? Ada yang menjawab sedih, ada pula yang berkomentar sebaiknya Dirjen Bimas Hindu tetap orang Bali. Ada pula berpendapat, bagi orang Bali tidak masalah siapa pun dirjennya, yang penting menggelorakan aspirasi Hindu Nusantara ke panggung Tanah Air.
Muncul pula komentar, sepertinya agak ekstrim, menyatakan Bali itu sesungguhnya tidak butuh dirjen. Tidak ada dirjen, bagi umat Hindu di Bali, juga tidak apa-apa. Hindu di Bali sudah terlalu sanggup melangkah sendiri. Lalu, apa yang dibutuhkan oleh orang Bali?
Yang dibutuhkan adalah sulinggih, pamangku, dan tukang banten. Merekalah yang menuntun orang Bali dalam berupacara dan beragama. Di tahun 70-80an ada sangat sedikit sulinggih di Bali. Ketika itu ekonomi orang Bali menanjak bagus, sehingga mereka kerap melakukan upacara. Akibatnya umat sering rebutan sulinggih untuk muput upakara.
Jika di Bali tidak ada sulinggih, barulah gawat situasinya. Dirjen biarlah mengurus hal-hal yang bersangkut paut dengan program keumatan di bidang pendidikan dan penghayatan beragama terutama bagi umat Hindu di luar Bali. Jadi, tidak apa-apa bukan orang Bali jadi dirjen. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar