Dewa Ngakan Sayang Melegenda dengan Suara Tokoh Sengkuni
Seniman Spesialis Dalang Sendratari Pesta Kesenian Bali Meninggal Dunia
Versi Dewa Ngakan Rai Budiasa, almarhum Dewa Ngakan Made Sayang pernah harus dijemput oleh Gubernur Bali Prof Dr IB Mantra ke rumahnya, karena ngambek tak mau tampil gara-gara alur Sendratari di PKB tidak sesuai pakem
GIANYAR, NusaBali
Bali kehilangan salah satu seniman dalang legendaris, menyusul meninggalnya Dewa Ngakan Made Sayang BA, 74. Seniman serbabisa asal Banjar Pengaji, Desa Melinggih Kelod, Kecamatan Payangan, Gianyar yang dikenal sebagai spesialis dalang Sendratari pementasan Pesta Kesenian Bali (PKB) ini meninggal dalam perawatan di RSUP Sanglah, Denpasar, Kamis (15/10), karena komplikasi.
Sebelum menghembuskan napas terakhir, Dewa Ngakan Sayang sempat selama sepekan menjalani perawatan di rumah sakit, karena penyakit jantung dan diabetes. “Awalnya, almarhum dirawat di RS Bakti Rahayu Denpasar. Kemudian, dirujuk ke RSUP Sanglah hingga akhirnya berpulang,” ungkap putra bungsu almarhum, Dewa Ngakan Nyoman Suputra, saat dikonfirmasi NusaBali di rumah duka kawasan Banjar Pengaji, Desa Melinggih Kelod, Rabu (21/10).
Lima hari pasca meninggal, jenazah Dewa Ngakan Sayang dipalebon keluarganya di Krematorium Bebalang, Kelurahan Bebalang, Kecamatan Bangli pada Anggara Wage Pahang, Selasa (20/10). Seniman kelahiran 31 Desember 1946 ini berpulang buat selamanya dengan meninggalkan istri tercinta Jero Made Suci serta 3 orang anak: Desak Putu Nirmalawati, Desak Made Sunithiari, dan Dewa Ngakan Nyoman Suputra.
Almarhum Dewa Ngakan Sayang amat dikenal sebagai dalang spesialis pementasan PKB sejak tahun 1980-an. Selain mendalang, almarhum juga aktif ngigel (menari) Topeng. Penghargaan yang pernah diraih paman dari politisi Golkar Dewa Ngakan Rai Budiasa ini, antara lain, anugerah Dharma Kusuma Provinsi Bali Tahun 2007. Seniman dengan pendidikan terakhir di Jurusan Seni Perdalangan Kokar Denpasar ini, juga sempat dapat penghargaan dari The Naropa Institute USA Tahun 1994 dan 1997.
Pengabdian seni pertunjukan almarhum Ngakan Dewa Sayang banyak bernaung di bawah Yayasan Seni Yasa Putra Sedana, yang bermarkas di Banjar Pengaji, Desa Melinggih Kelod. Yayasan Seni Yuasa Putra Sedana kini dikelola oleh keponakan almarhum, Dewa Ngakan Rai Budiasa.
Menurut Ngakan Rai Budiasa yang sekaligus pemilik Yayasan Seni Yasa Putra Sedana, almarhum Ngakan Dewa Sayang merupakan salah satu penerus seniman pertunjukan generasi pertama dari Dewa Ngakan Made Cegir. Sekadar dicatat, Dewa Ngakan Cegir adalah ayah dari Dewa Nakan Rai Budiasa dan Dewa Ngakan Putra Diasa.
"Bapak saya yang ngajar tari ke mana-mana. Paman Dewa Ngakan Sayang adalah salah satu penerus. Zaman itu, almarhum menjadi anak pertama yang bisa sekolah di Kokar---kini menjadi ISI Denpasar. Kalau tidak salah, almarhum seangkatan dengan budayawan Prof Dr Made Bandem," ungkap Rai Budiasa kepada NusaBali, Rabu kemarin.
