Koster Sebut RUU Mikol Tak Akan Jadi
Menolak, Pelaku Pariwisata Bali Khawatir Jika RUU Mikol Gol
Koster menegaskan walau RUU mikol sudah bergulir di DPR RI, namun usulan itu tidak serta merta mulus, karena masih akan melalui proses panjang.
DENPASAR, NusaBali
Bergulirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang larangan minuman beralkohol (Mikol) yang merupakan usulan Fraksi PPP, Fraksi PKS dan Fraksi Gerindra di DPR RI ditanggapi santai oleh Gubernur Bali, Wayan Koster, usai penyerahan bantuan stimulus Usaha Mikro di Gedung Wiswasabha Utama, Kantor Gubernur Bali, Niti Mandala, Denpasar, Sabtu (14/11) pagi.
RUU tentang Larangan Mikol yang dikhawatirkan akan mengancam perajin minuman tradisional jenis arak dan pariwisata di Bali ini disebut oleh Gubernur Koster tidak akan jadi. Sehingga menurut Koster tidak perlu disikapi. "Nggak usah ngomong itu dulu," ujar Ketua DPD PDIP Provinsi Bali ini kepada awak media ketika diminta tanggapan soal RUU tentang larangan mikol.
Koster menegaskan walaupun RUU tentang larangan mikol kini sudah bergulir di DPR RI, namun usulan itu tidak serta merta mulus. Karena masih akan melalui proses panjang. "Masih lama itu, saya yakin nggak akan jadi itu," tegas Gubernur asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng ini.
RUU tentang larangan Mikol di DPR RI ini juga mendapatkan tanggapan dari Anggota Komisi VI DPR RI dapil Bali membidangi industri dan perdagangan, Putu Supadma Rudana, Sabtu kemarin di Denpasar. "Itu baru usulan saja. Prosesnya nanti di Badan Legislasi," ujar Supadma Rudana. Supadma Rudana menyebutkan minuman beralkohol sangat identik dengan kegiatan kepariwisataan.
Bali sebagai daerah pariwisata dengan keberadaan turisnya sangat lekat dengan mikol. "RUU ini kalau benar nanti disetujui jadi UU dan diberlakukan imbasnya kepada pariwisata. Karena Bali sebagai destinasi dunia tidak terlepas dari industri dan produk mikol ini sebagai salah satu pendukungnya. Tentu pariwisata Bali harus diselamatkan, karena kita tidak punya sumber daya alam lain," ujar Wasekjen DPP Demokrat ini.
Supadma Rudana mengatakan RUU tentang larangan mikol itu belum dilihat drafnya secara detail. Namun demikian Bali harus tetap mendapatkan pengecualian kalau memang RUU ini diusulkan.
"Saya akan dapatkan dulu draf aslinya. Bagi kita Bali tetap harus mendapatkan pengecualian. Harus ada pasal pengecualian untuk Bali, karena kepentingan pariwisata kita," ujar politisi asal Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar ini.
Terpisah pelaku maupun komponen pariwisata Bali langsung bereaksi dengan wacana pembahasan RUU tentang Minuman Beralkohol (RUU Mikol) di DPR RI. Mereka pun menolak kalau RUU Mikol disepakati jadi UU dan diterapkan, termasuk di Bali. Penerapannya ditengarai akan membunuh pariwisata Bali.
“Bagi daerah tujuan wisata seperti Bali dan daerah wisata lainnya, tentu tidak pas (RUU Mikol),” ujar Wakil Ketua BPD PHRI Bali, I Gusti Agung Ngurah Rai Suryawijaya. Karena itu, Rai Suryawijaya meminta harus ada pengecualian untuk daerah wisata seperti Bali. Menurutnya, akan berbahaya dan mengancam keberlangsungan pariwisata Bali, kalau RUU Mikol, setelah menjadi UU, dipaksakan diterapkan di Bali.
Rai Suryawijaya menjelaskan apa yang menjadi kebutuhan dan dinikmati wisatawan saat berwisata di Bali. Selain keindahan alam, keramah-tamahan penduduk Bali, keunikan seni dan budaya, juga adalah kuliner dalam wujud makanan dan minuman. Dalam makan dan minum itulah minuman beralkohol termasuk salah satu unsur.
“Bagi sebagian wisatawan mikol merupakan kebutuhan,” ungkap tokoh pariwisata asal Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Badung ini. Karena itu sulit membayangkan kalau pariwisata Bali tanpa mikol. Jika memang dipaksakan nanti (UU Mikol), Bali akan tegas menolak atau minta pengecualian. “Pemerintah juga perlu devisa dari pariwisata,” tegasnya. Penolakan serupa juga disampaikan Wakil Ketua Kadin Bali Bidang Pariwisata dan Investasi, I Made Ramia Adnyana. “Ini sangat tendensius,” tudingnya.
