Nasi Kuning Kuningan
Kuliner Bali sesungguhnya tidak mengenal menu nasi kuning. Orang Bali cuma mengenal nasi putih, sebagian kecil menyukai nasi beras merah, yang sering disebut-sebut sebagai nasi sehat, terutama oleh penderita diabetes.
Tapi, tidak berarti sulit mencari menu nasi kuning di Bali. Belakangan, nasi kuning justru semakin banyak peminatnya, mudah dijumpai di tempat-tempat mentereng, restoran beken, sampai di kaki lima. Justru yang paling mudah dijumpai di warung-warung kecil. Nasi kuning dijual di pinggir jalan, menjadi makanan kelas rakyat, kendati juga sangat diminati kelas atas.
Nasi kuning banyak dijual sebagai nasi bungkus di kaki lima. Biasanya dijual pagi, buat sarapan. Banyak pekerja kantoran yang membeli sebungkus cuma. Pedagang-pedagang itu menggelar meja dan kursi-kursi, di atas meja ada kerupuk, juga air mineral. Kalau mau pesan teh hangat atau kopi, silakan.
Ada pedagang menggunakan sepeda motor, parkir di kaki lima juga. Beberapa penjual nasi kuning pakai rombong, sekalian menjual pisang goreng atau pulung-pulung ubi. Kalau kerupuk sudah pasti tersedia. Semua penjual nasi kuning pasti menjual kerupuk, beberapa dilengkapi keripik. Kerupuk dan keripik seakan menjadi kawan setia nasi kuning.
Ada tiga rentang harga seporsi nasi kuning kaki lima: Rp 5.000, Rp 7.000 (entah mengapa tidak Rp 7.500) dan Rp 10.000. Ini harga standar nasi kuning. Kayaknya, yang Rp 5.000 itu mau menyaingi harga nasi jinggo. Sajian lauk masing-masing harga ini – tempe, tahu, ayam sisit, telur, mie dan teri – tidak beda banyak, cuma nasinya yang berlebih.
“Kalau beli yang sepuluh ribu, bisa kenyang dari pagi hingga siang,” ujar seorang pembeli. Yang membedakan adalah sambalnya, menjadikan nasi kuning satu lebih lezat dibanding yang lain. Ada yang menambahinya dengan daun kemangi, sehingga nasi jadi harum, menggugah selera, memicu lapar.
Jika kita menyusuri trotoar di Jalan Pulau Kawe Denpasar, terus ke selatan ke Jalan Pulau Bungin, Pulau Belitung dan Pulau Moyo, bisa bersua belasan penjual nasi kuning. Mereka bersaing memperebutkan rezeki dengan tiga macam harga itu. Beberapa bahkan berpromosi pasang standing di trotoar, menghalangi hak pejalan kaki. Ada yang buka sepanjang pagi hingga malam, ada pula yang buka mulai petang. Maka lengkaplah pedagang nasi kuning ini bersaing dengan pedagang nasi pecel lele dan lawar nasi bali.
Hampir semua pedagang itu pendatang dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Solo, Jogja, tak sedikit orang Sunda.
Karena dagangan mereka laris, belakangan banyak orang Bali ikut jual nasi kuning di kaki lima. Tapi, mereka menolak dituding ikut-ikutan. Orang Bali ini mencoba nasi kuning yang khas Bali.
Di Jalan Pulau Ayu Denpasar, dekat Hotel Amaris, ada orang Bali menjual nasi kuning dengan rasa khas Bali itu. Selain sambal merah, ia menambahkan bumbu dari garam, terasi, cabai serta bawang merah dan putih goreng, seperti biasanya kalau orang Bali memberi tambahan bumbu lawar saat disantap. Biasanya, sebelum menambah bumbu itu si pedagang bertanya kepada si pembeli, apakah mau ditambah bumbu bali?
Di zaman pandemi Covid-19 ini, tampaknya kian subur tumbuh pedagang nasi kuning kaki lima baru. Karena harganya terjangkau, orang banyak yang suka.
Jika kita berkeliling Denpasar ketika pagi, pasti bersua kerumunan pembeli nasi kuning. Harganya yang Rp 5.000 sebungkus lebih murah dari roti, kenyang buat sarapan, cocok di zaman penghematan ini.
Tapi, nasi kuning bukan monopoli kaki lima. Nasi gurih ini jika disajikan berbentuk tumpeng, bisa terkerek tinggi gengsinya, lazim disuguhkan dalam acara syukuran. Orang kaya, pejabat, sering menyuguhkan tumpeng nasi kuning jika berulang tahun. Ulang tahun kantor-kantor, perusahaan-perusahaan besar, sering diperingati dengan memotong tumpeng nasi kuning, bukan kue tar. Nasi kuning menjadi tradisi buat mensyukuri keberhasilan.
Nasi kuning juga sering dimaknai sebagai sebuah kehormatan, menghargai senioritas. Sebuah sekolah menengah atas selalu menyuguhkan nasi kuning ketika merayakan ulang tahun. Potongan pertama, puncak tumpeng, diserahkan kepada guru atau karyawan tertua. Saat ulang tahun lain kali, puncak tumpeng diserahkan kepada tukang kebun sekolah. Nasi kuning menjadi refleksi kesetaraan.
Menghargai tradisi dengan nasi kuning juga dilakukan oleh Wayan Gejer bersama keluarganya. Gejer lahir kembar, adiknya yang lahir lima menit kemudian diberi nama Made Gejir, meninggal seminggu setelah lahir. Si ibu pada kehamilan kedua juga melahirkan kembar. Orang-orang menyebutnya sebagai ibu ajaib, karena dua kali hamil, keduanya kembar. Anak ketiga lahir selamat, tapi kembarannya, putera keempat meninggal sejam setelah lahir. Anak ketiga ini diberi nama Nyoman Gejir, nama yang dialihkan dari anak kedua yang meninggal.
Gejer mengenal nasi kuning dari ibunya, yang selalu membuat nasi kuning jika Kuningan. Ketika remaja, Gejer senang menyantap nasi kuning karena setahu dia hanya tumpeng dalam sesaji yang berisi nasi kuning. Dia pikir, “Nasi kuning ini pasti santapan dewa, makanan suci.” Gejer pun senang sekali, dan selalu ia tunggu-tunggu, saban Kuningan menyantap nasi kuning. Bahkan ia selalu mengingatkan ibunya agar memasak nasi kuning saat Kuningan.
Jika Kuningan, keluarga Gejer dan Gejir berkumpul santap bersama nasi kuning. Ada lauk balung sayur nangka, dilengkapi mentimun, tum, dan kerupuk babi. Tersedia suguhan ayam dan bebek goreng yang garing, asli, tanpa dibalut tepung. Paling laris kerupuk babi itu, yang kalau dikunyah menimbulkan bunyi berderak nyaring mengalahkan lengkingan gelak tawa dan obrolan yang hadir.
Mereka memasak sampai delapan kilo beras buat nasi kuning. Pesta nasi kuning itu pun jadi sangat meriah. Menurut Gejer, tradisi ini harus dipertahankan, karena semula menurut dia, asal nasi kuning itu dari kuliner bali. Dia baru tahu bukan khas kuliner bali setelah melihat banyak penjual nasi kuning di kaki lima. Ketika Kuningan, pasti banyak orang Bali menikmati nasi kuning, menu khas yang memberi ciri hari raya ini. *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar