Siapakah Lawan Bali?
Setiap orang pasti punya teman, juga lawan. Tapi, yang lebih diurus adalah kawan, bukan musuh.
Seseorang sering menceritakan temannya ke mana-mana, kepada siapa saja yang dikenalnya. Apalagi jika teman itu orang hebat, pasti menceritakannya dengan wajah berseri-seri. “Temanku ini penari, sudah sering ke luar negeri, lho!” ujar seseorang memperkenalkan rekannya ke teman lain.
Banyak orang suka berteman dengan orang terkenal, seperti tokoh politik, seniman beken, orang kaya, atau orang biasa-biasa saja tapi sering muncul di televisi, entah sebagai narasumber atau pemain figuran sinetron. Karena si teman sudah terkenal, tentu tak perlu lagi memperkenalkannya dengan teman lama yang kebetulan suatu hari bersua di mal. Gengsinya jadi naik karena jalan-jalan dengan orang beken itu. Rekan-rekan yang kebetulan bertemu membicarakannya ke teman lain.
Gosip berseliweran mengapa dia sampai bisa kenal sama orang tersohor. Tak soal, ia dijadikan seperti ajudan, malah bangga bisa jadi pembela sang teman. Tidak apa, orang-orang menyebutnya sebagai panjak, hamba sahaya sang teman yang beken itu. Yang penting bisa nampang, ikut numpang tenar, kecipratan pencitraan.
Maka, kawan pun bisa mengangkat harkat seseorang. Karena itu, banyak orang mencoba mencari teman sebanyak-banyaknya agar ia bisa jadi terkenal. Bukankah kalau punya banyak kawan itu artinya seseorang terkenal? Itu mungkin sebabnya di Facebook dan Instagram orang jadi maniak berkawan dan mencari follower. Seolah-olah dengan banyak kawan diri menjadi lebih baik dan tambah hebat.
Seseorang yang punya banyak kawan sering diartikan sebagai orang baik. Jarang orang yang berkawan banyak merasa dirinya juga punya lawan banyak. Jika kawan-kawannya yang banyak itu punya lawan, tentu bisa diartikan mereka, para lawan itu, juga akan menjadi lawannya. Hukum alam berlaku di sini: banyak punya kawan juga berarti punya banyak lawan. Jika kawan-kawan itu memberi penghasilan besar, dengan sendirinya juga menyebabkan pengeluaran besar, karena harus mentraktir mereka makan-makan.
Tapi, tak ada orang yang ingin cari lawan. Semua ingin cari teman. Bukankah lebih baik kehilangan harta tinimbang kehilangan teman? Kawan yang hilang bisa menjadi musuh. Namun, sebaik-baiknya tabiat seseorang pasti punya lawan. Musuh itu bisa lahir dari berbagai persoalan. Kadang musuh itu tetap kecil, karena kita tak bersinggungan dengannya. Tapi, seringkali terus tumbuh menjadi besar, seperti dialami para pengusaha dengan pesaing bisnisnya.
Banyak orang tak menyadari kalau lawan itu kelihatan kecil tetapi sesungguhnya besar. Kadang orang disatukan karena punya lawan yang sama. Siapa pun pasti menilai kemiskinan dan kebodohan itu adalah musuh semua orang. Tapi, tak semua orang menilai kemiskinan itu sama besarnya.
Kemiskinan adalah musuh semua orang, tak peduli orang jahat atau manusia baik-baik. Karena itu, semestinya mereka bersatu padu memerangi kemiskinan.
Tapi, karena orang baik-baik adalah lawan orang jahat, maka mereka memerangi kemiskinan sendiri-sendiri. Orang jahat sering menjegal orang lain untuk menjadi orang baik. Kalau sama-sama jahat, mereka lebih mudah mengambil milik orang baik-baik. Begitu juga dengan orang baik-baik, senantiasa berusaha bersatu, hidup tolong menolong untuk menghadapi orang jahat.
Orang baik dan orang jahat, kawan dan lawan, ada di mana-mana, tentu juga hadir di Bali. Tentu menarik memperbincangkan tentang siapakah orang Bali yang baik, mana pula yang jahat. Apakah ciri-ciri manusia Bali yang baik itu? Apa pula ciri-ciri orang Bali yang jahat? Apakah orang Bali yang religius, menjelajah pura bertirta yatra sampai ke luar Bali tergolong orang baik? Jika mereka menolong orang tapi juga menilep uang rakyat, apakah tetap baik? Apakah orang Bali yang selalu mempersoalkan mengapa harus mengeluarkan banyak uang untuk upacara di pura dan memperbaiki tempat ibadah, orang jahat?
Di antara orang Bali pasti ada yang berkawan, namun banyak juga yang menjadi lawan. Karena industri turisme yang membuat orang Bali berhubungan dengan orang luar, mereka juga berkawan dengan manusia dari seluruh negeri.
Banyak orang luar, para pendatang, menetap di Bali, tentu orang Bali juga berkawan dengan mereka. Selain berkawan, karena gesekan sehari-hari, tentu tak sedikit yang menjadi lawan. Sering terpetik kabar orang Bali berseteru dengan para pendatang itu.
Lawan-lawan orang Bali tentu semakin bertambah, karena ekonomi Bali terus bergolak. Dalam pergolakan itulah orang Bali punya lawan-lawan baru. Dalam kaitan reklamasi Teluk Benoa, orang Bali pun melawan sesama orang Bali, karena ada petinggi dan orang Bali yang setuju reklamasi, namun banyak yang menolak.
Industri turisme, investasi, kapitalisasi, telah menjadikan rakyat Bali melawan petinggi Bali. Banyak yang berpendapat, pertumbuhan ekonomi, adalah kawan, tapi juga lawan bagi Bali, karena menyebabkan kerusakan alam dan pudarnya nilai-nilai setempat.
Ketika ada orang Bali tertentu menistakan simbol-simbol adat, tradisi dan keagamaan yang mereka anut, berlangsung perseteruan sesama Bali. Jadilah sebuah kerepotan baru: orang Bali melawan orang Bali. Ini sama saja artinya dengan orang Bali menikam sesama Bali. Yang terkapar dan berdarah-darah adalah orang Bali.
Banyak digosipkan, orang Bali lebih bersahabat dengan kaum pendatang, tapi berseteru dengan sesama Bali. Sering terpetik berita, orang Bali santun dengan orang luar, namun gampang marah dengan tetangganya. Masuk akal jika muncul komentar, lawan-lawan orang Bali semakin hari kian bertambah, justru dari kalangan sesama Bali. *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar