Banjar Nagi di Desa Petulu Dinobatkan Jadi 'Lingkungan Terkeren Dunia'
Dulu Terpencil, Kini Jadi Rebutan Investor dan Tempat Berdirinya Sejumlah Hotel Berbintang
Setiap investor yang masuk ke Banjar Nagi, Desa Petulu, Kecamatan Ubud, Gianyar wajib menerapkan Tri Hita Karana. Pihak hotel dan warga setempat juga wajib bersama-sama menata lingkungan banjar
GIANYAR, NusaBali
Di tengah terpuruknya pariwisata akibat pandemi Covid-19, muncul berita mengejutkan tentang Banjar Nagi, Desa Petulu, Kecamatan Ubud, Gianyar. Banjar ini masuk daftar 40 World's Coolest Neighborhoods atau ‘Lingkungan Terkeren di Dunia’ tahun 2020 versi majalah gaya hidup dari Inggris TimeOut.
Predikat ‘Lingkungan Terkeren di Dunia’ untuk Banjar Nagi, Desa Petulu, yang baru diumumkan TimeOut beberapa waktu lalu. Semua ini tak lepas dari keasrian suasana di Banjar Nagi, Desa Petulu, yang dihuni 102 kepala keluarga (KK) dengan 491 jiwa. Menurut Kelian Dinas Banjar Nagi, I Wayan Warnawa, 40, pihaknya selama ini menjalin hubungan baik dan kerja sama dengan para pengelola hotel.
Dalam kerja sama itu, pihak hotel wajib memanfaatkan armada transportasi milik Koperasi Banjar Nagi sebanyak 50 persen dari kebutuhan mereka. Saat ini, Koperasi Banjar Nagi memiliki 18 armada transportasi wisata. Selain itu, setiap investor yang masuk ke Banjar Nagi wajib menerapkan Tri Hita Karana.
Dari sisi palemahan, hotel bersama warga wajib bersama-sama menata lingkungan banjar. Misal, Hotel Kamandalu menjaga kebersihan jalan banjar dari pintu masuk barat hingga depan hotelnya. Kerja sama ini tidak sulit, karena kebanyakan karyawan Hotel Kamandalu berasal dari Banjar Nagi. Pihak hotel juga wajib menyediakan ruang hijau untuk taman sekitar 30 persen dari lahannya.
Dari sisi parahyangan, hotel-hotel di Banjar Nagi wajib punya Palinggih Padmasana. Pasalnya, selain lokasi hotel berada di Banjar Nagi, kebanyakan karyawan juga beragama Hindu. Setiap piodalan di Palinggih Padmasana, pihak hotel harus memanfaatkan sumber daya lokal, mulai dari banten, bahan, hingga wewalen. “Di luar sinergi dengan pihak hotel itu, warga kami hampir setiap hari membersihkan telajakan pekarangan dan jalan banjar hingga asri,” beber Wayan Warnawa saat ditemui ditemui NusaBali di kediamannya ka-wasan Banjar Nagi, Desa Petulu, Minggu (11/10) lalu.
Sedangkan dari sisi pawongan, sinergi hotel dan krama banjar terjaga baik. Buktinya, sejak pandemi Covid-19, sekitar 70 persen karyawan hotel di Banjar Nagi yang merupakan krama setempat, masih dipekerjakan, meskipun mereka kerja bergiliran. Padahal, kalau pekerja hotel di tempat lain, banyak yang dirumahkan bahkan terkena PHK,
“Warga kami yang kerja di hotel-hotel kawasan Banjar Nagi masih dinafkahi oleh manajemen lima hotel berbintang. Belum ada karyawan dari Banjar Nagi yang di-rumahkan. Bahkan, semua hotel sempat menyumbang Rp 7,1 juta. Itu kami belikan celeng (babi) saat rahina Penampahan Kuningan pada Saniscara Kliwon Kuningan, Sabtu, 26 September 2020 lalu,” ujar ayah dua anak ini.
Warnawa menyebutkan, penobatan Banjar Nagi sebagai ‘Lingkungan Terkeren di Dunia’ terbilang surprise. Pasalnya, Banjar Nagi sebelum era 1980-an masih tergolong kampung terpencil. Kala itu, untuk bisa masuk ke wilayah banjar ini, hanya satu arah dari Jalan Raya Desa Peliatan (Kecamatan Ubud)-Desa Tegallalang (Kecamatan Tegallalang), dengan melintasi jalan setapak yang selalu penuh lumpur tatkala musim hujan.
