Daya Dukung Ketahanan Pangan Denpasar Masih Lemah
DENPASAR, NusaBali
Dalam mewujudkan ketahanan pangan (food security), rantai makanan (food chain) menjadi salah satu elemen yang penting.
Ketahanan pangan sendiri merupakan gabungan yang didapat dari tiga elemen, yaitu production (produksi), distribution (distribusi), dan community (masyarakat). Untuk memaksimalkan bagaimana elemen-elemen dari food chain, mulai dari produksi, distribusi hingga sampai ke tangan masyarakat yang membutuhkan, itu sangat tergantung pada beberapa faktor, seperti politics (politik), health (kesehatan), environment (lingkungan), society (lingkungan masyarakat), dan ekonomi.
Hal ini diungkapkan oleh Prof I Made Supartha Utama MS PhD, dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana (Unud) dalam webinar bertajuk Jaga Ketahanan Pangan Denpasar oleh Sapama Center, Selasa (3/11) malam. Webinar diisi oleh tiga pembicara yang merupakan pemerhati ketahanan pangan, yakni Prof Supartha Utama, I Made Mantrayasa yang merupakan Penggiat Kebun Berdaya, dan I Nyoman Baskara, Ketua Komunitas Inovasi Teknologi Agro Indonesia dan sekaligus Pendiri Agro Learning Center (ALC).
Dalam webinar yang berlangsung melalui tautan aplikasi Zoom Meeting ini Prof Supartha Utama membahas mengenai bagaimana relasi antar elemen dapat menunjang ketahanan pangan. “Jadi, food chain atau supply chain dipengaruhi oleh beberapa faktor ini. Katakanlah umpamanya faktor politik di sini ada political party, ada policy, ada legislation. Tadi saya berbicara tentang Pergub 99 tahun 2018 terkait dengan pemanfaatan dan pemasaran produk lokal. Nah ini tidak bisa kita berbicara sendiri, kita harus lihat sistem yang lainnya,” ujarnya.
Melihat kondisi saat ini, food chain atau food supply masih bersifat statis dan masih lekat dengan tradisi-tradisi. “Sedangkan di sini terkait dengan konsumen, itu sudah berkembang dinamis, berkaitan dengan kesehatan, dan juga mereka memperkarakan aspek lingkungan dan sebagainya. Jadi kita harus berbicara konteks sistem. Jika kita mau mengembangkan pangan dalam konteks food security, itu kita harus lihat konteks sistemnya,” lanjut dosen yang juga merupakan Ketua Udayana Community Development Center Universitas Udayana ini.
Dalam webinar ini, Prof Supartha turut memperlihatkan sejumlah data ketahanan pangan di Kota Denpasar yang bersumber dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Bali tahun 2019. Di Kota Denpasar dengan jumlah penduduk sekitar 468.000 jiwa hanya didukung oleh 18% ketahanan pangan lokal Denpasar.
“Jadi produksi padi 28.000 ton itu untuk mengisi 468.000 jiwa, itu sangat sedikit. Ini padi, bukan beras. Padi kalau saya hitung, itu sekitar 5% daya dukungnya,” tambahnya.
Alih fungsi lahan juga menjadi salah satu fenomena di Bali yang menarik. Alih fungsi lahan sendiri menyebabkan menurunnya daya dukung ketahanan pangan lokal. Bisa jadi, hal ini disebabkan oleh sistem pertanian yang kurang efektif, mulai dari produksi hingga supply. Di satu sisi, ada juga pergerakan dari sektor pariwisata yang menyebabkan nilai lahan semakin tinggi.
Seiring dengan kebutuhan hidup yang semakin tinggi, nilai lahan yang semakin tinggi dan produksi pertanian yang kurang maksimal, terdapat tendensi untuk menjual lahan pertanian tersebut, yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan.
Fenomena-fenomena ini mengarah ke satu pertanyaan, bagaimana memanfaatkan lahan sempit agar bisa efisien dan efektif dan memberikan nilai tambah yang signifikan bagi kehidupan keluarga. “Karena sekarang daya dukungnya masih lemah, ini memerlukan interkoneksi sistem pangan, antar daerah dalam level provinsi maupun nasional,” tegas Prof Supartha Utama. *cr74
Hal ini diungkapkan oleh Prof I Made Supartha Utama MS PhD, dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana (Unud) dalam webinar bertajuk Jaga Ketahanan Pangan Denpasar oleh Sapama Center, Selasa (3/11) malam. Webinar diisi oleh tiga pembicara yang merupakan pemerhati ketahanan pangan, yakni Prof Supartha Utama, I Made Mantrayasa yang merupakan Penggiat Kebun Berdaya, dan I Nyoman Baskara, Ketua Komunitas Inovasi Teknologi Agro Indonesia dan sekaligus Pendiri Agro Learning Center (ALC).
Dalam webinar yang berlangsung melalui tautan aplikasi Zoom Meeting ini Prof Supartha Utama membahas mengenai bagaimana relasi antar elemen dapat menunjang ketahanan pangan. “Jadi, food chain atau supply chain dipengaruhi oleh beberapa faktor ini. Katakanlah umpamanya faktor politik di sini ada political party, ada policy, ada legislation. Tadi saya berbicara tentang Pergub 99 tahun 2018 terkait dengan pemanfaatan dan pemasaran produk lokal. Nah ini tidak bisa kita berbicara sendiri, kita harus lihat sistem yang lainnya,” ujarnya.
Melihat kondisi saat ini, food chain atau food supply masih bersifat statis dan masih lekat dengan tradisi-tradisi. “Sedangkan di sini terkait dengan konsumen, itu sudah berkembang dinamis, berkaitan dengan kesehatan, dan juga mereka memperkarakan aspek lingkungan dan sebagainya. Jadi kita harus berbicara konteks sistem. Jika kita mau mengembangkan pangan dalam konteks food security, itu kita harus lihat konteks sistemnya,” lanjut dosen yang juga merupakan Ketua Udayana Community Development Center Universitas Udayana ini.
Dalam webinar ini, Prof Supartha turut memperlihatkan sejumlah data ketahanan pangan di Kota Denpasar yang bersumber dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Bali tahun 2019. Di Kota Denpasar dengan jumlah penduduk sekitar 468.000 jiwa hanya didukung oleh 18% ketahanan pangan lokal Denpasar.
“Jadi produksi padi 28.000 ton itu untuk mengisi 468.000 jiwa, itu sangat sedikit. Ini padi, bukan beras. Padi kalau saya hitung, itu sekitar 5% daya dukungnya,” tambahnya.
Alih fungsi lahan juga menjadi salah satu fenomena di Bali yang menarik. Alih fungsi lahan sendiri menyebabkan menurunnya daya dukung ketahanan pangan lokal. Bisa jadi, hal ini disebabkan oleh sistem pertanian yang kurang efektif, mulai dari produksi hingga supply. Di satu sisi, ada juga pergerakan dari sektor pariwisata yang menyebabkan nilai lahan semakin tinggi.
Seiring dengan kebutuhan hidup yang semakin tinggi, nilai lahan yang semakin tinggi dan produksi pertanian yang kurang maksimal, terdapat tendensi untuk menjual lahan pertanian tersebut, yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan.
Fenomena-fenomena ini mengarah ke satu pertanyaan, bagaimana memanfaatkan lahan sempit agar bisa efisien dan efektif dan memberikan nilai tambah yang signifikan bagi kehidupan keluarga. “Karena sekarang daya dukungnya masih lemah, ini memerlukan interkoneksi sistem pangan, antar daerah dalam level provinsi maupun nasional,” tegas Prof Supartha Utama. *cr74
1
Komentar