Dua Krama Kasepekang Terancam Diusir
Masalah Tanah di Desa Adat Jro Kuta Pejeng Terus Bergulir
GIANYAR, NusaBali
Masalah penyertifikatan tanah Desa Adat Jro Kuta Pejeng, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar terus bergulir.
Polres Gianyar masih mendalami dugaan pemalsuan tandatangan dalam proses penerbitan sertifikat. Sementara, dua krama yang kasepekang (dikucilkan secara adat) pasca melaporkan dugaan pemalsuan tandatangan, terancam 'diusir' dari Desa Adat Jro Kuta Pejeng.
Majelis Desa Adat (MDA) Kabupaten Gianyar ikut turtun tangan, agar masalah di Desa Adat Jro Kuta Pejeng ini tidak berlarut-larut. MDA Kabupaten Gianyar pun berencana memediasi masalah penyertifikatan tanah tersebut. Rencana mediasi ini terungkap dalam pertemuan antara pihak Desa Adat Jro Kuta Pejeng dengan instansi terkait, di Wantilan Pura Penataran Sasih Pejeng, Kamis (8/10).
Hadir dalam pertemuan kemarin, antara lain, Kasat Binmas Polres Gianyar AKP Gede Endrawan, Kapolsek Tampaksiring AKP I Wayan Sujana, Danramil Tampaksiring Kapten Infantri AA Raka Malia, Camat Tampaksiring Pande Made Suweda, Bendesa Madya MDA Kabupaten Gianyar Drh Anak Agung Alit Asmara, hingga pihak BPN Gianyar, dan Kesbangpol Ginyar. Pertemuan tanpa kehadiran krama yang keberatan ini berlangsung sekitar 3 jam, mulai pagi pukul 09.00 Wita hingga siang pukul 12.00 Wita.
Dalam pertemuan tersebut, Bendesa Adat Jro Kuta Pejeng, Tjokorda Gde Putra Pemayun, menyampaikan bahwa penyertifikatan tanah yang dilakukan telah sesuai program pemerintah. Tanah ayahan desa adat disertifikatkan agar sah memiliki kekuatan hukum yang pasti.
Setelah program tersebut dijalankan, kata Tjok Putra Pemayun, muncul permasalahan dari krama yang keberatan. "Pada 2018 dan 2019, belum ada keberatan. Namun, tahun 2020 ini baru ada keberatan tanah teba disertifikat atas nama desa adat," ujar Tjok Putra Pemayun.
Dalam pertemuan kemarin, pihak Desa Adat Jro Kuta Pejeng meminta kepada MDA Kabupaten Gianyar, MDA Kecamatan Tampaksiring, dan jajaran kepolisian agar mengadakan pertemuan kembali untuk mempertemukan pihak desa adat dan krama yang keberatan. "Sampai saat ini masih ada sekitar 36 krama yang keberatan," katanya.
Tjok Putra Pemayun menyebutkan, permasalahan ini semakin runyam karena adanya dari pihak yang keberatan melaporkan masalah ini tanpa berdasarkan awig-awig. "Dalam Paos 63 Awig-awig dikatakan kalau ada krama keberatan, harus menyampaikan ke kelian banjar adat. Kalau mentok, lanjut ke sangkepan banjar. Kalau kembali mentok, boleh ke Bendesa Adat dan Kerta Desa. Kalau juga mentok, baru ke sang sane rumawos dalam masalah adat, yakni MDA Kecamatan, MDA Kabupaten, hingga MDA Provinsi," papar mantan anggota DPRD Gianyar dari Gerindra ini.
Menurut Tjok Putra Pemayun, kaarena langsung meloncat ke BPN dan Polres, maka dua krama yang melapor dugaan pemalsuan sertifikat dikenakan sanksi kanoroyang (kasepekang) selama 3 kali sangkepan. Mereka masing-masing yakni I Made Wisna (krama Banjar Guliang) dan I Ketut Suteja (krama Banjar Intaran).
"Selama waktu 3 kali sangkepan, dua warga tersebut wajib memohon maaf kehadapan krama adat dan mencabut laporannya. Jika tidak melakukan permohonan maaf kepada krama desa adat, hak dan kewajiban adatnya akan diputus, tanah ayahan desa yang ditempati harus dikembalikan," tandas Tjok Putra Pemayun. Artinya, dua krama kasepekang ini ‘diusur’ dari Desa Adat Jero Kuta Pejeng.
