Titik Temu di Sumberklampok Selangkah Lagi
Terkait Lahan Bandara Bali Utara, Sekda-Ketua DPRD Bali Hadiri Doa Bersama
Setelah persoalan lahan di Desa Sumberklampok ini selesai, baru kemudian dilanjutkan dengan pembahasan soal pembangunan Bandara Bali Utara.
SINGARAJA, NusaBali
Persoalan pertanahan di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, yang sudah berlangsung sejak puluhan tahun lamanya, kini selangkah lagi mencapai titik temu. Hal tersebut terungkap setelah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali, DPRD Bali, Pemkab Buleleng ‘duduk’ bersama ratusan masyarakat Desa Sumberklampok dalam kegiatan doa bersama di Pura Perjuangan, Banjar Dinas Sumber Batok, Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Sabtu (7/11) pagi. Penyelesaian masalah tanah ini juga terkait dengan rencana pembangunan Bandara Bali Utara.
Menurut Perbekel Sumberklampok, I Wayan Sawitra Yasa, doa bersama merupakan kegiatan yang dilangsungkan setiap tahun sebagai salah satu upaya masyarakat desa mendorong penyelesaian konflik agraria di desanya. "Harapannya agar konflik agraria yang terjadi sejak puluhan tahun di desa dan terus kami perjuangkan bisa segera diselesaikan," ujar Sawitra Yasa.
Dia menambahkan, masyarakat berharap agar permohonan hak atas tanah yang sudah ditempati oleh sedikitnya 900 Kepala Keluarga (KK) dan digarap turun-temurun di sebagian lahan eks HGU PT Margarana dan PT Dharmajati itu, dapat mereka peroleh sesuai ketentuan pokok agraria, yakni dengan cara penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) oleh pemerintah.
Doa bersama yang digelar secara swadaya oleh masyarakat ini dimulai pukul 09.00 Wita dan dihadiri oleh masyarakat Desa Sumberklampok baik yang beragama Hindu maupun Islam. Ratusan krama Hindu Desa Sumberklampok memadati sisi timur pura dan memanjatkan doa bersamaan dengan umat Muslim Desa Sumberklampok di sisi barat pura.
Sejumlah tokoh turut hadir dalam kegiatan tersebut, di antaranya Sekda Provinsi Bali, Dewa Made Indra, Ketua DPRD Bali, Nyoman Adi Wiryatama, Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana, Wakil Bupati Buleleng, I Nyoman Sutjidra, anggota DPRD Bali Dapil Buleleng, I Ketut Rochineng, hingga Ketua Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Bali, Ni Made Indrawati.
Sekda Provinsi Bali, Dewa Made Indra, menyebutkan Pemprov Bali telah berupaya menyelesaikan persoalan pertanahan di Desa Sumberklampok. Pemprov pun sudah berkali-kali duduk bersama melakukan perundingan dengan perwakilan masyarakat Desa Sumberklampok dan Tim 9 Penyelesaian Tanah Desa Sumberklampok.
Upaya penyelesaian konflik agraria yang sudah berlarut selama puluhan tahun ini juga dilakukan mengingat rencana penggeseran lokasi pembangunan Bandara Bali Utara dari sebelumnya di wilayah Desa/Kecamatan Kubutambahan, ke wilayah Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak.
Sebelumnya, Sekda Dewa Indra membeberkan rencana Pemerintah Pusat membangun bandara bertaraf internasional di wilayah Buleleng kepada masyarakat Desa Sumberklampok. Kata dia, pembangunan bandara tersebut bertujuan untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
"Kami meyakini bandara merupakan salah satu titik yang menggerakkan perekonomian. Dengan adanya bandara maka lapangan pekerjaan akan tercipta dan ekonomi akan berkembang. Jadi bandara ini penting untuk menggerakkan ekonomi masyarakat, bukan hanya untuk mengangkut orang saja," kata Dewa Indra. Dia mengklaim pemerintah tidak akan sembarangan melakukan penggusuran atau merampas hak-hak milik masyarakat dalam pembangunan bandara tersebut. Pemerintah telah berupaya mendengar aspirasi masyarakat Desa Sumberklampok melalui Tim 9. Dari hasil perundingan dengan Tim 9 akhirnya menemukan kesepakatan.