Namun kini, Banjar Nagi yang luas wilayahnya sekitar 50 haktare (terdiri dari pekarangan rumah, tegalan, dan persawahan), justru menjadi sasaran investasi pebisnis besar bidang perhotelan. Saat ini, terdapat sejumlah hotel bintang lima di Banjar Nagi, seperti Hotel Pice Roy, Hotel Kamandalu, Hotel Elemen by Eestin, dan dan Hotel Udhiana (proses menuju bintang lima).
Selain itu, juga terdapat sejumlah hotel kelas melati di Banjar Nagi, seperti Hotel Padma, Hotel Arya, Hotel Lokasari. Sedangkan vila-vila di kawasan ini, antara lain, Lena Villa, Lanyahan Villa, Yuda House Villa, Suma House Villa. Bukan cuma itu, puluhan kepala keluarga (KK) juga menyewakan kamar wisata berupa home stay.
Warnawa mengatakan, lolosnya Banjar Nagi sebagai ‘Lingkungan Terkeran di Dunia’ merupakan surprise, mengingat riwayat kawasan ini yang dulunya terpencil. “Kami bersama masyarakat di sini tentu terkejut dengan predikat ‘Lingkungan Terkeran di Dunia’ tersebut. Ini jelas jadi tantangan buat kami dalam menata banjar, agar predikat tersebut benar-benar nyata,” ujarnya.
Warnawa mengisahkan, sebelum era 1980-an, wilayah Banjar Nagi masih terpencil dari pusat desa dan kota kecamatan. Wilayah ini dulunya dominan sawah dan tegalan, sementara hunian penduduk sedikit. Saat itu, tidak ada krama Banjar Nagi yang sekolah tinggi. Barulah tahun 1990-an, ada seorang pemuda Banjar Nagi yang meraih gelar sarjana.
Agar lepas dari keterpencilan, era 1980-an Pemkab Gianyar dibantu masyarakat setempat, gotong royong membangun jembatan sepanjang 8 meter dengan lebar 3 meter. Jembatan kecil ini untuk menghubungkan Banjar Nagi dengan Jalan raya Desa Petulu. Dengan jembatan tersebut, wilayah Banjar Nagi jadi semakin terbuka.
Menurut Warnawa, sekitar tahun 1991, wilayah Banjar Nagi mulai dilirik investor untuk membangun akomodasi wisata. Hotel bintang lima pertama yang dibangun di Banjar Nagi adalah Hotel Kamandalu. Ketika itu, investor dibantu warga memperlebar jembatan yang dibangun pemerintah, dari semula 3 meter menjadi 6 meter. “Sejak jembatan diperlebar jadi 6 meter, arus orang dan barang ke Banjar Nagi semakin ramai, terutama untuk pengembangan pariwisata,” kenang Warnawa.
Warnawa menyebutkan, kawasan Banjar Nagi jadi incaran investor untuk membangun akomodasi parwiwisata, karena memiliki beberapa potensi. Antara lain, punya bentang alam asri, sejuk, dan subur. Selain itu, posisi Banjar Nagi yang berada di bibir barat Tukad Petanu, membuat view (pemandangan alam) eksotis. Di bibir Tukad Petanu kawasan Banjar Nagi, kata Warnawa, dihuni kelompok kera yang dapat dijinakkan. Selain itu, pesona alam juga diperkuat dengan kawasan huma (sawah).
Menurut Warnawa, sebelum pandemi Covid-19 yang mewabah sejak Maret 2020 lalu, harga tanah di Banjar Nagi meroket. Untuk tanah di atas tebing, harganya sekitar Rp 600 juta per are. Sedangkan di kawasan tebing sungai, harga tanah kisaran Rp 300 juta per are. Investor hotel di Banjar Nagi sebagian besar memanfaatkan view timur Tukad Petanu.
Penduduk di Banjar Nagi, Desa Petulu saat ini mencapai 102 kepala keluarga (KK) dengan 491 jiwa. Pekerjaan warga setempat mayoritas petani, kemudian sebagai perajin patung kayu Patung Kuda, Patung Gajah, Patung Babi yang umumnya berbahan kayu Eben.