Tjok Putra Pemayun sendiri menampik dugaan pemalsuan tandatangan saat proses pengajuan sertifikat tanah, sebagaimana dituduhkan. "Setelah pertemuan dengan BPN Gianyar, itu semua tidak ada surat palsu. Semua sudah sesuai dengan aturan penerbitan sertifikat. Inilah yang menjadi ketidakmengertian kami di desa adat," sesalnya.
Sementara Itu, Kepala Seksi 2P BPN Gianyar, I Gusti Agung Warmadewa, menjelaskan tanah adat sebelum tahun 2017 memang tidak disertifikatkan. Desa adat tidak boleh sebagai subjek hukum. Namun, setelah Presiden Jokowi menekankan bahwa seluruh tanah yang ada di Indonesia harus terdata sebagai tanda bukti atas kepastian hukum, maka Menteri Agraria Tata Ruang/BPN Nasional, sesuai SK 276/2017, menyebutkan bahwa desa adat di Bali ditunjuk sebagai subjek hak. De-ngan ditetapkannya sebagai subjek hak, maka desa adat bisa naik sebagai pemegang hak.
"Sementara masalah di Desa Adat Jro Kuta Pejeng ini, tahun 2018/2019 sudah ikuti program pemerintah. Pada 2020 ada beberapa warga yang keberatan. Kami dari BPN memproses sertifikat dari desa pakraman (desa adat, Red) yang sudah ada permohonannya,” jelas IGA Warmadewa yang hadir dalam pertemuan di Wantilan Pura Penataran Sasih Pejeng, Kamis kemarin.
“Kalau dalam perjalanan ada yang keberatan, sudah dilaksanakan mediasi, tapi tidak ada titik temu, maka kami sebagai aparat pemerintah tidak bisa menentukan siapa yang mempunyai tanah. Kami harapkan keduabelah belah pihak supaya hal ini diselesaikan di desa adat. Sampai ada warga yang lapor ke Polres, kami tidak bisa halangi karena mereka punya hak secara hukum," imbuhnya.
Sementara, Bendesa Madya MDA Kabupaten Gianyar, Anak Agung Alit Asmara, meminta permasalahan di Desa Adat Jro Kuta Pejeng ini diselesaikan di bawah, mengingat yang mengetahui lelintihan dan ilekitanya adalah krama serta prajuru setempat. "Jika di pengadilan hakimnya dari luar Bali dan tidak mengetahui adat Bali, nanti susah karena mereka tidak mengetahui ilekitanya kita," saran Alit Asmara.
Alit Asmara membenarkan tindakan desa adat untuk menyelamatkan tanah desa adat, harus disertifikat oleh desa adat, asalkan tanah tersebut memang benar milik adat dengan bukti-bukti yang jelas. Ini penting agar tanah Bali ini tidak habis. Menurut Alit Asmara, hal ini sudah sesuai dengan Perda Nomor 4 Tahun 2019. "Kalau tidak ada pensertifikatkan, habis tanah Bali ini. Kalau sudah desa adat melakukan pesertifikatan, tanah itu sudah menjadi milik komunal, milik bersama, tidak bisa dijual sebarangan atau digunakan sembarangan," tegas Alit Asmara.
Alit Asmara mempertegas hal ini untuk generasi Bali ke depan, khususnya Desa Adat Jro Kuta Pejeng, agar mereka tetap mimiliki tempat tinggal. "Nanti bila krama memiliki anak cucu, agar ada tempat untuk tinggal karena tanah ini telah milik bersama," katanya.
Sedangkan Kapolsek Tampaksiring, AKP Wayan Sujana, siap memfasilitasi untuk dilakukan mediasi antara pihak Desa Adat Jro Kuta Pejeng dan warga yang keberatan atas penyertifikatan tanah. “Kebijakan desa adat juga tidak boleh bertentangan dengan hukum positif, yang bisa merugikan kedua belah pihak,” ujarnya.