Disebutkan, dalam satu kesempatan pengabdian masyarakat, almarhum Dewa Ngakan Sayang membuka aktivitas mengajar Tari Pelegongan buat anak-anak di Banjar Pengaji, Desa Melinggih Kelod. "Saya sendiri menjadi salah satu murid almarhum waktu itu. Paling berkesan, saat diajarkan Tari Tani, Tari Muani Oleg, dan Kebyar Duduk sekitar tahun 1960-an," kenang Rai Budiasa.
Menurut Rai Budiasa, almarhum Dewa Ngakan Sayang paling dikenal sebagai dalang sendratari setiap hajatan PKB. Yang paling diingat masyarakat adalah suara khasnya saat membawakan lakon Sengkuni, paman dari 100 Kurawa dalam epos Mahabharata. "Sampai sekarang, dalang fragmen Sengkuni masih berkesan di masyarakat," terang politisi senior Golkar yang mantan anggota DPRD DKI Jakarta ini.
Rai Budiasa menyebutkan, almarhum Dewa Ngakan Sayang sempat sampai dijemput secara khusus oleh Gubernur Bali (1978-1988) Prof Dr IB Mantra ke Payangan. Pasalnya, almarhum ngambek tidak mau tampil, karena alur fragmen sendratari yang dipentaskan di PKB kala itu tidak sesuai pakem. "Almarhum dijemput sama Gubernur ke Banjar Pengaji, lalu dirayu supaya mau kembali menjadi dalang sendratari di PKB. Itu terjadi era 1980-an itu," papar Rai Budiasa.
Setahu Rai Budiasa, selain menjadi seniman, almarhum Dewa Ngakan Sayang juga pernah mengajar sebagai Guru Kesenian di SMPN 2 Denpasar dan SMKI. Almarhum menguasai berbagai bidang seni. Selain menari Topeng Pajengan dan dalang Sendratari, juga mahir seni karawitan.
"Ketika masih SMP, almarhum sudah mengajar masyarakat di sini megambel, bahkan sampai ngurukan (mengajar) ke luar desa. Almarhum juga sampai membuat Topeng Penasar sendiri, karena memang mahir memahat," tandas Dewa Rai yang notabene mantan Wakil Ketua Bidang Organisasi, Keanggotaan, Kaderisasi (OKK) DPD I Golkar Bali dua kali periode.
Bakat megambel almarhum kini diteruskan oleh Dewa Ngakan Putra Diasa, adik dari Rai Budiasa. Berkat ajaran Dewa Ngakan Sayang, Ngakan Putra Diasa menjelma menjadi pemain kendang andalan Yayasan Seni Yasa Putra Sedana. Ngakan Putra Diasa sendiri pernah memperoleh Palm Akademi dari pemerintah Perancis.
Rai Budiasa mengisahkan, almarhum Dewa Ngakan Sayang beberapa kali menjadi duta kesenian Indonesia ke luar negeri. Salah satunya tahun 1987, ketika Ngakan Putra Diasa masih menjabat sebagai Staf Bidang Kesenian Kedutaan Besar RI di Paris. Ketika itu, Ngakan Putra Diasa menginisiasi sebuah misi kesenian dari Banjar Pengaji ke Paris, di mana almarhum Dewa Ngakan Sayang itu di dalamnya. Waktu itu, Sekaa Gong Sukamerih juga diboyong ke Paris.
"Atas inisitaif adik saya di Kedubes RI di Paris, tim kesenian dari Banjar Pengaji diundang ke Festival Internasional 1987. Tim kesenian yang dipimpin langsung almarhum Dewa Ngakan Sayang berada di Paris selama 1,5 bulan,” papar Rai Budiasa.
Beberapa tahun kemudian, tim kesenian dari Banjar Pengaji kembali diundang dalam misi yang sama ke Prancis. "Tahun 2011, saat saya dan adik pulang ke Indonesia, kembali diundang ke Prancis. Yang berangkat kala itu sekaa seni dari Yayasan Seni Yasa Putra Sedana," kata Rai Budiasa, sembari menyebut kerja sama dengan Prancis masih terus terjada hingga saat ini.
