Maestro Lukis Made Wianta Berpulang
Bali Kehilangan Seniman Legendaris Kelas Dunia
DENPASAR, NusaBali
Bali kehilangan salah satu seniman legendaris menyusul meninggalnya maestro seni lukis I Made Wianta, 70.
Pelukis kondang asal Desa Apuan, Kecamatan Baturiti, Tabanan ini meninggal dalam perawatan di RS Bros, Niti Mandala Denpasar, Jumat (13/11) siang pukul 14.49 Wita. Informasi yang dihimpun NusaBali, Made Wianta sempat sehari semalam dirawat di RS Bros, sejak Kamis (12/11), karena kondisinya drop. Maestro lukis kelahiran 20 Desember 1949 ini sudah 2 tahun menderita stroke dan tinggal di rumahnya kawasan Tanjung Bungkak, Denpasar Timur. Almarhum Made Wianta berpulang buat selamanya dengan meninggalkan istri tercinta Ir Intan Kirana (dosen Fakultas Pertanian Unud) serta dua anak perempuan: Buratwangi dan Sanjiwani.
Jenazah Made Wianta sudah dibawa pulang ke rumah duka di Banjar Apuan, Desa Apuan, Kecamatan Baturiti, Jumat sore pukul 17.00 Wita. Menurut Kelian Dinas Banjar Apuan, I Made Cendoarsa, sesuai hasil rembuk keluarga, jenazah Made Wianta rencananya akan dikremasi di Buleleng pada Soma Umanis Medangkungan, Senin (16/11) lusa.
“Lokasi persis kremasinya saya kurang tahu. Katanya di krematorium dekat pantai di Buleleng,” papar Made Candoarsa saat dihubungi NusaBali di Tabanan, Jumat malam. Informasi terakhir, kremasi akan dilaksanakan di Krematorium YPUH Buleleng.
Seorang karyawan Made Wianta, yang mengaku bernama Nyoman Su, mengatakan almarhum sempat mengalami kecelakaan hebat beberapa tahun lalu. Pasca kecelakaan itu, Made Wianta harus menjalani pengobatan hingga ajal menjemputnya.
Menurut Nyoman Su, selama masa pandemi Covid-19, Made Wianta menjalani perawatan home care. “Sehari sebelum meninggal, bapak tidak mau makan. Terus, Bapak dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya memerlukan penanganan,” tutur Nyoman Su saat ditemui NusaBali di depan rumah Made Wianta di Jalan Pandu Denpasar, kawasan Tanjung Bungkak, tadi malam.
Sementara, salah seorang sahabat Made Wianta, I Putu Suasta, mengaku terkejut dengan kepergian sang maestro. Menurut Putu Suasta, selama setahun terakhir almarhum memang sudah tidak banyak aktivitas keluar karena sakit. Putu Suasta pun sering menjenguk ke rumahnya.
Menurut Putu Suasta, persahabatannya dengan Made Wianta sudah berlangsung lebih dari 40 tahun. Suasta pun sudah menganggap almarhum layaknya saudara sendiri. “Saya sudah berteman lama dengan Made Wianta. Saya pernah keliling menemaninya pameran di Amerika dan Eropa. Semua (hasil pamerannya, Red) disumbangkan untuk dunia kesehatan buat pengobatan AIDS. Setahun ini, Made Wianta memang cuma bisa diam di rumah saja, karena sakit,” jelas Suasta saat dihubungi NusaBali di Denpasar, tadi malam.
Di mata Suasta, Made Wianta adalah sosok yang inspiratif, tidak pernah kehabisan ide dalam berkarya. Made Wianta selalu memiliki ide baru dan itu memotivasi teman-temannya. “Di balik itu semua, dia adalah pribadi yang hangat dan suka menolong. Spiritualnya juga tinggi,” kenang politisi Demokrat ini.
Di sisi lain, arsitek kenamaan Bali, Popo Danes, juga mengaku sangat kehilangan dengan meninggalnya Made Wianta. Baginya, sosok Made Wianta sudah seperti saudara. Almarhum merupakan sosok yang sangat bersahaja, cepat akrab berteman dengan kalangan mana saja. Demikian juga dengan keluarganya.