Di sisi lain, Wakil Kerta Saba Desa Adat Jro Kuta Pejeng, Jro Mangku Sugiarta, mengatakan pihaknya ingin dilakukan mediasi agar tercipta keharmonisan. "Mediasi harus dilakukan oleh keduabelah pihak, agar ketemu solusinya," kata Jro Mangku Sugiarta. *nvi
Majelis Desa Adat (MDA) Kabupaten Gianyar ikut turtun tangan, agar masalah di Desa Adat Jro Kuta Pejeng ini tidak berlarut-larut. MDA Kabupaten Gianyar pun berencana memediasi masalah penyertifikatan tanah tersebut. Rencana mediasi ini terungkap dalam pertemuan antara pihak Desa Adat Jro Kuta Pejeng dengan instansi terkait, di Wantilan Pura Penataran Sasih Pejeng, Kamis (8/10).
Hadir dalam pertemuan kemarin, antara lain, Kasat Binmas Polres Gianyar AKP Gede Endrawan, Kapolsek Tampaksiring AKP I Wayan Sujana, Danramil Tampaksiring Kapten Infantri AA Raka Malia, Camat Tampaksiring Pande Made Suweda, Bendesa Madya MDA Kabupaten Gianyar Drh Anak Agung Alit Asmara, hingga pihak BPN Gianyar, dan Kesbangpol Ginyar. Pertemuan tanpa kehadiran krama yang keberatan ini berlangsung sekitar 3 jam, mulai pagi pukul 09.00 Wita hingga siang pukul 12.00 Wita.
Dalam pertemuan tersebut, Bendesa Adat Jro Kuta Pejeng, Tjokorda Gde Putra Pemayun, menyampaikan bahwa penyertifikatan tanah yang dilakukan telah sesuai program pemerintah. Tanah ayahan desa adat disertifikatkan agar sah memiliki kekuatan hukum yang pasti.
Setelah program tersebut dijalankan, kata Tjok Putra Pemayun, muncul permasalahan dari krama yang keberatan. "Pada 2018 dan 2019, belum ada keberatan. Namun, tahun 2020 ini baru ada keberatan tanah teba disertifikat atas nama desa adat," ujar Tjok Putra Pemayun.
Dalam pertemuan kemarin, pihak Desa Adat Jro Kuta Pejeng meminta kepada MDA Kabupaten Gianyar, MDA Kecamatan Tampaksiring, dan jajaran kepolisian agar mengadakan pertemuan kembali untuk mempertemukan pihak desa adat dan krama yang keberatan. "Sampai saat ini masih ada sekitar 36 krama yang keberatan," katanya.
Tjok Putra Pemayun menyebutkan, permasalahan ini semakin runyam karena adanya dari pihak yang keberatan melaporkan masalah ini tanpa berdasarkan awig-awig. "Dalam Paos 63 Awig-awig dikatakan kalau ada krama keberatan, harus menyampaikan ke kelian banjar adat. Kalau mentok, lanjut ke sangkepan banjar. Kalau kembali mentok, boleh ke Bendesa Adat dan Kerta Desa. Kalau juga mentok, baru ke sang sane rumawos dalam masalah adat, yakni MDA Kecamatan, MDA Kabupaten, hingga MDA Provinsi," papar mantan anggota DPRD Gianyar dari Gerindra ini.
Menurut Tjok Putra Pemayun, kaarena langsung meloncat ke BPN dan Polres, maka dua krama yang melapor dugaan pemalsuan sertifikat dikenakan sanksi kanoroyang (kasepekang) selama 3 kali sangkepan. Mereka masing-masing yakni I Made Wisna (krama Banjar Guliang) dan I Ketut Suteja (krama Banjar Intaran).
"Selama waktu 3 kali sangkepan, dua warga tersebut wajib memohon maaf kehadapan krama adat dan mencabut laporannya. Jika tidak melakukan permohonan maaf kepada krama desa adat, hak dan kewajiban adatnya akan diputus, tanah ayahan desa yang ditempati harus dikembalikan," tandas Tjok Putra Pemayun. Artinya, dua krama kasepekang ini ‘diusur’ dari Desa Adat Jero Kuta Pejeng.