Dari luas lahan sekitar 615 hektare yang ada, sebanyak 65,5 hektare di antaranya sudah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pekarangan atau pemukiman. Lahan seluas 65,5 hektare itu rencananya tetap akan diberikan kepada masyarakat, ditandai dengan penerbitan sertifikat hak milik (SHM). Begitu juga dengan fasilitas umum yang ada seperti jalan, pura, hingga setra (kuburan) yang sudah dihitung. Sedangkan sekitar 514 hektare lahan kosong sisa yang tidak ditempati masyarakat, akan diminta 30 persennya oleh pemerintah sebagai lahan pembangunan bandara. Sedangkan 70 persennya diberikan kepada masyarakat yang sudah mengelola lahan tersebut selama puluhan tahun.
"Ini hanya gambaran umum saja. Gambaran detailnya nanti akan dirundingkan lagi," kata dia. Sekda Dewa Indra mengatakan, pada intinya kepentingan masyarakat berusaha diakomodir agar seiring dengan kepentingan pemerintah. "Yang penting kami berusaha membangun kesepakatan dan komitmen dengan masyarakat. Perundingan ini akan berjalan terus, jadi belum bisa ditargetkan kapan tuntasnya," ujar birokrat asal Desa Pemaron, Kecamatan/Kabupaten Buleleng ini.
Dewa Indra menambahkan, jika kesepakatan sudah selesai dan menemukan titik temu akan dilanjutkan dengan proses pesertifikatan lahan yang ditempati masyarakat.
Setelah persoalan lahan selesai, baru kemudian dilanjutkan dengan pembahasan soal pembangunan bandara. "Artinya masalah lahan harus clear dulu. Baru Gubernur akan lapor lagi ke Pemerintah Pusat. Rencana kan bertahap, nanti akan dilanjutkan pembahasan lagi," tandasnya.
Ketua Tim 9 Penyelesaian Tanah Desa Sumberklampok, Putu Artana, menyebutkan, solusi jalan tengah terkait konflik lahan dengan komposisi 70:30 ini sebenarnya sudah disepakati oleh warga. "Sesuai hasil pertemuan dengan Gubernur, untuk pekarangan dan fasilitas umum yang digunakan oleh masyarakat tidak dihitung. Jadi tersisa sekitar 500 hektare lebih lahan untuk dibagi lagi. Perhitungannya 70 persen untuk masyarakat, dan 30 persen untuk pemerintah," katanya.
Solusi tersebut, kata dia, sudah menemui titik temu. Hanya tinggal menunggu persetujuan dari DPRD Bali. Persetujuan ini targetnya selesai dua minggu lagi. "Kalau kemarin Gubernur menyampaikan ini akan dituntaskan dalam waktu dua minggu. Setelah ini selesai tim desa baru bekerja dengan BPN mengalokasikan 70:30 itu. Kami sudah memiliki pemetaan," kata Artana.
Sedangkan untuk SHM atas lahan yang ditempati oleh warga diperkirakan akan diterbitkan pada bulan Agustus 2021. "Namun kami berharap pensertifikatan ini lebih cepat akan lebih baik. Setelah sertifikat tersebut terbit, baru masyarakat mau diajak berbicara soal bandara," tutup Putu Artana.
Sementara Ketua DPRD Bali, Nyoman Adi Wiryatama, usai doa bersama di Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng kepada NusaBali mengatakan DPRD Bali dengan Komisi I DPRD Bali membidangi agraria, aset daerah dan hukum akan menyelesaikan persoalan agraria di Sumberklampok. "Kami di DPRD Bali sudah komitmen berusaha supaya persoalan di Sumberklampok itu tuntas. Nanti bersama Komisi I yang membidangi Agraria berkoordinasi dengan Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng," ujar politisi senior PDIP asal Desa Angseri, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan ini.