Warnawa mengatakan, capaian kemajuan bidang pariwisata hingga Banjar Nagi diakui dunia internasional, bahkan dinobatkan sebagai ‘Lingkungan Terkeran di Dunia’ tersebut, tak terlepas berkat dukungan dan fasilitasi secara intens dari I Ketut Karda (anggota Fraksi Demokrat DPRD Gianyar asal Banjar Laplapan, Desa Petulu, Kecamatan Ubud) dan Tjokorda Gede Asmara Putra Sukawati (anggota Fraksi Demokrat DPRD Bali Dapil Gianyar asal Puri Agung Ubud). *isa
Predikat ‘Lingkungan Terkeren di Dunia’ untuk Banjar Nagi, Desa Petulu, yang baru diumumkan TimeOut beberapa waktu lalu. Semua ini tak lepas dari keasrian suasana di Banjar Nagi, Desa Petulu, yang dihuni 102 kepala keluarga (KK) dengan 491 jiwa. Menurut Kelian Dinas Banjar Nagi, I Wayan Warnawa, 40, pihaknya selama ini menjalin hubungan baik dan kerja sama dengan para pengelola hotel.
Dalam kerja sama itu, pihak hotel wajib memanfaatkan armada transportasi milik Koperasi Banjar Nagi sebanyak 50 persen dari kebutuhan mereka. Saat ini, Koperasi Banjar Nagi memiliki 18 armada transportasi wisata. Selain itu, setiap investor yang masuk ke Banjar Nagi wajib menerapkan Tri Hita Karana.
Dari sisi palemahan, hotel bersama warga wajib bersama-sama menata lingkungan banjar. Misal, Hotel Kamandalu menjaga kebersihan jalan banjar dari pintu masuk barat hingga depan hotelnya. Kerja sama ini tidak sulit, karena kebanyakan karyawan Hotel Kamandalu berasal dari Banjar Nagi. Pihak hotel juga wajib menyediakan ruang hijau untuk taman sekitar 30 persen dari lahannya.
Dari sisi parahyangan, hotel-hotel di Banjar Nagi wajib punya Palinggih Padmasana. Pasalnya, selain lokasi hotel berada di Banjar Nagi, kebanyakan karyawan juga beragama Hindu. Setiap piodalan di Palinggih Padmasana, pihak hotel harus memanfaatkan sumber daya lokal, mulai dari banten, bahan, hingga wewalen. “Di luar sinergi dengan pihak hotel itu, warga kami hampir setiap hari membersihkan telajakan pekarangan dan jalan banjar hingga asri,” beber Wayan Warnawa saat ditemui ditemui NusaBali di kediamannya ka-wasan Banjar Nagi, Desa Petulu, Minggu (11/10) lalu.
Sedangkan dari sisi pawongan, sinergi hotel dan krama banjar terjaga baik. Buktinya, sejak pandemi Covid-19, sekitar 70 persen karyawan hotel di Banjar Nagi yang merupakan krama setempat, masih dipekerjakan, meskipun mereka kerja bergiliran. Padahal, kalau pekerja hotel di tempat lain, banyak yang dirumahkan bahkan terkena PHK,
“Warga kami yang kerja di hotel-hotel kawasan Banjar Nagi masih dinafkahi oleh manajemen lima hotel berbintang. Belum ada karyawan dari Banjar Nagi yang di-rumahkan. Bahkan, semua hotel sempat menyumbang Rp 7,1 juta. Itu kami belikan celeng (babi) saat rahina Penampahan Kuningan pada Saniscara Kliwon Kuningan, Sabtu, 26 September 2020 lalu,” ujar ayah dua anak ini.
Warnawa menyebutkan, penobatan Banjar Nagi sebagai ‘Lingkungan Terkeren di Dunia’ terbilang surprise. Pasalnya, Banjar Nagi sebelum era 1980-an masih tergolong kampung terpencil. Kala itu, untuk bisa masuk ke wilayah banjar ini, hanya satu arah dari Jalan Raya Desa Peliatan (Kecamatan Ubud)-Desa Tegallalang (Kecamatan Tegallalang), dengan melintasi jalan setapak yang selalu penuh lumpur tatkala musim hujan.
Namun kini, Banjar Nagi yang luas wilayahnya sekitar 50 haktare (terdiri dari pekarangan rumah, tegalan, dan persawahan), justru menjadi sasaran investasi pebisnis besar bidang perhotelan. Saat ini, terdapat sejumlah hotel bintang lima di Banjar Nagi, seperti Hotel Pice Roy, Hotel Kamandalu, Hotel Elemen by Eestin, dan dan Hotel Udhiana (proses menuju bintang lima).