Menurut Rai Budiasa, almarhum Ngakan Dewa Sayang juga pernah mewakili Bali di ajang Pekan Wayang Indonesia, 20 Juli 1993. Kala itu, Dewa Sayang diundang khusus oleh Presiden Soeharto ke Istana Negara Jakarta. *nvi
Bali kehilangan salah satu seniman dalang legendaris, menyusul meninggalnya Dewa Ngakan Made Sayang BA, 74. Seniman serbabisa asal Banjar Pengaji, Desa Melinggih Kelod, Kecamatan Payangan, Gianyar yang dikenal sebagai spesialis dalang Sendratari pementasan Pesta Kesenian Bali (PKB) ini meninggal dalam perawatan di RSUP Sanglah, Denpasar, Kamis (15/10), karena komplikasi.
Sebelum menghembuskan napas terakhir, Dewa Ngakan Sayang sempat selama sepekan menjalani perawatan di rumah sakit, karena penyakit jantung dan diabetes. “Awalnya, almarhum dirawat di RS Bakti Rahayu Denpasar. Kemudian, dirujuk ke RSUP Sanglah hingga akhirnya berpulang,” ungkap putra bungsu almarhum, Dewa Ngakan Nyoman Suputra, saat dikonfirmasi NusaBali di rumah duka kawasan Banjar Pengaji, Desa Melinggih Kelod, Rabu (21/10).
Lima hari pasca meninggal, jenazah Dewa Ngakan Sayang dipalebon keluarganya di Krematorium Bebalang, Kelurahan Bebalang, Kecamatan Bangli pada Anggara Wage Pahang, Selasa (20/10). Seniman kelahiran 31 Desember 1946 ini berpulang buat selamanya dengan meninggalkan istri tercinta Jero Made Suci serta 3 orang anak: Desak Putu Nirmalawati, Desak Made Sunithiari, dan Dewa Ngakan Nyoman Suputra.
Almarhum Dewa Ngakan Sayang amat dikenal sebagai dalang spesialis pementasan PKB sejak tahun 1980-an. Selain mendalang, almarhum juga aktif ngigel (menari) Topeng. Penghargaan yang pernah diraih paman dari politisi Golkar Dewa Ngakan Rai Budiasa ini, antara lain, anugerah Dharma Kusuma Provinsi Bali Tahun 2007. Seniman dengan pendidikan terakhir di Jurusan Seni Perdalangan Kokar Denpasar ini, juga sempat dapat penghargaan dari The Naropa Institute USA Tahun 1994 dan 1997.
Pengabdian seni pertunjukan almarhum Ngakan Dewa Sayang banyak bernaung di bawah Yayasan Seni Yasa Putra Sedana, yang bermarkas di Banjar Pengaji, Desa Melinggih Kelod. Yayasan Seni Yuasa Putra Sedana kini dikelola oleh keponakan almarhum, Dewa Ngakan Rai Budiasa.
Menurut Ngakan Rai Budiasa yang sekaligus pemilik Yayasan Seni Yasa Putra Sedana, almarhum Ngakan Dewa Sayang merupakan salah satu penerus seniman pertunjukan generasi pertama dari Dewa Ngakan Made Cegir. Sekadar dicatat, Dewa Ngakan Cegir adalah ayah dari Dewa Nakan Rai Budiasa dan Dewa Ngakan Putra Diasa.
"Bapak saya yang ngajar tari ke mana-mana. Paman Dewa Ngakan Sayang adalah salah satu penerus. Zaman itu, almarhum menjadi anak pertama yang bisa sekolah di Kokar---kini menjadi ISI Denpasar. Kalau tidak salah, almarhum seangkatan dengan budayawan Prof Dr Made Bandem," ungkap Rai Budiasa kepada NusaBali, Rabu kemarin.
Disebutkan, dalam satu kesempatan pengabdian masyarakat, almarhum Dewa Ngakan Sayang membuka aktivitas mengajar Tari Pelegongan buat anak-anak di Banjar Pengaji, Desa Melinggih Kelod. "Saya sendiri menjadi salah satu murid almarhum waktu itu. Paling berkesan, saat diajarkan Tari Tani, Tari Muani Oleg, dan Kebyar Duduk sekitar tahun 1960-an," kenang Rai Budiasa.
Menurut Rai Budiasa, almarhum Dewa Ngakan Sayang paling dikenal sebagai dalang sendratari setiap hajatan PKB. Yang paling diingat masyarakat adalah suara khasnya saat membawakan lakon Sengkuni, paman dari 100 Kurawa dalam epos Mahabharata. "Sampai sekarang, dalang fragmen Sengkuni masih berkesan di masyarakat," terang politisi senior Golkar yang mantan anggota DPRD DKI Jakarta ini.
Rai Budiasa menyebutkan, almarhum Dewa Ngakan Sayang sempat sampai dijemput secara khusus oleh Gubernur Bali (1978-1988) Prof Dr IB Mantra ke Payangan. Pasalnya, almarhum ngambek tidak mau tampil, karena alur fragmen sendratari yang dipentaskan di PKB kala itu tidak sesuai pakem. "Almarhum dijemput sama Gubernur ke Banjar Pengaji, lalu dirayu supaya mau kembali menjadi dalang sendratari di PKB. Itu terjadi era 1980-an itu," papar Rai Budiasa.
Setahu Rai Budiasa, selain menjadi seniman, almarhum Dewa Ngakan Sayang juga pernah mengajar sebagai Guru Kesenian di SMPN 2 Denpasar dan SMKI. Almarhum menguasai berbagai bidang seni. Selain menari Topeng Pajengan dan dalang Sendratari, juga mahir seni karawitan.
"Ketika masih SMP, almarhum sudah mengajar masyarakat di sini megambel, bahkan sampai ngurukan (mengajar) ke luar desa. Almarhum juga sampai membuat Topeng Penasar sendiri, karena memang mahir memahat," tandas Dewa Rai yang notabene mantan Wakil Ketua Bidang Organisasi, Keanggotaan, Kaderisasi (OKK) DPD I Golkar Bali dua kali periode.
Bakat megambel almarhum kini diteruskan oleh Dewa Ngakan Putra Diasa, adik dari Rai Budiasa. Berkat ajaran Dewa Ngakan Sayang, Ngakan Putra Diasa menjelma menjadi pemain kendang andalan Yayasan Seni Yasa Putra Sedana. Ngakan Putra Diasa sendiri pernah memperoleh Palm Akademi dari pemerintah Perancis.
Rai Budiasa mengisahkan, almarhum Dewa Ngakan Sayang beberapa kali menjadi duta kesenian Indonesia ke luar negeri. Salah satunya tahun 1987, ketika Ngakan Putra Diasa masih menjabat sebagai Staf Bidang Kesenian Kedutaan Besar RI di Paris. Ketika itu, Ngakan Putra Diasa menginisiasi sebuah misi kesenian dari Banjar Pengaji ke Paris, di mana almarhum Dewa Ngakan Sayang itu di dalamnya. Waktu itu, Sekaa Gong Sukamerih juga diboyong ke Paris.
"Atas inisitaif adik saya di Kedubes RI di Paris, tim kesenian dari Banjar Pengaji diundang ke Festival Internasional 1987. Tim kesenian yang dipimpin langsung almarhum Dewa Ngakan Sayang berada di Paris selama 1,5 bulan,” papar Rai Budiasa.
Beberapa tahun kemudian, tim kesenian dari Banjar Pengaji kembali diundang dalam misi yang sama ke Prancis. "Tahun 2011, saat saya dan adik pulang ke Indonesia, kembali diundang ke Prancis. Yang berangkat kala itu sekaa seni dari Yayasan Seni Yasa Putra Sedana," kata Rai Budiasa, sembari menyebut kerja sama dengan Prancis masih terus terjada hingga saat ini.
Menurut Rai Budiasa, almarhum Ngakan Dewa Sayang juga pernah mewakili Bali di ajang Pekan Wayang Indonesia, 20 Juli 1993. Kala itu, Dewa Sayang diundang khusus oleh Presiden Soeharto ke Istana Negara Jakarta. *nvi
1
Komentar