Adi Wiryatama menekankan bahwa masalah di Sumberklampok adalah masalah krusial. Namun tidak boleh dibiarkan lama terjadi. "Harus diselesaikan. Jangan dibiarkan numpuk terus. Kasihan masyarakat. Maka dengan doa bersama hari ini (kemarin, red) kita memulai dengan cara yang lebih adem dan dingin. Selesaikan dengan baik," kata Ketua Dewan Pertimbangan DPD PDIP Provinsi Bali ini. *cr75, nat
Persoalan pertanahan di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, yang sudah berlangsung sejak puluhan tahun lamanya, kini selangkah lagi mencapai titik temu. Hal tersebut terungkap setelah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali, DPRD Bali, Pemkab Buleleng ‘duduk’ bersama ratusan masyarakat Desa Sumberklampok dalam kegiatan doa bersama di Pura Perjuangan, Banjar Dinas Sumber Batok, Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Sabtu (7/11) pagi. Penyelesaian masalah tanah ini juga terkait dengan rencana pembangunan Bandara Bali Utara.
Menurut Perbekel Sumberklampok, I Wayan Sawitra Yasa, doa bersama merupakan kegiatan yang dilangsungkan setiap tahun sebagai salah satu upaya masyarakat desa mendorong penyelesaian konflik agraria di desanya. "Harapannya agar konflik agraria yang terjadi sejak puluhan tahun di desa dan terus kami perjuangkan bisa segera diselesaikan," ujar Sawitra Yasa.
Dia menambahkan, masyarakat berharap agar permohonan hak atas tanah yang sudah ditempati oleh sedikitnya 900 Kepala Keluarga (KK) dan digarap turun-temurun di sebagian lahan eks HGU PT Margarana dan PT Dharmajati itu, dapat mereka peroleh sesuai ketentuan pokok agraria, yakni dengan cara penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) oleh pemerintah.
Doa bersama yang digelar secara swadaya oleh masyarakat ini dimulai pukul 09.00 Wita dan dihadiri oleh masyarakat Desa Sumberklampok baik yang beragama Hindu maupun Islam. Ratusan krama Hindu Desa Sumberklampok memadati sisi timur pura dan memanjatkan doa bersamaan dengan umat Muslim Desa Sumberklampok di sisi barat pura.
Sejumlah tokoh turut hadir dalam kegiatan tersebut, di antaranya Sekda Provinsi Bali, Dewa Made Indra, Ketua DPRD Bali, Nyoman Adi Wiryatama, Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana, Wakil Bupati Buleleng, I Nyoman Sutjidra, anggota DPRD Bali Dapil Buleleng, I Ketut Rochineng, hingga Ketua Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Bali, Ni Made Indrawati.
Sekda Provinsi Bali, Dewa Made Indra, menyebutkan Pemprov Bali telah berupaya menyelesaikan persoalan pertanahan di Desa Sumberklampok. Pemprov pun sudah berkali-kali duduk bersama melakukan perundingan dengan perwakilan masyarakat Desa Sumberklampok dan Tim 9 Penyelesaian Tanah Desa Sumberklampok.
Upaya penyelesaian konflik agraria yang sudah berlarut selama puluhan tahun ini juga dilakukan mengingat rencana penggeseran lokasi pembangunan Bandara Bali Utara dari sebelumnya di wilayah Desa/Kecamatan Kubutambahan, ke wilayah Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak.
Sebelumnya, Sekda Dewa Indra membeberkan rencana Pemerintah Pusat membangun bandara bertaraf internasional di wilayah Buleleng kepada masyarakat Desa Sumberklampok. Kata dia, pembangunan bandara tersebut bertujuan untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
"Kami meyakini bandara merupakan salah satu titik yang menggerakkan perekonomian. Dengan adanya bandara maka lapangan pekerjaan akan tercipta dan ekonomi akan berkembang. Jadi bandara ini penting untuk menggerakkan ekonomi masyarakat, bukan hanya untuk mengangkut orang saja," kata Dewa Indra. Dia mengklaim pemerintah tidak akan sembarangan melakukan penggusuran atau merampas hak-hak milik masyarakat dalam pembangunan bandara tersebut. Pemerintah telah berupaya mendengar aspirasi masyarakat Desa Sumberklampok melalui Tim 9. Dari hasil perundingan dengan Tim 9 akhirnya menemukan kesepakatan.
