Dari Babi Guling ke Bebek Guling
WABAH Covid-19 membuat Bali yang biasanya riang gembira menjadi murung.
Mereka yang lazimnya sigap, jadi lunglai. Umat yang biasanya gembira ria menyambut Hari Raya Galungan lesu, kehilangan gairah, dan mulai berpikir, sebaiknya tidak ngegalung kali ini. Tapi, mereka takut tidak ngegalung, khawatir leluhur marah, dan menimpakan yang tidak diinginkan. Hyang Widhi menjauh, dan malapetaka akan semakin besar.
Tak ada wisatawan yang datang. Biasanya para penikmat plesir itu berkunjung buat happy-happy. Karena yang datang orang happy, berkunjung ke manusia-manusia penghuni Bali yang bahagia, maka meriahlah Bali bersama kegembiraan itu. Penjor-penjor yang berjajar, aroma dupa dan kemenyan yang dibakar menebar wangi, sesajen berhias bunga-bunga, wanita cantik berkebaya ke tempat-tempat suci, melengkapi kebahagiaan itu ke titik puncak.
Tapi, puncak itu sulit ditemui di masa pandemi ini. Tak ada cukup uang buat kemeriahan itu. Orang-orang justru ingin berhari raya sehemat mungkin, seperti dilakoni Ketut Pangus, bungsu dari empat bersaudara. Keluarga Pangus biasanya merayakan Galungan semeriah mungkin. Anak-anak yang sudah menikah dia anjurkan pulang, berkumpul, sembahyang di merajan bersama.
Ada hidangan lezat lawar yang dikukus sisa ebatan kemarin di Hari Penampahan. Ada ayam panggang dan betutu, sate babi, balung berkuah, dan tum lezat. Keluarga itu menikmati masakan sepuas-puasnya. Yang suka pedas tersedia sambal uyah-sere-tabia, yang membuat rongga mulut nikmat seperti terbakar, dan bibir bergetar-getar seperti ditampar hawa dingin pegunungan.
Ketut Pangus bungsu dari empat bersaudara. Tiga kakaknya perempuan, menikah ke kota-kota berbeda. Seorang ke Buleleng, satu ke Karangasem, seorang lagi ke Tabanan. Kini tinggal Ketut yang mengurus merajan di Denpasar. Dia menjadi pewaris di keluarga itu. Dialah yang bertanggung jawab meneruskan tradisi mengurus merajan, tempat suci para leluhurnya bersemayam.
Setiap merayakan Hari Sugian, enam hari menjelang Galungan, keluarga Pangus melaksanakan upacara mererebu dengan babi guling. Pangus tak pernah peduli jika orang-orang berdebat tentang Sugian Jawa dan Sugian Bali. Kalau Sugian Jawa itu untuk umat keturunan yang datang dari Majapahit, orang-orang dari Jawa. Kalau Sugian Bali, nah, itu baru buat orang Bali. Bagi Pangus, yang penting Sugian Jawa ketika Wraspati Sungsang mesti disertai babi guling. Dan babi guling yang sangat lezat itu, usai dipersembahkan di merajan, mereka nikmati bersama-sama. Ini seperti babak pendahuluan sebelum kembali menikmati lawar saat Hari Penampahan lima hari lagi.
Tapi, wabah membuat semua berubah. Tak ada cukup uang untuk mererebu dengan babi guling. Pangus berniat tidak usah mererebu, Sugian dilakukan sederhana, tanpa babi guling, cukup ayam panggang. Kepada teman dekatnya dosen Institut Hindu Dharma (IHD), dia minta pendapat.
“Ya bisa saja, tidak apa-apa,” ujar si teman. “Berupacara harus dilaksanakan sesuai kemampuan kita.”
“Tapi, ini sudah tradisi. Kalau tidak mererebu dengan babi guling, aku melanggar tradisi. Aku takut dikutuk.”
Si teman tetap bersikukuh tidak apa-apa tanpa babi guling. “Atau begini saja, kamu bisa ganti babi guling itu dengan bebek guling. Bukankah bebek itu unggas suci? Harganya jauh lebih murah dibanding babi guling yang berjuta-juta.”
Dahi Pangus berkerut, menimbang-nimbang pendapat temannya.
“Kalau kamu setuju, aku punya penyedia bebek guling yang lezat, bumbunya banyak, dapat bonus sambel matah,” tambah si dosen berpromosi, sembari merogoh saku, mengambil HP, scrolling contact mencari nomor penyedia bebek guling itu. Dia sodorkan layar HP ke wajah Pangus. “Nih, nomornya.”
“Tak berani aku memutuskan, aku harus ke griya, bertanya pada sulinggih, orang suci, minta izin apakah diperkenankan mengganti babi guling dengan bebek guling. Kalau saja kamu orang suci, sudah aku ikuti langsung saranmu. Tapi, kamu kan dosen, bukan orang suci.”
Keberuntungan berpihak pada Pangus. Pendeta mengizinkan babi diganti bebek. “Melaksanakan upacara, menghaturkan persembahan, harus semampu kita, dengan tulus, sehingga yang kita persembahkan sampai,” begitu alasan pendeta, sesungguhnya tak beda dengan pendapat dosen IHD itu.
Pangus akhirnya memutuskan mengganti babi guling dengan bebek guling di hari mererebu. Malam-malam sebelum upacara dilangsungkan, dia gelisah selalu, tak nyenyak tidur, sering bengong, seakan sangat bersalah. Dia khawatir stres, depresi, dan amit-amit jangan sampai stroke. Kalau sampai dia sakit, berat dan repot sekali keluarganya, harus membawanya ke rumah sakit yang sesak oleh pasien Covid.
Dia mengajak istrinya bersemadi, berdoa khusuk di merajan sehari sebelum mererebu. Dia berdoa agar tidak disalahkan Hyang Widhi, dan leluhur bersedia memaklumi keadaan ini, semata disebabkan ekonomi keluarga terpuruk akibat wabah.
“Saya harus mohon apa dalam doa, Bli?” tanya istrinya lugu.
“Berdoalah agar permohonan yang Bli sampaikan dalam doa terkabul. Ini namanya doa dalam doa, biasanya ampuh. Di hari Galungan seperti ini kita harus gotong royong dalam berdoa. Doa yang disampaikan ramai-ramai biasanya lebih manjur,” sahut Pangus, pelan.
Si istri manggut-manggut, pelan-pelan juga. Perempuan ini merasa, tumben suaminya jadi religius begini, gara-gara mengganti babi guling dengan bebek guling. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar