Banyak Bahasa
Di bulan Oktober ini, Bulan Bahasa dan Sastra, ada yang bertanya, berapa bahasa harus dikuasai seseorang agar ia leluasa ke mana saja, gampang bertukar bicara dengan siapa pun?
Ada ribuan bahasa di dunia. Di Indonesia diidentifikasi ada 442 bahasa daerah. Dulu, orang hanya perlu menguasai bahasa ibu, karena untuk bercakap-cakap sehari-hari cuma dengan teman dan kerabat dekat. Menguasai bahasa ibu membuat seseorang lincah berbahasa, tak pernah tersendat, mengalir begitu saja, sehingga yang dimaksud cepat tertangkap oleh lawan bicara. Percakapan lisan berkembang karena penguasaan orang per orang akan bahasa ibu.
Kalaupun toh dibutuhkan bahasa lain, seperti bahasa Indonesia, itu untuk pengantar di kelas. Ada juga bahasa Inggris, namun itu dipelajari, dikaji, tidak untuk dipraktekkan. Penilaian keberhasilannya pun ditentukan oleh penguasaan teori. Di sekolah dasar atau sekolah menengah yang dipraktekkan paling kata-kata thank you, welcome, i love you, how are you.
Orang-orang Bali pun kemudian menguasai bahasa Bali dan bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris buat mereka yang menyukainya. Dengan tiga bahasa itu, orang Bali zaman dulu bercakap-cakap dengan orang-orang sekitar. Berbahasa Indonesia di kelas, selepas bubaran sekolah ngobrol dengan bahasa Bali bersama teman. Di rumah, dengan bapak ibu berbahasa Bali juga. Baru setelah menamatkan SMA orang Bali merasakan menguasai bahasa Inggris itu penting jika hendak meneruskan sekolah dan karier.
Bahasa Inggris kemudian tidak hanya buat hafalan, tak cukup dikenal sebagai ilmu untuk kenaikan kelas atau lulus ujian, bukan cuma teori, tapi mesti dikuasai, juga prakteknya. Di sekitar orang Bali bukan lagi berseliweran kerabat Bali, tidak cuma orang Indonesia, juga orang-orang luar yang berbahasa Inggris. Menguasai bahasa Inggris, bahasa Indonesia, jadi lebih menguntungkan jika cuma menguasai bahasa Bali.
Lambat laun bahasa Inggris, bahasa Indonesia, lebih mendesak untuk dikuasai. Dalam lingkup sekolah dan kegiatan resmi, bahasa Indonesia lebih banyak pemakainya. Di sekolah, di kantor, guru-murid, bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia. Di pasar-pasar, karena banyak pedagang dari luar Bali menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Bali pun terpinggirkan.
Mulailah muncul komentar-komentar bahasa Bali menuju kepunahan karena semakin sedikit penuturnya. Orang Bali sendiri sehari-hari lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. Dalam pertemuan-pertemuan, rapat-rapat, bahkan ketika membahas nasib bahasa Bali, yang digunakan justru bahasa Indonesia.
Tapi, banyak yang yakin, bahasa Bali tak akan runtuh kalau saja ada gerakan untuk terus menerus mengembangkannya. Gerakan itu harus melahirkan sebuah sistem agar orang-orang mencintai dan menggunakan bahasa Bali. Muncullah aturan-aturan, undang-undang, agar secara teratur, di hari-hari tertentu, kantor-kantor menggunakan bahasa Bali. Sekolah-sekolah harus mengajarkan bahasa Bali, maka guru-guru bahasa Bali, penyuluh-penyuluh bahasa Bali, diperbanyak. Dana dari APBD digelontorkan untuk melindungi bahasa Bali.
Perlindungan terhadap bahasa Bali, di tanah kelahirannya, disebut-sebut seperti kita melindungi tumpah darah, melindungi Ibu Pertiwi, sebuah tanggung jawab dan kewajiban. Tapi jika ditanya, tidakkah perlindungan itu pertanda masyarakat, penguasa, pengambil keputusan, melakukan proteksi terhadap bahasa Bali? Tidakkah perlindungan itu karena khawatir, jika dibiarkan, bahasa Bali memang akan lenyap ditelan zaman, dilindas oleh bahasa-bahasa lain, bahasa asing, kalah bersaing? Tidakkah ini pertanda, selama ini bahasa Bali tengah meratapi kesedihan akan ditinggalkan oleh para penuturnya? Dan peraturan-peraturan itu, kegiatan-kegiatan proteksi itu, menjadi sebuah penghiburan.
Karena mendapat proteksi, bahasa Bali menjadi anak emas. Ada hari khusus dan bulan khusus bahasa Bali, agar semua orang mencintai bahasa Bali. Dana yang dilimpahkan tentu tidak kecil. Wajar jika kemudian orang bertanya-tanya, apakah semakin bertambah banyak penutur bahasa Bali? Apakah bahasa Bali semakin sering digunakan di rumah-rumah dan kantor-kantor sebagai bahasa pengantar? Atau undang-undang ini hanya mampu sebatas mengkaji bahasa Bali sebagai ilmu, cuma buat teori. Seperti dulu anak-anak sekolahan belajar bahasa Inggris, cuma buat kelulusan, hanya meresapi teori. Atau ini cuma politik bahasa?
Maka wajar juga kalau ada yang berpendapat, tidak selalu tepat jika kita mengelu-elukan bahasa Bali. Janganlah menciptakan suasana seakan-akan bahasa Bali itu paling penting. Mereka ini berpendapat, sekarang zaman multi bahasa, orang sepantasnya menguasai banyak bahasa. Bukankah sekarang zaman penguasaan informasi, dan bahasa merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan informasi. Menguasai bahasa akan menguasai informasi dan komunikasi. Kian banyak seseorang menguasai bahasa, semakin banyak informasi dikuasai.
Seseorang yang menguasai beberapa bahasa, belasan bahasa, sering dinilai jenius. Tidak banyak orang menguasai sepuluh apalagi belasan bahasa di dunia. Orang seperti ini sangat dihormati, makhluk langka, sosok yang memiliki kepekaan lingkungan luar biasa untuk mendalami kebudayaan dunia.
Seorang pemandu wisata mungkin menguasai lima atau tujuh bahasa. Namun sebagai guide bahasa Inggris, ia lebih acap menggunakan bahasa Inggris. Tapi penguasaannya akan bahasa-bahasa lain membuat ia lebih mudah menciptakan keakraban berkomunikasi dengan tamu-tamu yang diantarnya.
Kalau begitu, berapa bahasa harus dikuasai seseorang? Banyak. Seberapa banyak? Pokoknya banyak. Tapi, tetap harus ada selalu bahasa pemersatu. Itu sebabnya, dari berpuluh bahasa daerah yang ada di Tanah Air, para pendiri cikal bakal Republik ini ketika 28 Oktober 1928, sudah meneguhkan bahasa Indonesia, sebagai bahasa kesatuan. *
Aryantha Soethama
1
Komentar