RUU Mikol tersebut tegas Ramia Adnyana, sangat bertentangan dengan pariwisata. Mikol dikatakan sudah menjadi kebutuhan dalam industri pariwisata, karena memang dibutuhkan wisatawan. “Seperti makanan tanpa garam, kalau mikol tidak ada di pariwisata,” ujarnya. Menurut Ramia, Bali membutuhkan 12 juta liter mikol (golongan C) dalam setahun untuk pemenuhan industri pariwisata. Dari 12 juta liter tersebut baru bisa terpenuhi 7 juta liter dari produk impor.
Kekurangan 5 juta liter inilah diharapkan dipasok dari mikol lokal (arak khas Bali) yang saat ini sedang digalakkan. Ramia Adnyana menunjuk Pergub Bali No 1/2020, yang memberi harapan ‘hidupnya’ industri mikol di Bali, yakni UMKM pengolahan arak.
“Dan menjadikan arak Bali menjadi spirit ke 7 dunia,” lanjutnya. Dalam hal ini industri punya kewajiban memperjuangkan dan mempromosikanya. Ramia yang juga Wakil Ketua DPP IHGMA (Indonesia Hotel General Manager Assosiation) ini tegas menyatakan industri pariwisata Bali akan terus menyuarakan penolakan tersebut, karena mengancam pariwisata Bali. “Kami tidak ingin mikol masuk dalam daftar negatif investasi di Bali,” tandas Ramia Adnyana.
Seperti diberitakan RUU Larangan Minuman Beralkohol (Mikol) diusulkan oleh Fraksi PPP, Fraksi PKS, dan Fraksi Partai Gerindra DPR RI. Pengusul terbanyak adalah dari Fraksi PPP. Dalam RUU itu memasukkan sanksi pidana bagi peminum minuman beralkohol diatur dalam Pasal 20. Bunyinya adalah:
Setiap orang yang mengkonsumsi minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling sedikit (3) tiga bulan paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling sedikit Rp 10.000.000 (sepuluh juta) dan paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
Sementara itu, pasal 7 yang dimaksud dalam RUU Larangan Minuman Beralkohol berbunyi: Setiap orang dilarang mengonsumsi minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional dan minuman beralkohol campuran atau racikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4. Namun larangan ini tidak berlaku untuk sejumlah kepentingan terbatas, termasuk ritual agama. Larangan ini berupa memproduksi, mengedarkan, dan mengonsumsi minuman beralkohol. *nat, k17
RUU tentang Larangan Mikol yang dikhawatirkan akan mengancam perajin minuman tradisional jenis arak dan pariwisata di Bali ini disebut oleh Gubernur Koster tidak akan jadi. Sehingga menurut Koster tidak perlu disikapi. "Nggak usah ngomong itu dulu," ujar Ketua DPD PDIP Provinsi Bali ini kepada awak media ketika diminta tanggapan soal RUU tentang larangan mikol.
Koster menegaskan walaupun RUU tentang larangan mikol kini sudah bergulir di DPR RI, namun usulan itu tidak serta merta mulus. Karena masih akan melalui proses panjang. "Masih lama itu, saya yakin nggak akan jadi itu," tegas Gubernur asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng ini.
RUU tentang larangan Mikol di DPR RI ini juga mendapatkan tanggapan dari Anggota Komisi VI DPR RI dapil Bali membidangi industri dan perdagangan, Putu Supadma Rudana, Sabtu kemarin di Denpasar. "Itu baru usulan saja. Prosesnya nanti di Badan Legislasi," ujar Supadma Rudana. Supadma Rudana menyebutkan minuman beralkohol sangat identik dengan kegiatan kepariwisataan.
Bali sebagai daerah pariwisata dengan keberadaan turisnya sangat lekat dengan mikol. "RUU ini kalau benar nanti disetujui jadi UU dan diberlakukan imbasnya kepada pariwisata. Karena Bali sebagai destinasi dunia tidak terlepas dari industri dan produk mikol ini sebagai salah satu pendukungnya. Tentu pariwisata Bali harus diselamatkan, karena kita tidak punya sumber daya alam lain," ujar Wasekjen DPP Demokrat ini.
Supadma Rudana mengatakan RUU tentang larangan mikol itu belum dilihat drafnya secara detail. Namun demikian Bali harus tetap mendapatkan pengecualian kalau memang RUU ini diusulkan.