Dari luas lahan sekitar 615 hektare yang ada, sebanyak 65,5 hektare di antaranya sudah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pekarangan atau pemukiman. Lahan seluas 65,5 hektare itu rencananya tetap akan diberikan kepada masyarakat, ditandai dengan penerbitan sertifikat hak milik (SHM). Begitu juga dengan fasilitas umum yang ada seperti jalan, pura, hingga setra (kuburan) yang sudah dihitung. Sedangkan sekitar 514 hektare lahan kosong sisa yang tidak ditempati masyarakat, akan diminta 30 persennya oleh pemerintah sebagai lahan pembangunan bandara. Sedangkan 70 persennya diberikan kepada masyarakat yang sudah mengelola lahan tersebut selama puluhan tahun.
"Ini hanya gambaran umum saja. Gambaran detailnya nanti akan dirundingkan lagi," kata dia. Sekda Dewa Indra mengatakan, pada intinya kepentingan masyarakat berusaha diakomodir agar seiring dengan kepentingan pemerintah. "Yang penting kami berusaha membangun kesepakatan dan komitmen dengan masyarakat. Perundingan ini akan berjalan terus, jadi belum bisa ditargetkan kapan tuntasnya," ujar birokrat asal Desa Pemaron, Kecamatan/Kabupaten Buleleng ini.
Dewa Indra menambahkan, jika kesepakatan sudah selesai dan menemukan titik temu akan dilanjutkan dengan proses pesertifikatan lahan yang ditempati masyarakat.
Setelah persoalan lahan selesai, baru kemudian dilanjutkan dengan pembahasan soal pembangunan bandara. "Artinya masalah lahan harus clear dulu. Baru Gubernur akan lapor lagi ke Pemerintah Pusat. Rencana kan bertahap, nanti akan dilanjutkan pembahasan lagi," tandasnya.
Ketua Tim 9 Penyelesaian Tanah Desa Sumberklampok, Putu Artana, menyebutkan, solusi jalan tengah terkait konflik lahan dengan komposisi 70:30 ini sebenarnya sudah disepakati oleh warga. "Sesuai hasil pertemuan dengan Gubernur, untuk pekarangan dan fasilitas umum yang digunakan oleh masyarakat tidak dihitung. Jadi tersisa sekitar 500 hektare lebih lahan untuk dibagi lagi. Perhitungannya 70 persen untuk masyarakat, dan 30 persen untuk pemerintah," katanya.
Solusi tersebut, kata dia, sudah menemui titik temu. Hanya tinggal menunggu persetujuan dari DPRD Bali. Persetujuan ini targetnya selesai dua minggu lagi. "Kalau kemarin Gubernur menyampaikan ini akan dituntaskan dalam waktu dua minggu. Setelah ini selesai tim desa baru bekerja dengan BPN mengalokasikan 70:30 itu. Kami sudah memiliki pemetaan," kata Artana.
Sedangkan untuk SHM atas lahan yang ditempati oleh warga diperkirakan akan diterbitkan pada bulan Agustus 2021. "Namun kami berharap pensertifikatan ini lebih cepat akan lebih baik. Setelah sertifikat tersebut terbit, baru masyarakat mau diajak berbicara soal bandara," tutup Putu Artana.
Sementara Ketua DPRD Bali, Nyoman Adi Wiryatama, usai doa bersama di Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng kepada NusaBali mengatakan DPRD Bali dengan Komisi I DPRD Bali membidangi agraria, aset daerah dan hukum akan menyelesaikan persoalan agraria di Sumberklampok. "Kami di DPRD Bali sudah komitmen berusaha supaya persoalan di Sumberklampok itu tuntas. Nanti bersama Komisi I yang membidangi Agraria berkoordinasi dengan Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng," ujar politisi senior PDIP asal Desa Angseri, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan ini.
Adi Wiryatama menekankan bahwa masalah di Sumberklampok adalah masalah krusial. Namun tidak boleh dibiarkan lama terjadi. "Harus diselesaikan. Jangan dibiarkan numpuk terus. Kasihan masyarakat. Maka dengan doa bersama hari ini (kemarin, red) kita memulai dengan cara yang lebih adem dan dingin. Selesaikan dengan baik," kata Ketua Dewan Pertimbangan DPD PDIP Provinsi Bali ini. *cr75, nat
Komentar