“Beliau (Made Wianta) cepat akrab dengan siapa saja. Kadang-kadang orang itu tidak sadar kalau beliau itu kelas dunia. Beliau seniman Bali yang cukup progresif cara berpikirnya. Beliau berani mengambil langkah-langkah untuk tampil beda dan selalu melakukan eksplorasi yang sangat kaya dalam seni rupa. Sehingga tidak bisa dipungkiri Made Wianta adalah seniman lukis yang ternama saat ini,” papar Popo Danes saat dikonfirmasi NusaBali tadi malam.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Prof Dr I Wayan ‘Kun’ Adnyana SSn MSn, juga merasa kehilangan sosok yang dekat dengannya. Kun Adnyana mengaku sering diskusi dengan almarhum. “Beliau sosok ramah dan luwes dalam bergaul. Kekuatan dan keteguhan kesenimanan Made Wianta juga karena kehadiran sosok istrinya, Ibu Intan Wianta,” papar Kun Adnyana.
“Beliau merupakan perupa kontemporer kelas dunia yang lahir di Bali dan menjelajah beragam gaya artistik. Sosok yang utuh dalam kesenimanan dan kecerdasan dalam membangun jaringan medan seni dunia,” lanjut akademisi ISI Denpasar ini.
Menurut Kun Adnyana, Made Wianta merupakan sosok avant garde, dengan bangunan konsep dan praktek seni yang universal sekaligus lokal Bali. Made Wianta telah berproses sangat panjang, dari periode Karangasem yang berangkat dari tradisi rajah, geometrik, kaligrafi, hingga seni media baru, dan seni konsep. “Banyak karya monumental dihasilkan Made Wianta, seperti Art and Peace, Dream Land (refleksi Bom Bali), dan Run tentang kekayaan rempah Nusantara. Beliau adalah seniman Indonesia yang dikenal dunia dalam bidang seni rupa.”
Made Wianta sendiri lahir di Desa Apuan, 20 Desember 1949 silam. Tahun 1967, Made Wianta menerima pendidikan seni pertama kalinya ketika mempelajari karawitan. Periode 1967-1969, Made Wianta mempelajari seni pada Sekolah Seni Rupa Indonesia di Denpasar. Kemudian, dia melanjutkan pendidikan seninya di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta. Selama 1975-1977 pula, Made Wianta menetap di Brussel, Belgia untuk menambah pengalaman bidang seni.
Made Wianta telah menerima berbagai penghargaan, antara lain, Honorary Professor’ dari Academico Internationale Greci-Marino di Italia (1996), ‘The Most Admired Man of Decade’ dari American Biographical Institute di Amerika (1997), ‘Dharma Kusuma’ dari Pemerintah Provinsi Bali (1998), ‘The Longest Handwritten Poem Writer’ dari Muri (2000), ‘Ajeg Bali Figure Award’ dari Hipmi (2003), Penghargaan dari Junior Chamber International (2007), dan ‘Echosscape Wianta Galaxy’ di Jepang (2008). *ind,des
Jenazah Made Wianta sudah dibawa pulang ke rumah duka di Banjar Apuan, Desa Apuan, Kecamatan Baturiti, Jumat sore pukul 17.00 Wita. Menurut Kelian Dinas Banjar Apuan, I Made Cendoarsa, sesuai hasil rembuk keluarga, jenazah Made Wianta rencananya akan dikremasi di Buleleng pada Soma Umanis Medangkungan, Senin (16/11) lusa.
“Lokasi persis kremasinya saya kurang tahu. Katanya di krematorium dekat pantai di Buleleng,” papar Made Candoarsa saat dihubungi NusaBali di Tabanan, Jumat malam. Informasi terakhir, kremasi akan dilaksanakan di Krematorium YPUH Buleleng.
Seorang karyawan Made Wianta, yang mengaku bernama Nyoman Su, mengatakan almarhum sempat mengalami kecelakaan hebat beberapa tahun lalu. Pasca kecelakaan itu, Made Wianta harus menjalani pengobatan hingga ajal menjemputnya.
Menurut Nyoman Su, selama masa pandemi Covid-19, Made Wianta menjalani perawatan home care. “Sehari sebelum meninggal, bapak tidak mau makan. Terus, Bapak dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya memerlukan penanganan,” tutur Nyoman Su saat ditemui NusaBali di depan rumah Made Wianta di Jalan Pandu Denpasar, kawasan Tanjung Bungkak, tadi malam.
Sementara, salah seorang sahabat Made Wianta, I Putu Suasta, mengaku terkejut dengan kepergian sang maestro. Menurut Putu Suasta, selama setahun terakhir almarhum memang sudah tidak banyak aktivitas keluar karena sakit. Putu Suasta pun sering menjenguk ke rumahnya.