"Saya akan dapatkan dulu draf aslinya. Bagi kita Bali tetap harus mendapatkan pengecualian. Harus ada pasal pengecualian untuk Bali, karena kepentingan pariwisata kita," ujar politisi asal Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar ini.
Terpisah pelaku maupun komponen pariwisata Bali langsung bereaksi dengan wacana pembahasan RUU tentang Minuman Beralkohol (RUU Mikol) di DPR RI. Mereka pun menolak kalau RUU Mikol disepakati jadi UU dan diterapkan, termasuk di Bali. Penerapannya ditengarai akan membunuh pariwisata Bali.
“Bagi daerah tujuan wisata seperti Bali dan daerah wisata lainnya, tentu tidak pas (RUU Mikol),” ujar Wakil Ketua BPD PHRI Bali, I Gusti Agung Ngurah Rai Suryawijaya. Karena itu, Rai Suryawijaya meminta harus ada pengecualian untuk daerah wisata seperti Bali. Menurutnya, akan berbahaya dan mengancam keberlangsungan pariwisata Bali, kalau RUU Mikol, setelah menjadi UU, dipaksakan diterapkan di Bali.
Rai Suryawijaya menjelaskan apa yang menjadi kebutuhan dan dinikmati wisatawan saat berwisata di Bali. Selain keindahan alam, keramah-tamahan penduduk Bali, keunikan seni dan budaya, juga adalah kuliner dalam wujud makanan dan minuman. Dalam makan dan minum itulah minuman beralkohol termasuk salah satu unsur.
“Bagi sebagian wisatawan mikol merupakan kebutuhan,” ungkap tokoh pariwisata asal Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Badung ini. Karena itu sulit membayangkan kalau pariwisata Bali tanpa mikol. Jika memang dipaksakan nanti (UU Mikol), Bali akan tegas menolak atau minta pengecualian. “Pemerintah juga perlu devisa dari pariwisata,” tegasnya. Penolakan serupa juga disampaikan Wakil Ketua Kadin Bali Bidang Pariwisata dan Investasi, I Made Ramia Adnyana. “Ini sangat tendensius,” tudingnya.
RUU Mikol tersebut tegas Ramia Adnyana, sangat bertentangan dengan pariwisata. Mikol dikatakan sudah menjadi kebutuhan dalam industri pariwisata, karena memang dibutuhkan wisatawan. “Seperti makanan tanpa garam, kalau mikol tidak ada di pariwisata,” ujarnya. Menurut Ramia, Bali membutuhkan 12 juta liter mikol (golongan C) dalam setahun untuk pemenuhan industri pariwisata. Dari 12 juta liter tersebut baru bisa terpenuhi 7 juta liter dari produk impor.
Kekurangan 5 juta liter inilah diharapkan dipasok dari mikol lokal (arak khas Bali) yang saat ini sedang digalakkan. Ramia Adnyana menunjuk Pergub Bali No 1/2020, yang memberi harapan ‘hidupnya’ industri mikol di Bali, yakni UMKM pengolahan arak.
“Dan menjadikan arak Bali menjadi spirit ke 7 dunia,” lanjutnya. Dalam hal ini industri punya kewajiban memperjuangkan dan mempromosikanya. Ramia yang juga Wakil Ketua DPP IHGMA (Indonesia Hotel General Manager Assosiation) ini tegas menyatakan industri pariwisata Bali akan terus menyuarakan penolakan tersebut, karena mengancam pariwisata Bali. “Kami tidak ingin mikol masuk dalam daftar negatif investasi di Bali,” tandas Ramia Adnyana.
Seperti diberitakan RUU Larangan Minuman Beralkohol (Mikol) diusulkan oleh Fraksi PPP, Fraksi PKS, dan Fraksi Partai Gerindra DPR RI. Pengusul terbanyak adalah dari Fraksi PPP. Dalam RUU itu memasukkan sanksi pidana bagi peminum minuman beralkohol diatur dalam Pasal 20. Bunyinya adalah:
Setiap orang yang mengkonsumsi minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling sedikit (3) tiga bulan paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling sedikit Rp 10.000.000 (sepuluh juta) dan paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
Sementara itu, pasal 7 yang dimaksud dalam RUU Larangan Minuman Beralkohol berbunyi: Setiap orang dilarang mengonsumsi minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional dan minuman beralkohol campuran atau racikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4. Namun larangan ini tidak berlaku untuk sejumlah kepentingan terbatas, termasuk ritual agama. Larangan ini berupa memproduksi, mengedarkan, dan mengonsumsi minuman beralkohol. *nat, k17
1
Komentar