Tjok Putra Pemayun sendiri menampik dugaan pemalsuan tandatangan saat proses pengajuan sertifikat tanah, sebagaimana dituduhkan. "Setelah pertemuan dengan BPN Gianyar, itu semua tidak ada surat palsu. Semua sudah sesuai dengan aturan penerbitan sertifikat. Inilah yang menjadi ketidakmengertian kami di desa adat," sesalnya.
Sementara Itu, Kepala Seksi 2P BPN Gianyar, I Gusti Agung Warmadewa, menjelaskan tanah adat sebelum tahun 2017 memang tidak disertifikatkan. Desa adat tidak boleh sebagai subjek hukum. Namun, setelah Presiden Jokowi menekankan bahwa seluruh tanah yang ada di Indonesia harus terdata sebagai tanda bukti atas kepastian hukum, maka Menteri Agraria Tata Ruang/BPN Nasional, sesuai SK 276/2017, menyebutkan bahwa desa adat di Bali ditunjuk sebagai subjek hak. De-ngan ditetapkannya sebagai subjek hak, maka desa adat bisa naik sebagai pemegang hak.
"Sementara masalah di Desa Adat Jro Kuta Pejeng ini, tahun 2018/2019 sudah ikuti program pemerintah. Pada 2020 ada beberapa warga yang keberatan. Kami dari BPN memproses sertifikat dari desa pakraman (desa adat, Red) yang sudah ada permohonannya,” jelas IGA Warmadewa yang hadir dalam pertemuan di Wantilan Pura Penataran Sasih Pejeng, Kamis kemarin.
“Kalau dalam perjalanan ada yang keberatan, sudah dilaksanakan mediasi, tapi tidak ada titik temu, maka kami sebagai aparat pemerintah tidak bisa menentukan siapa yang mempunyai tanah. Kami harapkan keduabelah belah pihak supaya hal ini diselesaikan di desa adat. Sampai ada warga yang lapor ke Polres, kami tidak bisa halangi karena mereka punya hak secara hukum," imbuhnya.
Sementara, Bendesa Madya MDA Kabupaten Gianyar, Anak Agung Alit Asmara, meminta permasalahan di Desa Adat Jro Kuta Pejeng ini diselesaikan di bawah, mengingat yang mengetahui lelintihan dan ilekitanya adalah krama serta prajuru setempat. "Jika di pengadilan hakimnya dari luar Bali dan tidak mengetahui adat Bali, nanti susah karena mereka tidak mengetahui ilekitanya kita," saran Alit Asmara.
Alit Asmara membenarkan tindakan desa adat untuk menyelamatkan tanah desa adat, harus disertifikat oleh desa adat, asalkan tanah tersebut memang benar milik adat dengan bukti-bukti yang jelas. Ini penting agar tanah Bali ini tidak habis. Menurut Alit Asmara, hal ini sudah sesuai dengan Perda Nomor 4 Tahun 2019. "Kalau tidak ada pensertifikatkan, habis tanah Bali ini. Kalau sudah desa adat melakukan pesertifikatan, tanah itu sudah menjadi milik komunal, milik bersama, tidak bisa dijual sebarangan atau digunakan sembarangan," tegas Alit Asmara.
Alit Asmara mempertegas hal ini untuk generasi Bali ke depan, khususnya Desa Adat Jro Kuta Pejeng, agar mereka tetap mimiliki tempat tinggal. "Nanti bila krama memiliki anak cucu, agar ada tempat untuk tinggal karena tanah ini telah milik bersama," katanya.
Sedangkan Kapolsek Tampaksiring, AKP Wayan Sujana, siap memfasilitasi untuk dilakukan mediasi antara pihak Desa Adat Jro Kuta Pejeng dan warga yang keberatan atas penyertifikatan tanah. “Kebijakan desa adat juga tidak boleh bertentangan dengan hukum positif, yang bisa merugikan kedua belah pihak,” ujarnya.
Di sisi lain, Wakil Kerta Saba Desa Adat Jro Kuta Pejeng, Jro Mangku Sugiarta, mengatakan pihaknya ingin dilakukan mediasi agar tercipta keharmonisan. "Mediasi harus dilakukan oleh keduabelah pihak, agar ketemu solusinya," kata Jro Mangku Sugiarta. *nvi
1
Komentar