Dua Kali Coba Bunuh Diri Terjun ke Jurang
Warga dengan keterbelakangan mental di Banjar Wanasari, Desa Sulangai, Kecamatan Petang, Ni Wayan Leni, 40, memerlukan uluran tangan dari dermawan.
Warga dengan Gangguan Mental Perlu Uluran Tangan
MANGUPURA, NusaBali
Anak terakhir dari pasangan Made Toblo dan Ni Ketut Simpen tersebut nyaris tak bisa berbuat apa-apa kecuali makan dan tidur. Dia tinggal di kamar berukuran kecil, yang lebih sering tutup rapat sehingga menebarkan aroma kurang sedap.
Untuk urusan pribadi, seperti makan, dia bergantung kepada saudara-saudaranya yang hidup kekurangan. Besar tanpa belaian kasih sayang kedua orangtua, Leni kecil dikenal sangat pendiam. Meski demikian, Leni kecil masih bisa mengenyam pendidikan meski hanya tingkat dasar, yakni di SD 1 Sulangai. “Anaknya memang pendiam dari kecil. Tapi waktu kecil masih bisa bergaul,” kata Ketut Sudiata, kakak kandung Leni saat ditemui di kediamannya, Senin (24/10).
Beranjak remaja atau sekitar usia 16 tahun, pihak keluarga memutuskan menitipkannya ke sanak saudara yang ada di Gianyar, agar Leni bisa bekerja dan hidup mandiri seperti teman sebayanya. Namun apa daya, Leni yang saat itu menginjak remaja sudah menunjukkan tanda-tanda mengalami gangguan mental. Hingga akhirnya Leni dibawa kembali ke kampung halaman. “Dulu dia latihan menenun di Gianyar, tapi sayangnya mentalnya terganggu, jadi kami bawa dia pulang. Hingga akhirnya seperti ini,” kenang pria yang bekerja sebagai petani tersebut.
Semenjak Leni mengalami gangguan mental, pihak keluarga sudah berupaya mencarikan pengobatan. Baik pengobatan medis sampai non medis. Keluarga sampai lupa berapa kali Leni dirawat di RSJ Bali di Bangli.
“Sempat ada perubahan, setelah dirawat tiga bulan di (RSJ) Bangli. Dan diperbolehkan pulang. Tapi dia kambuh lagi,” ungkap Sudirta. Kini Leni yang sudah berusia menginjak 40 tahun, nyaris tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk makan, minum, dan segala aktivitas kesehariannya dilakukan di kamar kecil nan lembab persis di depan rumah saudara-saudaranya.
NusaBali sempat melihat langsung kondisi kamar yang ditempati Leni, yang ternyata adalah bantuan dari pemerintah. Kamarnya kecil dan bersebelahan dengan dapur. Tak ada tempat tidur. Hanya susunan bambu dengan alas seadanya.
Bukan tanpa sebab, kenapa pihak keluarga tak memberinya kasur empuk. Menurut Sudirta, Leni kadung terbiasa tidur dengan alas seadanya. “Pernah diberi kasur, malah diacak-acak. Waktu di kamar yang ada jendela kaca, kacanya dipecah. Jadi serba susah. Ya sudah lah terpaksa kami pisah, sekarang di kamar itu,” ujar Sudirta menunjuk kamar kecil di depan teras rumah. Jangankan kasur, bahkan untuk memakai baju, Leni tidak bisa dipaksa.
Leni pun sempat dua kali ingin mengakhiri hidupnya. Namun Sudirta lupa kapan waktunya. Hanya pengakuan Sudirta ini diamini saudaranya yang lain. “Dulu saya masih ingat, saat saya bawa ke orang pintar di Desa Getasan, Petang, dia lompat ke sungai dengan kedalaman tujuh meter. Untunglah dia tidak apa-apa,” katanya. Tak hanya sekali upaya bunuh diri tersebut, kedua kalinya Leni mencoba mengakhiri hidupnya dengan meloncat ke jurang yang berada di pekarangan rumah. Kira-kira lebih dari lima meter dalamnya. Beruntungnya, percobaan kedua juga gagal.
Apakah gangguan jiwa juga dialami keluarga yang lain? Sudirta mengiyakan. “Keponakan saya juga begitu. Ya termasuk juga keponakannya Leni. Namanya I Wayan Astawa, anak kakak kandung Leni (Ni Ketut Jumu) dan suaminya (I Nyoman Gatri). Usianya sekarang 32 tahun. Sama, dulu dia bekerja seperti biasa. Tapi dia sekarang juga mengalami gangguan mental,” tuturnya. Tapi Astawa masih bisa berkomunikasi dan penampilannya tidak seperti Leni. “Dulu bibik saya juga sama seperti adik saya sekarang. Tapi saya lupa namanya,” ungkapnya.
Terkait kondisi Leni yang lebih sering di kamar, menurut Sudirta, hal itu karena keluarga tak ingin Leni berkeliaran. “Kalau kami sedang kerja, ya kami terpaksa kunci dari luar. Tapi kalau kami ada di rumah, kamarnya kami buka seperti biasa, jadi dia bebas keluar masuk,” ucapnya. Sudirta pun membantah bila telah memasung Leni dengan sengaja. “Kalau dipasung tidak pernah kami lakukan. Paling kami mengikatnya saja, kalau dia sudah tidak bisa dikasih tahu. Itu pun hanya hitungan jam, setelah itu dilepas lagi. Saya sendiri lupa kapan saya mengikatnya, karena sudah lama sekali,” bantahnya.
Merawat Leni, imbuhnya, tak susah. Diakui selama ini Leni tidak meminta apa-apa. Melihat kondisi Leni, Sudirta berharap ada perhatian dari pemerintah agar bisa Leni direhabilitasi. “Keluarga sudah pasrah, yang penting bagaimana caranya adik saya mendapat perawatan. Kami mohon kepada pemerintah kalau bisa dicarikan tempat rehabilitasi,” harapnya. “Kami sudah tak mampu lagi mencarikan pengobatan. Untuk makan sehari-hari saja kami susah. Kalau tidak pemerintah siapa lagi,” harap Sudirta yang sehari-hari bekerja sebagai petani dan terkadang berjualan jeruk.
Pada Senin (24/10) siang, Ketua Tim Penggerak (TP) PKK Kabupaten Badung Ny Seniasih Giri Prasta menyambangi kediaman Leni dan keluarga. Ny Seniasih menyerahkan bantuan sembako kepada keluarga, dan menyatakan akan membantu sebaik-baiknya.
Sementara Kelian Dinas Banjar Wanasari Wayan Suadnyana, mengatakan bantuan dari desa dan Pemkab Badung tak pernah berhenti. Mulai dari bantuan raskin, rumah layak huni sudah diberikan. “Termasuk dana bantuan usaha ekonomi produktif (UEP) dan bedah rumah atau peningkatan kualitas rumah sehat, sudah diberikan langsung oleh bapak Bupati,” katanya. asa
1
Komentar