Seniman Harus Siap Alih Media dan Beradaptasi
DENPASAR, NusaBali
Pandemi covid-19 telah ‘mempercepat’ era teknologi digital berjalan. Hampir semua kegiatan masyarakat kini dilakukan dengan virtual atau dalam jaringan (daring).
Tak terkecuali seni sastra dan pertunjukan yang kini juga mulai menggunakan media virtual. Seniman harus siap beradaptasi dengan media baru. Hal tersebut terungkap dalam Timbang Rasa (sarasehan) serangkaian Festival Seni Bali Jani (FSBJ II Tahun 2020, Selasa (3/11).
Sarasehan yang mengambil tema ‘Pentas Seni Sastra dan Pertunjukan Virtual’ menghadirkan narasumber Dr I Kadek Suartaya SSKar MSi dan Seno Joko Suyono. Acara berlangsung virtual melalui aplikasi zoom dan dipandu oleh moderator Cok Istri Priti Mahendradevi. Menurut Kadek Suartaya, di masa pandemi seperti sekarang, teknologi digital yang mengampu peradaban dan kesenian telah memberikan ruang kepada para seniman untuk tampil. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi para seniman agar mampu tetap eksis berkesenian.
“Bagi seniman yang belum melek teknologi, ini adalah tantangan untuk tetap bisa eksis. Tapi bagi seniman-seniman yang sudah melek dengan teknologi digital, seperti kaum milenials, ini adalah peluang yang bagus untuk ambil bagian. Kuncinya adalah mampu beradaptasi dengan keadaan dan perubahan apapun,” jelasnya.
Dosen ISI Denpasar ini melanjutkan, seniman adalah salah seorang yang peka atau sensitif terhadap beragam perubahan kehidupan. Ini berarti seniman termasuk insan-insan yang mampu beradaptasi. Karena itu, di era peralihan media ini, seniman harus mulai sadar dan belajar beradaptasi agar memiliki pengetahuan teknologi digital.
“Tidak ada salahnya seniman beralih media. Yang tadinya panggung dan ditonton langsung, kini dengan media virtual, meski tidak ditonton tapi mereka bisa menampilkan kualitas, dan yang melihat videonya bisa lebih banyak,” ungkap Suartaya.
Sementara itu, Seno Joko Suyono mengatakan, dari beberapa pengamatannya terhadap pertunjukan seni kontemporer di Yogyakarta, menunjukkan seniman memiliki tingkat adaptasi yang cukup tinggi untuk memasuki dunia virtual. Memasuki bulan Oktober dan November 2020, sudah banyak bermunculan festival-festival dalam bentuk virtual. Ada juga festival tahunan yang sedianya dilakukan secara luring, kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk daring.
“Menurut saya itu adalah siasat yang menarik. Bahkan secara daring, kita sebenarnya memiliki kesempatan secara visual untuk melihat apa yang tidak dapat dinikmati ketika menonton secara langsung di atas panggung. Jadi, ada pengkayaan hal-hal lain yang dapat dinikmati secara virtual, bukan semata seni pertunjukannya saja. Bisa berupa studio tour atau behind the scene,” jelasnya.
Dia juga melihat pergeseran tempat yang digunakan untuk pertunjukan. Jika biasanya pertunjukan mengambil tempat sebuah gedung, lewat media virtual pementasan bisa dilakukan di tempat-tempat personal yang dieksplorasi kemudian disajikan dalam bentuk karya. “Saya melihat ada satu perpindahan ruang. Jika pertunjukan langsung, kita biasanya lihat di auditorium, tiba-tiba data dengan media virtual, bisa bergeser ke ruang-ruang personal dan privat yang tadinya tidak terbayangkan akan digunakan dan kita tonton,” imbuhnya. *ind
Sarasehan yang mengambil tema ‘Pentas Seni Sastra dan Pertunjukan Virtual’ menghadirkan narasumber Dr I Kadek Suartaya SSKar MSi dan Seno Joko Suyono. Acara berlangsung virtual melalui aplikasi zoom dan dipandu oleh moderator Cok Istri Priti Mahendradevi. Menurut Kadek Suartaya, di masa pandemi seperti sekarang, teknologi digital yang mengampu peradaban dan kesenian telah memberikan ruang kepada para seniman untuk tampil. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi para seniman agar mampu tetap eksis berkesenian.
“Bagi seniman yang belum melek teknologi, ini adalah tantangan untuk tetap bisa eksis. Tapi bagi seniman-seniman yang sudah melek dengan teknologi digital, seperti kaum milenials, ini adalah peluang yang bagus untuk ambil bagian. Kuncinya adalah mampu beradaptasi dengan keadaan dan perubahan apapun,” jelasnya.
Dosen ISI Denpasar ini melanjutkan, seniman adalah salah seorang yang peka atau sensitif terhadap beragam perubahan kehidupan. Ini berarti seniman termasuk insan-insan yang mampu beradaptasi. Karena itu, di era peralihan media ini, seniman harus mulai sadar dan belajar beradaptasi agar memiliki pengetahuan teknologi digital.
“Tidak ada salahnya seniman beralih media. Yang tadinya panggung dan ditonton langsung, kini dengan media virtual, meski tidak ditonton tapi mereka bisa menampilkan kualitas, dan yang melihat videonya bisa lebih banyak,” ungkap Suartaya.
Sementara itu, Seno Joko Suyono mengatakan, dari beberapa pengamatannya terhadap pertunjukan seni kontemporer di Yogyakarta, menunjukkan seniman memiliki tingkat adaptasi yang cukup tinggi untuk memasuki dunia virtual. Memasuki bulan Oktober dan November 2020, sudah banyak bermunculan festival-festival dalam bentuk virtual. Ada juga festival tahunan yang sedianya dilakukan secara luring, kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk daring.
“Menurut saya itu adalah siasat yang menarik. Bahkan secara daring, kita sebenarnya memiliki kesempatan secara visual untuk melihat apa yang tidak dapat dinikmati ketika menonton secara langsung di atas panggung. Jadi, ada pengkayaan hal-hal lain yang dapat dinikmati secara virtual, bukan semata seni pertunjukannya saja. Bisa berupa studio tour atau behind the scene,” jelasnya.
Dia juga melihat pergeseran tempat yang digunakan untuk pertunjukan. Jika biasanya pertunjukan mengambil tempat sebuah gedung, lewat media virtual pementasan bisa dilakukan di tempat-tempat personal yang dieksplorasi kemudian disajikan dalam bentuk karya. “Saya melihat ada satu perpindahan ruang. Jika pertunjukan langsung, kita biasanya lihat di auditorium, tiba-tiba data dengan media virtual, bisa bergeser ke ruang-ruang personal dan privat yang tadinya tidak terbayangkan akan digunakan dan kita tonton,” imbuhnya. *ind
1
Komentar