Selain itu, juga terdapat sejumlah hotel kelas melati di Banjar Nagi, seperti Hotel Padma, Hotel Arya, Hotel Lokasari. Sedangkan vila-vila di kawasan ini, antara lain, Lena Villa, Lanyahan Villa, Yuda House Villa, Suma House Villa. Bukan cuma itu, puluhan kepala keluarga (KK) juga menyewakan kamar wisata berupa home stay.
Warnawa mengatakan, lolosnya Banjar Nagi sebagai ‘Lingkungan Terkeran di Dunia’ merupakan surprise, mengingat riwayat kawasan ini yang dulunya terpencil. “Kami bersama masyarakat di sini tentu terkejut dengan predikat ‘Lingkungan Terkeran di Dunia’ tersebut. Ini jelas jadi tantangan buat kami dalam menata banjar, agar predikat tersebut benar-benar nyata,” ujarnya.
Warnawa mengisahkan, sebelum era 1980-an, wilayah Banjar Nagi masih terpencil dari pusat desa dan kota kecamatan. Wilayah ini dulunya dominan sawah dan tegalan, sementara hunian penduduk sedikit. Saat itu, tidak ada krama Banjar Nagi yang sekolah tinggi. Barulah tahun 1990-an, ada seorang pemuda Banjar Nagi yang meraih gelar sarjana.
Agar lepas dari keterpencilan, era 1980-an Pemkab Gianyar dibantu masyarakat setempat, gotong royong membangun jembatan sepanjang 8 meter dengan lebar 3 meter. Jembatan kecil ini untuk menghubungkan Banjar Nagi dengan Jalan raya Desa Petulu. Dengan jembatan tersebut, wilayah Banjar Nagi jadi semakin terbuka.
Menurut Warnawa, sekitar tahun 1991, wilayah Banjar Nagi mulai dilirik investor untuk membangun akomodasi wisata. Hotel bintang lima pertama yang dibangun di Banjar Nagi adalah Hotel Kamandalu. Ketika itu, investor dibantu warga memperlebar jembatan yang dibangun pemerintah, dari semula 3 meter menjadi 6 meter. “Sejak jembatan diperlebar jadi 6 meter, arus orang dan barang ke Banjar Nagi semakin ramai, terutama untuk pengembangan pariwisata,” kenang Warnawa.
Warnawa menyebutkan, kawasan Banjar Nagi jadi incaran investor untuk membangun akomodasi parwiwisata, karena memiliki beberapa potensi. Antara lain, punya bentang alam asri, sejuk, dan subur. Selain itu, posisi Banjar Nagi yang berada di bibir barat Tukad Petanu, membuat view (pemandangan alam) eksotis. Di bibir Tukad Petanu kawasan Banjar Nagi, kata Warnawa, dihuni kelompok kera yang dapat dijinakkan. Selain itu, pesona alam juga diperkuat dengan kawasan huma (sawah).
Menurut Warnawa, sebelum pandemi Covid-19 yang mewabah sejak Maret 2020 lalu, harga tanah di Banjar Nagi meroket. Untuk tanah di atas tebing, harganya sekitar Rp 600 juta per are. Sedangkan di kawasan tebing sungai, harga tanah kisaran Rp 300 juta per are. Investor hotel di Banjar Nagi sebagian besar memanfaatkan view timur Tukad Petanu.
Penduduk di Banjar Nagi, Desa Petulu saat ini mencapai 102 kepala keluarga (KK) dengan 491 jiwa. Pekerjaan warga setempat mayoritas petani, kemudian sebagai perajin patung kayu Patung Kuda, Patung Gajah, Patung Babi yang umumnya berbahan kayu Eben.
Warnawa mengatakan, capaian kemajuan bidang pariwisata hingga Banjar Nagi diakui dunia internasional, bahkan dinobatkan sebagai ‘Lingkungan Terkeran di Dunia’ tersebut, tak terlepas berkat dukungan dan fasilitasi secara intens dari I Ketut Karda (anggota Fraksi Demokrat DPRD Gianyar asal Banjar Laplapan, Desa Petulu, Kecamatan Ubud) dan Tjokorda Gede Asmara Putra Sukawati (anggota Fraksi Demokrat DPRD Bali Dapil Gianyar asal Puri Agung Ubud). *isa
1
Komentar