Menurut Putu Suasta, persahabatannya dengan Made Wianta sudah berlangsung lebih dari 40 tahun. Suasta pun sudah menganggap almarhum layaknya saudara sendiri. “Saya sudah berteman lama dengan Made Wianta. Saya pernah keliling menemaninya pameran di Amerika dan Eropa. Semua (hasil pamerannya, Red) disumbangkan untuk dunia kesehatan buat pengobatan AIDS. Setahun ini, Made Wianta memang cuma bisa diam di rumah saja, karena sakit,” jelas Suasta saat dihubungi NusaBali di Denpasar, tadi malam.
Di mata Suasta, Made Wianta adalah sosok yang inspiratif, tidak pernah kehabisan ide dalam berkarya. Made Wianta selalu memiliki ide baru dan itu memotivasi teman-temannya. “Di balik itu semua, dia adalah pribadi yang hangat dan suka menolong. Spiritualnya juga tinggi,” kenang politisi Demokrat ini.
Di sisi lain, arsitek kenamaan Bali, Popo Danes, juga mengaku sangat kehilangan dengan meninggalnya Made Wianta. Baginya, sosok Made Wianta sudah seperti saudara. Almarhum merupakan sosok yang sangat bersahaja, cepat akrab berteman dengan kalangan mana saja. Demikian juga dengan keluarganya.
“Beliau (Made Wianta) cepat akrab dengan siapa saja. Kadang-kadang orang itu tidak sadar kalau beliau itu kelas dunia. Beliau seniman Bali yang cukup progresif cara berpikirnya. Beliau berani mengambil langkah-langkah untuk tampil beda dan selalu melakukan eksplorasi yang sangat kaya dalam seni rupa. Sehingga tidak bisa dipungkiri Made Wianta adalah seniman lukis yang ternama saat ini,” papar Popo Danes saat dikonfirmasi NusaBali tadi malam.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Prof Dr I Wayan ‘Kun’ Adnyana SSn MSn, juga merasa kehilangan sosok yang dekat dengannya. Kun Adnyana mengaku sering diskusi dengan almarhum. “Beliau sosok ramah dan luwes dalam bergaul. Kekuatan dan keteguhan kesenimanan Made Wianta juga karena kehadiran sosok istrinya, Ibu Intan Wianta,” papar Kun Adnyana.
“Beliau merupakan perupa kontemporer kelas dunia yang lahir di Bali dan menjelajah beragam gaya artistik. Sosok yang utuh dalam kesenimanan dan kecerdasan dalam membangun jaringan medan seni dunia,” lanjut akademisi ISI Denpasar ini.
Menurut Kun Adnyana, Made Wianta merupakan sosok avant garde, dengan bangunan konsep dan praktek seni yang universal sekaligus lokal Bali. Made Wianta telah berproses sangat panjang, dari periode Karangasem yang berangkat dari tradisi rajah, geometrik, kaligrafi, hingga seni media baru, dan seni konsep. “Banyak karya monumental dihasilkan Made Wianta, seperti Art and Peace, Dream Land (refleksi Bom Bali), dan Run tentang kekayaan rempah Nusantara. Beliau adalah seniman Indonesia yang dikenal dunia dalam bidang seni rupa.”
Made Wianta sendiri lahir di Desa Apuan, 20 Desember 1949 silam. Tahun 1967, Made Wianta menerima pendidikan seni pertama kalinya ketika mempelajari karawitan. Periode 1967-1969, Made Wianta mempelajari seni pada Sekolah Seni Rupa Indonesia di Denpasar. Kemudian, dia melanjutkan pendidikan seninya di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta. Selama 1975-1977 pula, Made Wianta menetap di Brussel, Belgia untuk menambah pengalaman bidang seni.
Made Wianta telah menerima berbagai penghargaan, antara lain, Honorary Professor’ dari Academico Internationale Greci-Marino di Italia (1996), ‘The Most Admired Man of Decade’ dari American Biographical Institute di Amerika (1997), ‘Dharma Kusuma’ dari Pemerintah Provinsi Bali (1998), ‘The Longest Handwritten Poem Writer’ dari Muri (2000), ‘Ajeg Bali Figure Award’ dari Hipmi (2003), Penghargaan dari Junior Chamber International (2007), dan ‘Echosscape Wianta Galaxy’ di Jepang (2008). *ind,des
1
Komentar